Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
MULAI Kamis (30/11) hingga pertengahan Desember tahun ini, sejumlah pemimpin negara dan orang penting lainnya, termasuk Presiden Jokowi, berkumpul di Dubai, Uni Emirat Arab, untuk membahas persoalan iklim. Kabarnya, itu masalah serius dan genting. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai krisis iklim. Bayangkan, akibat iklim yang berubah drastis itu, pendapatan negara secara global ikut tergerus dan menyusut.
Laporan yang diterbitkan Universitas Delaware, Amerika Serikat, pada Selasa (28/11) pekan lalu, menyebutkan dampak perubahan iklim telah mengurangi 6,3% output ekonomi global tahun lalu, jika ditimbang berdasarkan populasi. Artinya, segala aktivitas ekonomi yang semestinya menghasilkan cuan, jadi berantakan gara-gara pola cuaca yang berubah enggak karuan, seperti gagalnya panen serta terganggunya distribusi dan pasokan.
Kita mungkin bisa membaca dan melihat berbagai dampak dahsyat akibat perubahan iklim di media massa ataupun media sosial. Dari mulai kebakaran hutan di Kanada dan Australia, banjir yang merenggut ribuan nyawa di Somalia, Kenya, dan Ethiopia, dan hingga berbagai peristiwa bencana di berbagai belahan dunia lainnya. Melihat fenomena tersebut, kita sebagai masyarakat biasa tidak boleh cuek. Sebab, suka atau tidak suka, kita juga ikut merasakan dampaknya. Dari cuaca panas yang menyengat kulit dalam beberapa bulan belakangan hingga bencana kekeringan dan banjir yang mulai merendam sejumlah wilayah di Tanah Air akhir-akhir ini.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pun sudah memperingatkan bahwa dalam sepekan ke depan, cuaca ekstrem yang berpotensi menyebabkan hujan lebat dan angin kencang akan terjadi di sejumlah wilayah, terutama Jabodetabek. Tentu itu harus diantisipasi agar tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar, apalagi sampai menimbulkan korban jiwa. Para perangkat desa, RT/RW, serta warga, mungkin bisa membuat ‘konferensi’ kecil-kecilan untuk berembuk mencari solusinya, misalnya, dengan bergotong royong membersihkan sampah di sungai dan selokan, serta memangkas pohon yang rawan tumbang. Percayalah, tindakan sekecil apa pun akan besar dampaknya pada kondisi lingkungan kehidupan di sekitar, minimal di wilayah tempat kita tinggal.
Perubahan iklim ialah fenomena global yang penanganannya harus dimulai dari tingkat lokal. Manusia, siapa pun dia, ikut berperan di dalamnya. Bensin yang kita gunakan untuk sarana transportasi sehari-hari, gaya berbusana, hingga selera dan cara kita dalam mengonsumsi makanan, secara langsung ataupun tidak langsung, juga ikut memengaruhi kondisi Bumi yang kini semakin panas. Sudah saatnya laku hidup manusia kembali selaras dengan alam, bukan malah merusaknya.
Kita tidak perlu jauh-jauh pergi ke Kenya atau Somalia untuk melihat dahsyatnya bencana yang ditumbulkan akibat degradasi lingkungan terkait dengan perubahan iklim. Atap rumah yang bocor, perabot di rumah atau mobil yang rusak terendam banjir saja sudah membuat pusing tujuh keliling. Belum lagi ancaman sejumlah penyakit yang ditimbulkan selama musim penghujan. Apa enggak bahaya tah? Apalagi, kalau tidak punya jaminan asuransi yang memadai.
Udara yang mulai sejuk menjelang Natal dan akhir tahun, bunga-bunga yang bermekaran di sela gemercik hujan, seharusnya menjadi panorama yang indah dan syahdu di Desember. Kalau istilah anak sekarang mungkin instagramable, layak dipotret dan diunggah di media sosial. Namun, sayang, para pengabdi cuan dan kekuasaan yang hobinya membabat hutan dan lahan, membuat Desember (dan bulan-bulan lainnya) kini menjadi semakin kelabu.
Contoh lainnya pemimpin yang gagal mengelola urusan beras ialah Yingluck Shinawatra.
Biar bagaimanapun, perang butuh ongkos. Ada biaya untuk beli amunisi dan peralatan tempur.
WAKTU pemungutan suara untuk pemilihan presiden (pilpres) ataupun legislatif (pileg) tinggal menghitung hari
Seperti halnya virus korona, bentuk patologi sosial semacam itu kini juga masih ada dan bergentayangan. Mereka cuma bermutasi menjadi bentuk lain, dari yang kelas teri hingga kakap.
Ditambah dampak fenomena El Nino, bisa dibayangkan bagaimana ‘kerasnya’ hidup di Ibu Kota dalam beberapa hari ke depan.
Tanah tak lagi dipandang sekadar media tanam, tapi sebagai fondasi keberlangsungan hidup dan benteng terakhir ketahanan pangan.
Sebanyak 73% sekolah di Indonesia berada di area rawan banjir.
"Karena Pulau Gag masuk dalam kategori pulau kecil, kegiatan penambangan bukan kegiatan yang diprioritaskan, serta dilarang sebagaimana Pasal 1 angka 3, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf K,"
TANTANGAN dalam mengatasi dan melakukan mitigasi bencana di dunia saat ini disebut semakin kompleks. Berbagai isu global seperti perubahan iklim hingga tekanan urbanisasi menjadi pemicunya.
Salah satu penyebab utama banjir rob adalah kondisi geologi tanah di wilayah tersebut yang masih berupa aluvial muda dan dominan lempung, sehingga air pasang sulit meresap ke dalam tanah.
Pada 2024, Climate Hack mengangkat isu-isu iklim krusial seperti pengelolaan sumber daya alam, limbah, transportasi, hingga pertanian dan kehutanan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved