Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Menyibak Kabut Polusi

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
03/9/2023 05:00
Menyibak Kabut Polusi
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

TIDAK ada asap jika tak ada api. Tidak ada polusi jika tidak ada pembakaran, entah itu dari sisa gas buang kendaraan, entah itu dari cerobong pabrik dan industri rumahan. Bahkan, asap rokok dari lubang hidung dan mulut yang kita embuskan pun, ikut menyumbang sekian persen polutan yang mencemari udara di sekitar. Itulah yang kini terjadi di Jakarta, kota metropolitan yang kini berubah jadi metropolutan. Jika di era kolonial sungai-sungai di kota ini dicemari limbah dari pabrik gula dan sanitasi rumah tangga, kini udara di kota ini diselimuti kabut asap, yang menurut sejumlah pakar kesehatan, sudah dalam tahap membahayakan. 

Lantaran pemicunya multisebab, solusinya pun tentu tidak cukup hanya dengan merazia kendaraan yang diduga sebagai penghasil emisi. Begitu juga sanksi peringatan kepada sejumlah pabrik pengguna batu bara yang dituding sebagai penyebab polusi. Pemerintah, sebagai pihak yang diamanatkan bertugas menata kota ini, harus pula ikut bertanggung jawab. Sejumlah regulasi terkait dengan hal ini, seperti Perda Nomor 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, sebaiknya diawasi implementasinya dengan sungguh-sungguh. Persoalan polusi tidak bisa diatasi secara parsial, mesti holistis, menyeluruh dari hulu hingga hilir.

Pada beberapa ratus tahun lalu manusia mungkin hanya merasa sebagai saksi sekaligus korban pasif atas peristiwa yang terjadi di alam ini. Namun, kehadiran sains modern telah menggugah kesadaran bahwa kita juga ialah partisipan yang ikut membentuk kondisi realita yang terjadi hari ini. Peran dan kesadaran itulah yang akan menentukan apakah bumi yang kita tempati hari ini masih layak didiami atau tidak. Oleh karena itu, aktivitas sosial, ekonomi, ataupun budaya yang dilakukan, harus selaras dengan keberlangsungan kehidupan seluruh makhluk penghuni planet ini.

Kasus polusi di Jakarta tentu juga tidak terlepas dari perspektif ini. Budaya atau kebiasaan sebagian masyarakat yang masih suka membakar sampah, harus diakui juga ikut berperan dalam masalah ini. Begitu pula dengan aktivitas ekonomi dengan bertumbuhnya e-commerce dan transportasi online. Harus dipikirkan bagaimana armada yang saban hari wira-wiri ini, tidak menambah jumlah paparan emisi. Sejauh ini memang sudah ada yang menggunakan kendaraan ramah lingkungan. Alangkah baiknya jumlah armada yang bersih ini terus diperbanyak, tapi dengan catatan sumber energinya pun harus sustainable jangan lagi pakai batu bara.

Sejumlah negara kini telah menerapkan program angkutan ramah lingkungan. Kita tentu harus pula mulai memiikirkan bagaimana truk-truk pengangkut komoditas antarkota ataupun antarprovinsi beroperasi lebih efisien dan tidak boros membuang emisi seperti yang diterapkan di Eropa. Begitu pula sarana angkutan pegawai di sejumlah instansi sebaiknya tidak lagi menggunakan bus tua yang berasap seperti jelaga. Semua elemen masyarakat harus diberdayakan memikirkan bagaimana mobilitas barang ataupun orang dapat berlangsung dengan cara yang paling efisien, bersih, dan hemat energi. Pembangunan sarana transportasi publik yang terintegrasi tentu harus diperbanyak. Begitu pula dengan kesadaran masyarakat untuk menggunakannya mesti terus diberdayakan.

Polusi di Jakarta sepintas memang terlihat seperti persoalan mikro. Pada tataran global, suhu yang semakin meningkat ialah masalah lainnya yang jauh lebih besar. Keduanya terkait. Penanganan masalah global ini mau tidak mau harus dimulai dari tingkat lokal. Ilmuwan yang juga profesor geografi di Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat, Jared Diamond, dalam bukunya Collapse: Runtuhnya Peradaban-Peradaban Dunia (2104), telah memperingatkan bahwa di antara sejumlah faktor yang menyebabkan lenyapnya suatu masyarakat atau komunitas ialah degradasi lingkungan yang melebihi ambang batas dan kelemahan para pemimpin dalam menentukan pilihan-pilihan kebijakan yang tepat untuk mengatasinya.

Kita, yang kini hidup di era modern, sepertinya patut menyibak kabut kegelapan di masa lalu itu, agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Wasalam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya