Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Sudah Halalkah Presiden Perempuan Indonesia di 2024?

Ahmad Murjoko, Dosen Ilmu Politik Islam STID M. Natsir dan STAI Haji Agus Salim
17/12/2022 06:00
Sudah Halalkah Presiden Perempuan Indonesia di 2024?
Ahmad Murjoko, Penulis Buku Mosi Integral Natsir 1950, Dosen Ilmu Politik Islam STID M. Natsir dan STAI Haji Agus Salim.(dok.pribadi)

TREND konfigurasi pasangan Capres dan Cawapres 2024 tergambar dalam koalisi berikut ; pertama, PDIP dengan 128 kursi dapat mengusung kandidat paket Capres sendirian. Kandidat terkuat saat ini adalah putri mahkotanya yakni Puan Maharani. Kedua, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) antara Golkar, PAN dan PPP dengan jumlah kursi 148. Adapun kandidat Capres nya masih tarik menarik antara Ganjar Pranowo atau Airlangga Hartarto. Ketiga, Koalisi Indonesia Rakyat (KIR) antara Gerindra dan PKB dengan jumlah kursi 136 buah. Adapun kandidat terkuat Capres adalah Prabowo. Keempat, Koalisi Perubahan (KP) antara Nasdem , Demokrat dan PKS dengan jumlah kursi 163 buah. Adapun kandidat Capres terkuat adalah Anies Rasyid Baswedan

Berdasarkan trend koalisi tersebut di atas maka terdapat 4 kandidat Capres. Salah satu diantaranya adalah kandidat Capres perempuan ?

Dulu, saat terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI dalam Sidang MPR RI menyajikan sisi yang menarik untuk dicermati dari sisi gender. Berbeda dengan peristiwa yang terjadi pada tahun 1999 silam, proses pergantian Gusdur ke Megawati, nyaris sepi dari pemberitaan isu gender? Padahal dalam konteks konstruksi budaya masyarakat Indonesia yang masih kuat memegang budaya patriarkhis, posisi perempuan pada sektor publik masih dipersoalkan.

Sementara dikalangan masyarakat Islam di Indonesia yang mayoritas, masalah gender masih cukup krusial karena konstruksi budaya perempuan bersentuhan dengan ranah teologis. Isu gender inilah yang antara lain menjadi batu sandungan Megawati dalam Sidang Umum MPR tahun 1999 gagal menjadi Prediden.

Masih segar dalam ingatan kita tentang pro dan kontra publik menjelang Sidang Umum MPR-RI tahun 1999 mengenai keabsahan Presiden perempuan, terutama dari sudut keagamaan dan budaya. Pada saat itu, persaingan politik memperebutkan posisi puncak baik di Legislatif maupun Eksekutif sangatlah tajam. Situasi ini dimungkinkan terjadi karena Pemilu 1999 tidak berhasil menghadirkan partai politik dengan perolehan suara mayoritas absolut. Tidak terkecuali PDIP meskipun sebagai pemenang Pemilu.

Menurut etika substantif berdemokrasi, seharusnya perwakilan PDIP yakni Megawati diberi kesempatan menempati posisi puncak institusi kepresidenan. Namun, proses politik pada waktu itu belum sepenuhnya berjalan dalam kerangka imperatif moralitas demokrasi sehingga Megawati ternyata gagal menjadi Presiden walaupun bersifat sementara.

Yang menarik untuk dicermati juga adalah langkah taktis lawan politik Megawati, dalam memobilisasi kekuatan agar beliau gagal menduduki kursi kepresidenan, dengan mewacanakan  keagamaan bahwa menjadi presiden perempuan adalah terlarang.

Kita mungkin saja menangkap adanya sesuatu yang absurd terhadap wacana keagamaan terutama yang dikonstruksi beberapa elit politik, karena sempat mempersoalkan keberagamaan seseorang calon presiden (Megawati). Padahal tidak ada satupun otoritas di dunia ini yang bisa menilainya (termasuk calon presiden Islam dari mayoritas masyarakatnya yang beragama lain di negara tertentu). Karena masalah keberagaman adalah masalah hubungan yang sangat pribadi antara manusia dengan Tuhannya. Tetapi, memang begitulah nalar dan praktek politik kita. Nuansa positivistik cukup dominan. Kalau tidak dikatakan telah terjatuh pada kubangan nihilistik.

Praktek politik kita berjalan pada alur linier sebagaimana dalam formulasi aksiomatik Laswell bahwa Who gets what, when, how. Pertanyaan mengenai mengapa (Why) yang berkulminasi pada masalah nilai-nilai dasar, biasanya hanya muncul pada babak akhir, bulan di awal proses politik.

Agama yang sejatinya dijadikan pijakan moral justeru dipolitisasi sedemikian rupa hanya untuk mengukuhkan praktek politik yang positivistik dan bahkan nihilistik. Misalnya persoalan keabsahan perempuan sebagai presiden dengan alasan yang dicari-cari  : agama melarang perempuan menjadi presiden.

Namun, apakah setelah Megawati menjadi Presiden itu berarti sudah mencerminkan kesesuaian dengan kerangka imperatif moralitas berdemokrasi? Atau apakah hal ini juga dikarenakan keberhasilan perjuangan barisan pendukung gerakan gender tersebut? Atau justeru dikarenakan adanya suatu pengorbanan dari kalangan faham keagamaan dan budaya yang telah merubah tentang keharaman presiden perempuan menjadi "halal" sebagai sebuah realitas politik saat ini? Sebab munculnya isu gender juga terjadi di negara-negara sosialis, komunis dan liberalis. Artinya bahwa persoalan gender adalah persoalan tentang isu-isu politik dalam memperjuangkan kepentingan politiknya.

Dengan demikian maka, manakala ada faham atau ajaran yang menolak isu gender tidak lantas harus dibubarkan atau dipersoalkan tentang kebenaran ajaran tersebut dan apalagi sampai mau mengubah tentang larangan presiden perempuan? Dan apalagi dicap sebagai ajaran sesat, tidak sesuai zaman, atau anti demokrasi, dll. Sebab banyak ajaran agama yang melarang korupsi, pelacuran, dll tetapi ternyata masih banyak juga pencuri, koruptor, pelacur yang bebas berkeliaran dimana-dimana. Dan bahkan kadang dibela oleh para penegak hukum. Atau misalnya ada dalil tentang kewajiban ibadah sholat namun ternyata banyak yang tidak sholat?

Praktik Demokrasi di Amerika Serikat

Bagaimana dengan negara "Paman Sam"  kampiumnya demokrasi yakni Amerika Serikat? Apakah ada perbedaan dengan negara yang dipimpin oleh Bibi Megawati, yakni negara Indonesia ? Perbedaan yang menarik untuk dicermati adalah bahwa rakyat Indonesia mampu memperlihatkan bahwa orang nomor satunya adalah Presiden perempuan. Sementara Amerika Serikat yang memiliki sejarah panjang berdemokrasi belum melahirkan seorang presiden perempuan. Padahal hambatan di Amerika berkaitan dengan penolakan faham keagamaan terhadap isyu presiden perempuan boleh dikatakan tidak ada. Sementara di Indonesia sudah sangat jelas munculnya penolakan terhadap Presiden Perempuan. Bahkan keluar fatwa haramnya memilih presiden perempuan. Namun ternyata Megawati tetap terpilih menjadi Presidennya.

Sejak berdirinya, negara Amerika Serikat telah mengandung bibit-bibit yang sangat kontradiktif dalam praktek berdemokrasinya. Seperti persamaan, kebebasan dan kebahagiaan hanya terbatas pada kaum laki-laki kulit putih, bukan perempuan dan kulit hitam. Kedua golongan terakhir tersebut baru mendapatkan hak bersuara secara politik pada tahun 1920 dan 1964.

Berbeda dengan Indonesia kesamaan laki-laki perempuan sudah sederajat. Bahkan pada pemilu tahun 1955 terdapat 2 partai politik peserta pemilu  yang beridentitas partai perempuan yakni; pertama, Partai Wanita Rakyat (Perwari) kedua, Partai Wanita Demokrat Indonesia (PWDI). Di samping juga terdapat peserta pemilu perorangan dari kalangan perempuan. Bahkan anggota legislatornya juga banyak dari kalangan perempuannya termasuk yang di Partai Politik Islam Indonesia Masyumi.

Paling tidak di Amerika serikat hingga pecahnya perang sipil pada tahun 1860, negara tersebut masih menerapkan perbudakan kulit hitam terutama di wilayah selatan. Kaum perempuan pun baru mendapatkan hak suara setelah melalui perjuangan panjang, dan itupun hanya terbatas pada perempuan kulit putih setelah Amandemen Konstitusi ke 19 ditandatangani oleh Woadrow Wilson pada tahun 1920.

Sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya berasal dari Inggris, Amerika Serikat juga turut mengadopsi budaya patriarchal negara yang pernah menjadi penjajahnya tersebut. Budaya patriarchal tersebut menekankan peran publik pada pihak laki-laki dan peran privat nya pada pihak perempuan.

Dikotomi laki-laki dan perempuan tersebut berlanjut hingga ada satu titik temu, dimana perempuan mulai menyadari bahwa terdapat ketidakadilan terhadap dirinya. Ketidakadilan tersebut tampak ketika peran perempuan yang secara kualitatif maupun kuantitatif cukup besar. Namun sungguh sangat kecil penghargaan yang diberikan atas itu, baik oleh suami, keluarga, hukum bahkan negara sekalipun. Mereka selama ini mengalami apa yang dinamakan Herbert Marcuse sebagai toleransi refresif, dimana tuntutan mereka akan selalu dipenuhi asalkan tidak membahayakan sistem yang selama ini sudah mapan.

Pandangan umum atas perempuan Amerika Serikat sebelum pecah perang sipil diantaranya ditampakkan oleh pernyataan Asosiasi Gereja-Gereja Ortodox  se Massachusetts : "Kaum feminis menganggap bahwa pandangan seperti itu bukan merupakan kejadian kasuistik, melainkan bersifat general dan terlembaga. Pandangan seperti ini masuk ke setiap struktur dalam masyarakat yakni keluarga  dimana terdapat dikotomi peran publik privat berdasarkan perbedaan seksual. Pada sudut yang paling umum, negara juga turut  mendukung pelestarian dikhotomi tersebut dengan tidak memproduk legislasi yang memberi jaminan keamanan atas perempuan misalnya hak milik perempuan yang telah menikah, dan tidak diijinkannya perempuan memberikan hak suaranya.

Kondisi semacam itu terus berlanjut walaupun hak suara tersebut telah diberikan juga. Sehingga pada dekade tahun 1960-an, muncul gerakan feminisme gelombang kedua, yang menuntut perbaikan sikap sosial masyarakat atas keberadaan diri mereka. Jika kaum feminisme generasi awal lebih banyak diketahui berdasarkan gerakan suffragetters-nya. Maka feminisme generasi kedua lebih memfokuskan diri pada aspek-aspek kultural (transformasi peran dalam keluarga) meskipun tetap bersinggungan dengan isu-isu politik maupun ekonomi.

Pidato Megawati

Dalam kesempatan menyampaikan pidato politiknya  setelah Megawati dilantik menjadi Presiden setebal 16 halaman yang diberi Thema "Menyambut kemenangan Rakyat dalam Pemilu 1999" itu. Meskipun Megawati telah berupaya melakukan justifikasi serta advokasinya, namun bagaikan halimun, "sang Mega" justeru menjadi kabut yang menyelimuti partai Kepala Banteng tersebut. Berbagai tanggapan pun terlontar. Tidak hanya dari kalangan lawan politiknya, bahkan datang dari para pengamat politik yang selama ini bersimpati padanya.  

Banyak kalangan aktifis perempuan yang menyayangkan isi pidatonya. Kaum wanita Indonesia sangat kecewa terhadap pidato politik Megawati yang tidak sedikitpun menunjukan upaya peningkatan perlindungan atas hak-hak perempuan. "Secara de facto dan de yure pidato politik Megawati tidak menyentuh masalah perempuan", kata Nursyahbani Katjasungkana.

Sebagai calon pemimpin perempuan, lanjut Nursyahbani, Megawati yang nantinya akan ikut menentukan masa depan kaum perempuan, diharapkan melakukan usaha-usaha memenuhi kebutuhan praktis dan strategis bagi peningkatan kedudukan dan peran perempuan. "Namun, ternyata hal itu tidak menjadi perhatian Megawati dalam pidato politiknya", sesalnya.

Padahal, tambahnya, Koalisi perempuan Indonesia sangat menghargai langkah-langkah yang dilakukan oleh Megawati, paling tidak setelah sekian lama menempuh sikap diam atas berbagai situasi politik yang muncul di negeri ini. "Namun di sisi lain, kami merasa prihatin dan sangat kecewa, karena dari seluruh isi pidato yang disampaikan, tidak sedikitpun memasukan agenda persoalan perempuan sebagai agenda politiknya", tegas Sekjen Koalisi Perempuan untuk Keadilan dan Demokrasi di Indonesia itu.

Hal senada juga di sampaikan oleh Ketua DPP PKB, Khofifah Indar Parawansa yang menyatakan bahwa satu kekurangan Megawati yaitu sama sekali tidak merespon gerakan feminisme atau kesadaran gender. "Padahal masalah itu tidak kalah pentingnya", ujar Khofifah sangat kecewa.

Sedangkan berkaitan dengan persoalan fatwa tentang keharaman seorang Presiden Perempuan yang sempat heboh tersebut. Menurut A. Muis : terdapat beberapa alasan yang tidak terlalu logis yang dikemukakan oleh tokoh Islam (A. Muis, presiden perempuan sudah halal, Media Indonesia tanggal 21 Agustus 2001, hal. 4) yakni : pertama, telah terjadi perubahan mendasar di kalangan umat Islam tentang kedudukan perempuan dalam kepemimpinan nasional. Jadi yang berubah adalah sikap umat Islam dan bukan pada ajarannya yang memang telah menentukan demikian. Hal itu sebenarnya sah-sah saja jika dipakai dalam pendekatan ini teori perubahan sosial. Artinya bahwa hal-hal tersebut adalah merupakan isu pertarungan politik dimana saja. Karena sesungguhnya laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk menjadi Presiden. Walaupun ada ajaran yang diyakini melarangnya perempuan menjadi Presiden. Dan hal ini sesuai dengan teori pembentuk gender bahwa pembedaan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat bersifat politis.

Nilai-nilai lama memang bisa jebol jika umat tidak mematuhinya. Tetapi, masalahnya apakah perubahan mendasar tersebut bisa mengubah larangan agamanya ? Tentu tidak mungkin. Atau bolehkah elit politik Islam melanggar larangan agama dalam soal boleh tidaknya perempuan menjadi Presiden ? Tetapi bahwa ada ajaran agama yang diyakini oleh pengikutnya untuk mengharamkan perempuan menjadi Presiden itu juga sebuah fakta lain yang tidak boleh orang lain mengkritiknya sebagai agama yang kolot atau ajaran sesat atau juga harus menjadi perdebatan yang panjang. Sebab persoalan larangan agama juga banyak, sebagai contoh dilarang maling, korupsi, pelacuran, dll. Namun ternyata banyak juga yang melanggarnya. Dan bahkan banyak yang melindunginya atau malah membebaskannya dari kemungkinan mendapatkan hukuman.

Selanjutnya alasan yang kedua, Menurut Ketua Umum PPP, Hamzah Haz dalam wawancara dengan TVRI usai sholat Idul Adha 27 Maret 2001, bahwa agama Islam mengenal keadaan darurat. Jika keadaan darurat, maka apa yang haram tidak lagi haram hukumnya. Pendapat ini berarti, status ibu Megawati adalah status darurat yang 'abadi'. Atau jika keadaan sudah normal maka perempuan akan kembali diharamkan menjadi pemimpin bangsa nomor satu itu.

Berikutnya alasan yang ketiga, yakni alasa yang bersifat pragmatis, bahwa Megawati sudah naik haji sudah akrab dengan umat Islam. Implikasinya adalah jika perempuan sudah Hajjah dan sudah akrab dengan sesama muslimah yang sudah Hajjah. Maka sudah tidak haram lagi untuk menjadi pemimpin bangsa ini ?

Dari ketiga alasan tersebut di atas, memang tidak terlalu logis dan rapuh. Mungkin alasan berikut yang lebih logis dan rasional dan sesuai dengan realitas   adalah bahwa pada awal-awal reformasi opini label haram bagi perempuan Indonesia menjadi Presiden masih sangat kental. Dan itu ternyata dimanfaatkan oleh 'Poros Tengah' dan dengan dukungan Golkar sehingga Megawati terganjal dari kursi kepresidenan, maka Gusdur lah yang menjadi Presidennya.

Isu Anti Gender

Dan berikutnya perlu juga diingat bahwa munculnya Isu anti gender sesungguhnya bukan hanya terjadi negara-negara Islam saja yang memang ada sebagian umatnya yang meyakini atas larangan tersebut. Dan bahkan Bangladesh dan Pakistan tidak melarang perempuan menjadi Perdana Menteri. Tapi masih menjadi perdebatan karena ini bukan orang utama tapi hanya orang kedua saja sehingga dibolehkan. Namun juga terjadi di negara-negara sosialis, komunis dan liberalis. Hal ini terbukti dengan munculnya gerakan-gerakan feminisme yang memperjuangkan hak-hak perempuan tersebut.

Namun ada hal lain yang perlu diperhatikan tentang tidak hanya pada  perdebatan sebelum perempuan menjadi Presiden saja. Tapi juga harus dicermati dengan sungguh-sungguh setelah perempuan menjadi Presiden. Apakah ia akan mengecewakan atau ada hal lain yang menjadi dilematis?

Menurut Tuti Heraty Noerhadi dalam kumpulan karangan, Dilema Budaya Wanita Islam Masa Kini : 1993) terdapat beberapa kemungkinan peluang dilematis akan terjadi setelah perempuan menjadi Presiden yakni :

1. Bahwa suatu masyarakat begitu ketat terutama berpegang pada etika perniagaan, sehingga kehidupan pun diletakan diantara dua sumbu ketaatan beragama dan etika berniaga, perlu direnungkan untuk wanita yang mempunyai aspirasi dalam mengembangkan potensi dan identitasnya sebagai pribadi dan dalam masyarakat di luar kehidupan keluarga.

2. Dalam kehidupan yang keras, apakah itu dalam situasi peran maka para muslimin di negeri Arab pada awal penyebaran Islam maupun dalam iklim kehidupan di negara-negara berkembang yang membangun dalam iklim globalisasi industri dan politik abad ke 2 ini, wanita dinyatakan sebagai pihak yang lemah yang memerlukan perlindungan.

3. Perlindungan itu berkaitan dengan kurang lebihnya kemandirian wanita dalam suatu masyarakat secara sosial, ekonomi, maupun kondisi-kondisi biologis yang pada wanita setegar manapun mengalami saat-saat kritis pada waktu haid, hamil, bersalin, dan menyusui. Bila perlindungan itu diinginkan, maka sekaligus kini dirasakan sebagai titik kelemahan dalam perjuangan emansipasi wanita.

4. Di lain pihak, kondisi pisik dan biologis wanita adalah suatu realitas yang tak dapat dipungkiri tanpa merugikan wanita itu sendiri. Namun, kesetaraan wanita dengan pria cenderung untuk diinterpretasikan sebagai pemaksaan pola hidup pria pada wanita, sehingga iapun diharapkan menjadi manusia produktif dan tidak saja reproduktif.

5. Bahwa posisi pria dilebihkan menjadi pemimpin bagi wanita mungkin dapat dibenarkan dalam situasi perang dan kondisi tempat pria dalam masyarakat tidak ada atau tidak memungkinkan.

Berdasarkan perbedaan isu gender antar dua negara tersebut di atas. Maka apakah Presiden perempuan Indonesia akan lahir kembali pada tahun 2024 ? Adakah perempuan Indonesia yang juga aktifis dakwah Islam, aktifis perempuan, perempua pemimpin partai, perempuan bertitel akademik doktor dan didukung aktifis perempuan. Kalau misalnya kriteria perempuan tersebut ada. Maka apakah peluang menjadi Presiden Perempuan menjadi kenyataan ?

Kita tunggu pada Pemilu 2024 atau pada Pemilu-pemilu berikutnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya