Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Persoalan Ekstrem di Ujung Kepemimpinan

Handi Risza Wakil Rektor Universitas Paramadina
06/7/2023 05:00
Persoalan Ekstrem di Ujung Kepemimpinan
Ilustrasi MI(MI/Seno)

JIKA tidak ada aral melintang pada 20 Oktober 2024 nanti, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin akan segera berakhir. Selama kurang lebih 10 tahun Presiden Jokowi memimpin bangsa, tidak bisa kita mungkiri banyak yang sudah dilakukan, terutama pembangunan infrastruktur, dari jalan, jembatan, bendungan yang kemudian dikenal dengan nama proyek strategis nasional (PSN), hingga proyek infrastruktur pariwisata di lima destinasi super prioritas (DSP). Semua proyek tersebut sebagian besar berbentuk infrastruktur fisik.

Pembahasan rancangan APBN 2024 akan menjadi APBN terakhir dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024. APBN 2024 akan menjadi kesempatan terakhir bagi pemerintahan Kabinet Indonesia Maju untuk mewujudkan semua target pembangunan dalam lima tahun terakhir. Selain gegap gempitanya pembangunan infrastruktur, Indonesia masih menghadapi persoalan mendasar dalam pembangunan sumber daya manusia, terutama aspek pendidikan, kesehatan, dan perekonomian. Bahkan, sebagian kemudian menjadi persoalan ekstrem yang belum terselesaikan hingga saat ini.

Persoalan ekstrem tersebut sudah seharusnya menjadi fokus untuk diselesaikan dalam setahun terakhir ini. Adapun persoalan ekstrem bangsa hari ini ialah belum berdampaknya bonus demografi, stagnasi pertumbuhan ekonomi, kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang rendah. Lalu, tingginya pengangguran terdidik, middle income trap, tingginya angka stunting dan wasting, kemiskinan esktrem, polusi, hingga kerusakan lingkungan di sekitar kawasan pertambangan dan smelter. Semuanya bermuara pada rendahnya kualitas SDM dan daya saing bangsa.

Fokus pemerintahan saat ini dalam menyelesaikan berbagai perosoalan ekstrem itu hendaknya menjadi ukuran tersendiri dalam menilai keberhasilan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan bangsa saat ini.

 

Persoalan ekstrem bangsa

Penggunaan kata ekstrem, jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti paling ujung (paling tinggi, paling keras, dan sebagainya), menggambarkan sebuah kondisi yang sudah sangat berbahaya, sebagaimana sering dialamatkan pada organisasi yang dianggap berpaham atau ideologi berbahaya.

Namun, hari ini digunakan untuk menyebut suatu masalah yang sudah melewati ambang batasnya. Sebagai contoh, kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial. Kemudian World Bank menetapkan batas pendapatan di bawah garis kemiskinan internasional (absolute poverty measure). Ketika Workd Bank menetapkan bahwa kemiskinan ekstrem mengacu pada pendapatan di bawah garis kemiskinan internasional US$1,90 per kapita per hari  berdasarkan purchasing power parity (PPP) 2011, angka kemiskinan ekstrem Indonesia pada 2022 sebesar 5,59 juta jiwa atau tercatat sebesar 2,04%.

Namun, ketika World Bank mengubah asumsi menggunakan PPP (2017), pendapatan garis kemiskinan menjadi US$2,15 per kapita per hari, kemiskinan ekstrem di Indonesia bisa melonjak tajam mencapai angka 6,7 juta jiwa (Bappenas, 2023), padahal target dalam RPJMN menjadi 0%. Mustahil bagi pemerintah untuk bisa menuntaskan penurunan angka kemiskinan ekstrem menjadi hilang sama sekali pada 2024.

Setali tiga uang, persoalan ekstrem lainnya yang tengah kita hadapi ialah stunting atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar (WHO, 2015).

Penyebab utama stunting di antaranya asupan gizi dan nutrisi yang kurang mencukupi kebutuhan anak, pola asuh yang salah akibat kurangnya pengetahuan dan edukasi bagi ibu hamil dan ibu menyusui, buruknya sanitasi lingkungan tempat tinggal, seperti kurangnya sarana air bersih dan tidak tersedianya sarana MCK yang memadai serta keterbatasan akses fasilitas kesehatan yang dibutuhkan bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.

Berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) 2022, prevalensi stunting di Indonesia masih tergolong tinggi berada di angka 21,6% walaupun sempat mengalami penurunan ketimbang pada 2021 sebesar 24,4%. WHO mensyaratkan standar stunting suatu negara berada di bawah angka 20.

Adapun target penurunan angka stunting berdasarkan RPJMN 2024 menjadi 14%. Bukan perkara yang mudah bagi pemerintah untuk mencapainya karena rentang yang begitu lebar antara angka stunting saat ini dan target yang ada sekitar 3,8%. Selain itu, mengingat waktu yang dimiliki pemerintah saat ini tinggal setahun lagi.

Selain stunting, ternyata permasalahan gizi ekstrem lainnya yang tengah kita hadapi ialah wasting atau kurus. Menurut SSGI 2022, prevalensi balita wasting di Indonesia naik 0,6 poin dari 7,1% menjadi 7,7% pada tahun lalu. Kemudian, prevalensi balita underweight atau gizi kurang sebesar 17,1% pada 2022 atau naik 0,1 poin dari tahun sebelumnya.

Di sisi lain, prevalensi balita overweight atau kegemukan badan sebesar 3,5% pada 2022 atau turun 0,3 poin dari tahun sebelumnya. Gangguan pertumbuhan pada anak dimulai dengan terjadinya weight faltering atau berat badan tidak naik sesuai standar. Anak-anak yang weight faltering, apabila dibiarkan, itu bisa menjadi underweight dan berlanjut menjadi wasting. Ketiga kondisi tersebut bila terjadi berkepanjangan, hal itu akan menjadi stunting.

Tidak banyak yang menyadari ternyata bangsa kita masih menghadapi penyakit tropis yang terabaikan atau neglected tropical diseases (NTD) tertinggi di dunia. Penyakit-penyakit itu hanya ditemui di daerah tropis maupun subtropis dan disebabkan berbagai virus, bakteri, protozoa, dan cacing. Dikatakan terabaikan karena meskipun menular, penyakit tersebut hanya diderita orang-orang yang mempunyai taraf hidup yang rendah dan sering tidak mendapatkan perhatian yang sama jika dibandingkan dengan penyakit menular lainnya seperti HIV/AIDS (Pusat Kedokteran Tropis UGM, 2020).

Dari laporan Bappenas yang disampaikan dalam pembicaraan pendahuluan KEM-PPKM RAPBN 2024, kasus kusta di Indonesia tercatat sebesar 12.095 kasus baru per tahun atau menempati urutan ketiga dunia. Sementara itu, kasus baru TB mencapai 969.000 kasus baru per tahun atau menempati nomor dua dunia. Adapun kasus malaria tercatat sebesar 415.140 kasus baru per tahun.

Kelompok masyarakat yang paling terdampak akan penyakit-penyakit tersebut ialah mereka yang hidup dalam kemiskinan, tidak mempunyai akses sanitasi yang baik, terutama mereka yang dalam kesehariannya sering kontak langsung dengan vektor pembawa penyakit.

Persoalan kesehatan ekstrem tersebut muncul tidak bisa dilepaskan dari masih rendahnya fokus dan perhatian pemerintah dalam menyelesaikan persoalan kesehatan masyarakat. Hal itu terlihat dari masih minimnya angka imunisasi dasar lengkap bayi sebesar 63,17%, keberadaan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang terakreditasi baru sekitar 56,4%, dan puskesmas dengan nakes sesuai standar sekitar 56,07%. Selain itu, kesehatan hanya dipandang menjadi tanggung jawab satu kementerian atau lembaga, tetapi melupakan faktor pendukung lainnya, seperti air bersih, sanitasi, dan MCK.

 

Penutup

Sesungguhnya pemerintah masih memiliki waktu dalam satu tahun terakhir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang bersifat ekstrem tersebut. Tinggal bagaimana intervensi kebijakan yang dilakukan pemerintah efektif untuk menyelesaikan persoalan di lapangan mengingat penyelesaian permasalahan kemiskinan ekstrem, stunting, wasting bersifat multisektor yang melibatkan banyak kementerian dan lembaga.

Keberhasilan pemerintahan tidak hanya diukur dari keberhasilan melakukan pembangunan infrastruktur, tapi juga mampu menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang sudah masuk kategori ekstrem yang akan memberikan dampak bagi kualitas SDM Indonesia ke depan. Pemimpin datang dan pergi, tetapi kualitas SDM akan sangat menentukan masa depan bangsa.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya