Sabtu 24 Desember 2022, 05:05 WIB

Jalan Terang Kontroversi Spin-off Bank Syariah

Kindy Miftah Chief Strategy Young Islamic Bankers, Herry Aslam Wahid Direktur Eksekutif MES | Opini
Jalan Terang Kontroversi Spin-off Bank Syariah

Dok. Pribadi
Kindy Miftah (kiri) dan Herry Aslam (kanan).

 

UNDANG-UNDANG (UU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) baru saja disahkan DPR sebelum tutup 2022. UU itu merupakan omnibus law bagi sektor keuangan yang merevisi atau menambahkan pasal-pasal yang berlaku di sektor keuangan, termasuk UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Pasal paling kritis pada UU Perbankan Syariah tersebut, yang direvisi melalui UU ini, ialah Pasal 68 ayat 1 mengenai pengaturan tenggat pemisahan atau spin-off unit usaha syariah (UUS) dari bank umum konvensional pada 2023.

Bunyi lengkap Pasal 68 ayat 1 tersebut ialah "Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya 'atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini', maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah".

Sebelum 2020, diskusi mengenai revisi ketentuan tersebut belum memanas. Dengan kata lain, seluruh bank syariah yang berstatus unit usaha syariah sudah bersiap untuk melakukan pemisahan dari bank umum konvensional selambatnya pada 2023. Namun, rencana penyusunan RUU P2SK oleh DPR menjadi momentum untuk memasukkan revisi Pasal 68 itu sebagai bagian dari RUU P2SK, terutama terkait dengan ketentuan tenggat spin-off pada 2023.

Diskusi dan wacana terkait dengan rencana revisi itu memanas pada 2022 seiring dengan proses pengkajian, pembahasan, dan penyusunan draf RUU yang dilakukan DPR. Sebagian pihak mendukung revisi itu. Namun, sebagian yang lain menolak revisi dengan mendukung agar kewajiban spin-off pada 2023 tetap berjalan. Kelompok prorevisi kerap diwakili praktisi unit usaha syariah, sedangkan kelompok pro-spin-off diwakili figur Adiwarman Karim sebagai tokoh publik di dunia ekonomi dan keuangan syariah. Kedua kelompok pun kerap beradu argumentasi melalui seminar publik, artikel di media, dan publikasi lainnya. Bahkan, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin juga sempat melontarkan pernyataan agar bank syariah tetap spin-off.

Rancangan awal revisi Pasal 68 dilakukan secara sederhana, dengan menghapus kalimat 'atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini'. Dengan demikian, kewajiban spin-off hanya terhadap unit usaha syariah yang asetnya telah mencapai 50% dari bank induknya, padahal tidak ada satu pun yang memenuhi kriteria itu. Unit usaha syariah yang memiliki porsi aset terbesar saat ini hanya berada di kisaran 20%-25%. Sementara itu, sebagian besar unit usaha syariah masih memiliki porsi aset di bawah 15%.

MI/Duta

 

Rumusan kebijakan

Di sisi lain, banyak unit usaha syariah yang sudah memiliki kapasitas untuk melakukan spin-off. Bahkan sebagian sudah melakukan spin-off atau menyerahkan proposal spin-off, terutama yang berstatus BPD kepada OJK, meskipun porsi asetnya masih jauh dari ambang 50%. Hal itu membuat kelompok pro-spin-off berpendapat bahwa permasalahannya ada pada mau atau tidak mau melakukan spin-off, bukan mampu atau tidak.

Di tengah polemik tersebut, dan menjelang akhir masa sidang pada 2022, rancangan revisi Pasal 68 pun diubah sehingga menjadi dua ayat: (1) 'Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS, setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh OJK, Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah', (2) 'Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat meminta pemisahan UUS menjadi Bank Umum Syariah dalam rangka konsolidasi perbankan'.

Dengan perubahan itu, OJK melalui peraturan mereka akan menentukan dan memegang kendali bagaimana syarat dan kondisi UUS yang wajib melakukan spin-off. OJK hanya diberi waktu enam bulan, setelah UU P2SK disahkan, untuk mengeluarkan regulasinya.

Banyak pihak berharap agar OJK dapat merumuskan kebijakan yang lebih tepat dan substantif, selain hanya mengatur tenggat atau ambang batas spin-off. Misalkan, pada draf revisi sebelumnya hanya mengatur syarat ambang batas aset sebesar 50% dari aset bank induk. Padahal, ketentuan itu justru tidak selaras dengan semangat spin-off untuk membesarkan industri perbankan syariah.

Unit usaha syariah yang telah mencapai ambang 50% berarti bank induknya sukses membesarkannya, yang berdampak positif baik pada aset maupun marketshare industri yang membesar. UUS yang sukses seperti itu seharusnya justru diberi pilihan, mau spin-off atau tidak, sebab tanpa spin-off pun, UUS tersebut sudah sukses membesarkan industri perbankan syariah. Pekerjaan rumahnya justru pada unit usaha syariah yang masih jauh dari ambang 50%, seandainya angka tersebut dijadikan indikator kesuksesan. Persoalannya, bagaimana kebijakan spin-off bisa mendorong unit usaha syariah membesarkan asetnya.

 

Pencapaian target

Dengan kerangka berpikir itu, kami memberi masukan kepada POJK terkait dengan kewajiban spin-off yang akan dibuat OJK. Pertama, POJK harus mampu mendorong unit usaha syariah baik yang asetnya nominal maupun yang porsi asetnya masih kecil agar tumbuh menjadi besar. Dorongan tersebut dapat berupa pemberian target finansial tertentu yang harus dipenuhi sebelum tahun tertentu. Misalnya, seluruh unit usaha syariah harus memiliki porsi aset minimal 20% pada 2024 dan 30% pada 2026, atau seluruh UUS harus memiliki aset minimal Rp3 triliun pada 2024 dan Rp5 triliun pada 2026. UUS yang tidak memenuhi syarat tersebut wajib melakukan spin-off.

Kedua, OJK harus mendorong komitmen pemegang saham dan manajemen untuk lebih serius membesarkan UUS yang dimiliki. Hal itu dilakukan dengan mewajibkan pemegang saham dan manajemen menyampaikan target pertumbuhan UUS yang lebih optimal dan mendukung pertumbuhan marketshare industri perbankan syariah. Jika komitmen itu tidak terpenuhi, dan OJK menganggap tidak ada perubahan langkah-langkah yang signifikan yang dilakukan pemegang saham dan manajemen, UUS tersebut wajib spin-off.

Ketiga, OJK dapat membuat target yang disesuaikan dengan kelas aset unit usaha syariah. Misalnya untuk UUS yang telah mencapai porsi lebih dari 15%, targetnya ialah 30% pada 2024. Jika 30% itu tercapai, target selanjutnya ialah 40% pada 2026. Apabila target itu juga tercapai, unit usaha syariah tersebut terlepas dari kewajiban spin-off selama bisa mengelola porsinya tidak turun dari 40%. Namun, jika turun selama dua tahun berturut-turut, unit usaha syariah wajib spin-off.

Demikian pula dengan unit usaha syariah yang porsi asetnya di bawah 15%, targetnya disesuaikan di bawah target UUS yang memiliki porsi di atas 15%. Ketentuan itu sebaiknya dikombinasikan dengan besaran nominal aset UUS ataupun aset bank induknya sebab semakin besar aset, akan semakin sulit untuk menumbuhkan aset atau porsi aset UUS-nya.

Keempat, OJK membuat batas minimum aset UUS yang wajib melakukan spin-off. Misalnya memiliki aset minimal Rp50 triliun. Justifikasi atas ketentuan itu ialah aset yang semakin besar memiliki implikasi pada kompleksitas bisnis yang semakin besar sehingga menuntut adanya proses bisnis dan proses keputusan bisnis yang lebih cepat, taktis, dan efisien.

Selain itu, organisasi UUS yang terbatas membuat ruang gerak dan fleksibilitas dalam menentukan nasib mereka sendiri juga menjadi terbatas. Kondisi itu pada akhirnya membuat UUS harus bergantung pada keputusan dan sumber daya di luar dalam menggarap potensi bisnis yang seharusnya bisa dieksekusi secara lebih cepat dan optimal.

Di luar masukan kebijakan tersebut, OJK juga sebaiknya mengevaluasi apakah ada pengaruh antara model bisnis dan model sinergi UUS, atau model dukungan pemegang saham dan manajemen, terhadap perkembangan aset dan porsinya. Jika memang terdapat pengaruh, OJK dapat menyarankan kepada pemegang saham atau manajemen bank untuk melakukan perubahan atau perbaikan.

Di lapangan, penulis menemukan bahwa tiga unit usaha syariah besar yang masuk jajaran tujuh besar bank syariah tumbuh secara agresif dan eksponensial setelah menerapkan strategi leveraging dan shariah first. Di sisi lain, sebagian besar unit usaha syariah yang masih kecil yang didominasi UUS BPD tidak menerapkan praktik leveraging dan cenderung silo. Maksudnya, unit usaha syariah menggarap segmen dan melakukan daya upaya sendiri yang terpisah dari segmen nasabah dan sumber daya secara bankwide.

Strategi leveraging berarti seluruh sumber daya bank dari sumber daya manusia, sistem, proses bisnis, dan lainnya digunakan seoptimal mungkin untuk mendukung pengembangan portfolio dan bisnis unit usaha syariah. Sementara itu, strategi shariah first berarti bank melalui frontliners atau tim bisnis mereka mengutamakan produk dan layanan syariah dalam menawarkan dan memberikan solusi kepada nasabah meskipun nasabah tidak secara aktif memintanya.

Bahkan, penulis juga menemukan terdapat BPD yang secara kebijakan internal dengan tegas melarang unit usaha syariah untuk menggarap potensi keuangan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan potensi bisnis dari aparatur sipil negara (ASN) pemda, yang merupakan basis utama BPD secara bankwide. Padahal, seandainya rekening APBD bisa dibukukan sebagai rekening syariah dengan melakukan konversi rekening tanpa mengubah nomor rekening, potensinya akan sangat signifikan untuk melejitkan aset unit usaha syariah dan mendukung pertumbuhan portfolionya dalam jangka panjang.

Terakhir, revisi dan evaluasi kewajiban spin-off seharusnya dijadikan momentum perbaikan kolektif sebagai bagian dari dinamika perjalanan industri perbankan syariah ke arah yang lebih baik. Itu disebabkan pada akhirnya spin-off ataupun tidak, itu hanya masalah pilihan jalan ke satu tujuan yang sama, yaitu membesarkan industri keuangan syariah yang lebih bermanfaat untuk umat dan bangsa.

Baca Juga

Dok. Unpad

Suhu Politik di Tahun Politik

👤Yusa Djuyandi Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Kepala Aliansi: Kajian Politik, Keamanan, dan Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran 🕔Selasa 28 Maret 2023, 05:15 WIB
KURANG dari satu tahun lagi, negara kita akan memasuki puncak dari tahun politik nasional, yang titik momentumnya akan dilakukan dengan...
MI/Seno

Madesu Calon Guru

👤Triyanto Guru Besar FKIP UNS Solo 🕔Selasa 28 Maret 2023, 05:00 WIB
Guru adalah elemen penting pendidikan. Sayangnya, pengelolaan guru masih mengalami persoalan yang...
MI/Budi Setyo Widodo

Menuju Pemilu 2024

👤Budi Setyo Widodo 🕔Senin 27 Maret 2023, 15:46 WIB
Keikutsertaan rakyat dalam pesta demokrasi menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan sebuah...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya