SALAH satu tahapan krusial dalam Pemilu 2024 ialah pemutakhiran data pemilih, yang selanjutnya diikuti penyusunan daftar pemilih. Tahapan itu telah dimulai Oktober 2022 dan akan berakhir Juni 2023. Kendati sama krusial, perhatian publik terhadap tahapan itu cenderung kalah jika dibandingkan dengan antusiasme mereka terhadap bursa kandidasi yang melibatkan nama-nama politikus terkemuka.
Dari tahapan itu, akan dihasilkan suatu daftar pemilih untuk memastikan siapa saja yang memiliki hak untuk mencoblos pada 14 Februari 2024. Berpeluang untuk menentukan siapa pemenang pemilu, akurasi daftar pemilih menjadi demikian penting. Lebih daripada itu, daftar dimaksud juga dapat menggambarkan komitmen pemenuhan serta perlindungan hak politik asasi bagi warga negara.
Sebagaimana penegasan Pasal 27 UUD 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, tidak boleh ada eksklusi dalam partisipasi politik. Pada tataran lebih praktis, Pasal 199 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
Masalah daftar pemilih memiliki kompleksitas tersendiri. Akurasi daftar pemilih mengandaikan bukan semata ketersediaan data penduduk potensial pemilih. Ketelitian KPU dalam penyusunan daftar pemilih dan kecermatan Bawaslu untuk mengawasi proses tersebut juga tidak berdiri sendiri. Semua perlu diiringi kesediaan calon pemilih untuk memastikan bahwa nama mereka tidak terlewatkan.
Masalah berulang
Mengacu pengalaman penyelenggaraan beberapa pemilu terdahulu, terdapat masalah-masalah berulang yang harus menjadi perhatian bersama. Pertama, potensi pemilih mula tidak terdaftar karena kelalaian dalam pemutakhiran data kependudukan. Termasuk di dalamnya ialah mereka yang menjelang pemilu baru berusia 17 tahun, baru menjadi purnawirawan, atau baru menjadi WNI.
Kedua, potensi pemilih tidak masuk daftar pemilih (tambahan) karena kesulitan untuk mengurus surat pindah memilih. Termasuk di dalamnya ialah mereka yang berpindah domisili, sedang dirawat di rumah sakit, penghuni rumah indekos dan pemondokan, tahanan, serta pengungsi. Kerentanan dapat bertambah karena sebagian dari mereka sedang berada dalam situasi darurat.
Ketiga, potensi warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri tidak termasuk dalam daftar pemilih. Pemilih terdaftar harus memiliki dokumen kependudukan dan imigrasi lengkap. Mereka yang berstatus undocumented dan terjerat perdagangan manusia menjadi sangat rentan. Di luar itu, mobilitas WNI di luar negeri menjadi tantangan tersendiri dalam pendataan calon pemilih.
Keempat, potensi warga negara asing tercantum sebagai pemilih. Ketidaktertiban administrasi lewat penggunaan dokumen palsu, dan bentuk-bentuk lain manipulasi melibatkan warga negara asing membuat potensi ini terbuka. Potensi campur tangan kekuatan asing, yang berkemungkinan mengganggu kedaulatan negara, juga dapat masuk melalui cara ini atau cara lain yang lebih canggih.
Kelima, potensi penyalahgunaan data mereka yang telah meninggal dunia, potensi pemilih ganda, dan potensi kelalaian lain yang berdampaknya hilangnya hak pilih seseorang. Berbagai potensi masalah tersebut, dapat meningkatkan tataran kerawanan dalam pemilu. Kecuali diantisipasi dan ditemukan mitigasi persoalannya, hal-hal tersebut mungkin pula mendelegitimasi hasil pemilu.
Pencerdasan pemilih
Pemenuhan dan perlindungan hak pilih, sesungguhnya, bukan semata persoalan administrasi pemilu. Manakala jaminan tersebut dapat diwujudkan, hal lebih substansial menyangkut kualitas partisipasi politik menjadi kebutuhan lanjutan. Seluruh pemangku kepentingan pemilu, sepatutnya menyadari bahwa, pada akhirnya, hal itu dapat mendongkrak efektivitas politik yang selama ini masih lemah.
Kendati fluktuatif, secara umum partisipasi politik yang tergambar melalui voter turnout selama lima pemilu terakhir tergolong moderat hingga cenderung tinggi. Tanggung jawab warga negara untuk memilih dalam pemilu nyaris tidak pernah mengalami kemerosotan tajam. Namun, kualitas pilihan warga belum sungguh-sungguh mampu menggerakkan perubahan sosial-politik pascapemilu.
Buktinya, antara lain angka korupsi politik di kalangan pejabat publik masih tinggi, yang menunjukkan masalah akuntabilitas kekuasaan. Kebijakan pemerintah, baik pada level pusat maupun daerah, juga belum mampu mengubah secara signifikan ketidakadilan di sektor ekonomi dan penegakan hukum. Legislasi di berbagai tataran dewan perwakilan pun belum sepenuhnya selaras aspirasi publik.
Tertinggalnya pendidikan politik warga menjadi salah satu kontributor persoalan tersebut. Di tengah buruknya pemahaman politik, para pemilih disuguhi kampanye yang memusat pada citra politikus, minim tawaran program, dan bernuansa kebencian. Tanpa kecerdasan dan kritisisme, kesenjangan kuasa membuat kedaulatan pemilih semakin rentan direnggut pembelian suara dan intimidasi.
Modernisasi politik, pada dasarnya, dapat bertolak dari peningkatan kecerdasan pemilih. Sadar bahwa aktivitas kontestasi elektoral tidak boleh berjarak jauh dari tuntutan konkret warga, partai, dan kandidat akan terdorong untuk datang dengan tawaran alternatif kebijakan. Ditambah peningkatan integritas profesional penyelenggara, perbaikan berkelanjutan kualitas pemilu kiranya bukan mimpi.
Pemilu 2024, sebenarnya menyediakan suatu momentum perubahan politik. Selain karena akan lahir secara alamiah generasi baru politik, momentum perubahan dapat diciptakan lewat langkah-langkah perbaikan di atas. Dalam konteks tersebut, perlindungan hak pilih warga patut memperoleh prioritas. Tanpa perbaikan, kita hanya akan melihat berlanjutnya inefektivitas politik.