Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Natal dan Protagonisme Keadaban

Max Regus, Uskup Keuskupan Labuan Bajo, Flores
24/12/2024 08:10
Natal dan Protagonisme Keadaban
(MI/Duta)

NATAL selalu menyampaikan pesan abadi tentang kasih dan pengharapan. Perayaan ini bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan juga sebuah ajakan mendalam untuk merenungkan kembali panggilan kita sebagai manusia yang hidup dalam komunitas.

Di tengah berbagai tantangan zaman, Natal menjadi momen reflektif bagi umat kristiani sekaligus melemparkan undangan universal dalam membangun keadaban hidup bersama.

Sebagaimana ditulis oleh Timothy Radcliffe (2020), iman sejati selalu memanggil orang keluar dari zona nyaman menuju pelayanan transformatif bagi dunia. Dalam semangat itu, Natal bukan hanya seremoni keagamaan, melainkan juga ajakan abadi untuk menjadi saksi kasih Allah yang hidup. Peristiwa kelahiran Kristus adalah sebuah tantangan untuk memajukan nilai-nilai kemanusiaan di tengah dunia yang sedang terluka.

Natal adalah momentum religius yang membawa panggilan etis universal. Ketika kita merayakan Natal dengan semangat protagonisme keadaban, kita tidak hanya meneguhkan nilai-nilai kristiani, tetapi juga berkontribusi pada peradaban yang lebih baik. Dengan itu, pesan Natal tidak hanya relevan bagi umat kristiani, tetapi juga memberikan makna bagi seluruh umat manusia, terlepas dari agama atau budaya mereka.

Dalam konteks ini, protagonisme keadaban, yakni peran aktif setiap individu dan komunitas dalam memajukan nilai-nilai kemanusiaan, menjadi inti perayaan Natal yang selaras dengan dinamika dunia kita dewasa ini. Di titik ini, ada tiga isu utama yang dapat dihubungkan dengan peristiwa Natal. Ketiganya berakar kuat dalam tradisi Natal serentak memiliki signifikansi besar bagi konteks sosial di Indonesia.

Martabat manusia
Pesan mendasar Natal ialah solidaritas Allah dengan manusia melalui kelahiran Yesus Kristus. Peristiwa ini menegaskan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang tak tergantikan. Namun, dengan dunia yang tersekap dalam berbagai bentuk polarisasi, martabat manusia sering kali terabaikan, terutama mereka yang terpinggirkan dan tidak mempunyai posisi tawar kuat di tengah konstelasi kehidupan bersama.

Miroslav Volf (2021) menekankan bahwa pemulihan martabat manusia membutuhkan keberanian moral. Sebuah gerakan melawan ketidakadilan sosial dan iktikad membangun memori kolektif yang menyembuhkan dan inklusif. Dalam konteks Indonesia, pesan ini sangat mendasar dengan banyaknya ketidaksetaraan sosial, marginalisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Natal, melalui kelahiran Yesus Kristus di palungan hina, mengingatkan kita bahwa Allah hadir dalam kemiskinan, kesederhanaan, dan keterbatasan manusia.

Pesan ini memanggil kita untuk melihat wajah Allah dalam diri setiap pribadi, terutama mereka yang dianggap kecil, lemah, dan dianggap tidak penting. Sebagai umat beriman, kita diajak untuk menunjukkan solidaritas nyata dengan mereka yang terkubur dalam berbagai bentuk ketidakberdayaan.

Solidaritas lintas identitas

Di Indonesia, keberagaman ialah fakta sosial yang tidak terbantahkan. Dalam konteks ini, Natal memberikan model solidaritas lintas identitas. Keyakinan itu mendapatkan landasannya sebagaimana yang ditekankan Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti (2020) bahwa hanya dengan membuka hati kita kepada yang lain, kita dapat menemukan makna sejati persaudaraan. Di sini, solidaritas sekaligus menjadi fondasi persaudaraan universal.

Perayaan Natal menawarkan kesempatan untuk memerkuat hubungan lintas komunitas, melampaui batasan agama, budaya, dan suku. Dalam semangat itu, sebagai bagian dari konstruksi kebangsaan beragam, setiap orang dipanggil membangun masyarakat inklusif.

Di sini, kita mesti menaruh keberagaman sosial sebagai anugerah, bukan ancaman. Kesadaran itu niscaya menjadi bagian penting dan tidak tergantikan dari sejumput upaya bersama mewujudkan persaudaraan sosial melalui tindakan kasih yang nyata.

Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, Natal juga menjadi momen strategis untuk meneguhkan semangat persatuan di tengah perbedaan. Ketika ketegangan sosial (politik) dan konflik berbasis identitas merobek kebersamaan, pesan Natal dapat menjadi sahutan untuk membangun jembatan perjumpaan, bukan tembok permusuhan. Keadaban hidup bersama akan terbangun hanya dari bangunan kesadaran seperti ini.

Tanggung jawab moral 
Dunia kita saat ini menghadapi krisis lingkungan yang mendesak. Natal mengingatkan kita akan tanggung jawab moral untuk merawat ciptaan. Kehadiran Yesus di dunia adalah tanda bahwa seluruh ciptaan memiliki nilai intrinsik yang harus dijaga dan dihormati. Dalam Laudato Si’ (2015), Paus Fransiskus menekankan pentingnya keberlanjutan sebagai panggilan moral seluruh umat manusia.

Konteks Indonesia yang kerap dilanda bencana alam akibat kerusakan lingkungan membuat isu itu semakin relevan. Natal ialah perayaan pemulihan kehidupan. Kehidupan yang takluk di bawah cengkeraman kerakusan manusia menerima penebusan dari Allah sendiri.

Natal menghadirkan makna imperatif bagi kita untuk menjaga bumi.

Natal, secara keseluruhan, mengajari kita untuk tidak hanya merayakan kelahiran Yesus Kristus, tetapi juga hidup sesuai dengan pesan kasih dan pengharapan yang dibawa-Nya.

Natal niscaya menjadi momentum untuk meneguhkan protagonisme keadaban. Dengan demikian, Natal bukan sekadar selebrasi keagamaan, melainkan panggilan untuk hidup dalam kasih dan keberanian.

Dalam setiap tindakan kecil yang kita lakukan dengan penuh kasih, kita menjadi saksi nyata dari harapan yang tidak pernah pudar. Semoga terang Kristus membimbing langkah kita membangun keadaban hidup bersama yang lebih adil, humanis, dan terbuka. Selamat Natal 2024!

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik