ADALAH suatu kepastian bahwa setiap agama di dunia ini memandang benar seluruh ajarannya. Pun setiap agama diam-diam memandang rendah agama lain. Sikap itu ada dan nyata dalam setiap agama, diakui atau tidak, suka atau tidak. Lalu, bagaimana kita memahami 'moderatisme beragama' sebagai suatu upaya atau kampanye yang akhir-akhir ini getol dilakukan? Apakah mungkin orang yang beragama dengan kuat berperilaku moderat dalam kesehariannya? Adakah suatu hal yang naif bagi para agamawan untuk mengajak umatnya bertindak moderat?
Istilah 'moderat' berasal dari bahasa Inggris moderate, yaitu kata sifat yang berarti sikap sedang dan tidak berlebihan. Dari bahasa Latin, kita dapati kata moderatio yang berarti tidak kelebihan dan tidak kekurangan. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata 'moderasi' dengan penghindaran kekerasan atau keekstreman. Moderatisme ialah istilah kita yang berasal dari kata benda dalam bahasa Inggris moderatism.
Dalam bahasa Arab terdapat istilah washattiyah yang bermakna pertengahan. Dalam karyanya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Ibnu Faris memaknainya dengan sesuatu yang di tengah, adil, baik, dan seimbang. Bahasa yang umum digunakan dalam keseharian kita hari ini, kata wasatiah itu sering kali diterjemahkan dengan istilah moderat atau bersikap netral dalam segala hal. Dari kata itu kemudian muncul terminologi wasith, lalu diadopsi bahasa Indonesia dengan sebutan 'wasit', yaitu orang yang menengahi sebuah pertandingan di antara dua kubu atau kelompok tertentu.
Ketika istilah moderasi atau moderatisme digabungkan dengan agama, dia memiliki makna sebagai 'sikap tidak bersikap keras, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama'. Hal itu merujuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan diri dari perilaku keras atau pengungkapan yang ekstrem (radikal) serta selalu berupaya mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa Indonesia. Moderatisme beragama dapat kita artikan pula sebagai pemahaman dan pengamalan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan (pemahaman yang sangat kaku) maupun ekstrem kiri (pemahaman yang sangat liberal).
Bisakah?
Persoalan memang muncul pada kenyataan beragama yang benar dengan sikap beragama yang moderat itu sebagai dua sikap yang saling bertentangan. Dari manakah asal ajaran tentang sikap moderat itu jika semuanya mendasarkan diri pada ajaran agama yang paling benar? Semua kitab suci selalu mengajarkan bahwa ajaran agamanya ialah paling lurus, sedangkan pada agama lain terjadi pembelokan akidah yang berakibat kepada ketidakbenaran ibadah ataupun hal-hal lainnya. Dengan kata lain, hanya agamanya yang harus diyakini sebagai suatu yang benar. Kalau sudah demikian, sikap moderat dalam beragama itu merupakan suatu hal yang tidak dapat dilakukan karena harus mengorbankan ajarannya tadi.
Dalam agama Kristen, berlaku hukum mengasihi kepada siapa pun, bahkan kepada musuhnya sekalipun. ‘Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’ (Matius 22:39). Dari ayat itu yang sering kali dijadikan sebagai pedoman untuk bertindak moderat sehingga moderat beragama dalam perspektif Kristen ialah 'kasih yang terpancar dan bergerak ke arah luar tanpa syarat dan kepada siapa pun' (Pdt DR Ronny Mandang, MTh). Umat Kristen, sesuai dengan ajaran Yesus, harus menjadi pelopor dan role model untuk moderasi beragama karena dia mengasihi siapa pun, bukan untuk mencari perhatian dari luar atau menarik dari luar ke dalam. Itu tampaknya merupakan pemahaman secara tidak langsung terhadap sikap moderat tersebut.
Pun, dalam Islam sering disebut ayat Al-Qur’an, ‘Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian bisa menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian’ (Al-Baqarah 143). Ummatan washatan ialah umat yang pertengahan, tidak condong kepada ekstrem kiri ataupun ekstrem kanan, yaitu berpegang teguh pada agama Allah.
Di atas ialah langkah secara tidak langsung (indirect) sehingga moderatisme beragama itu tampak mempunyai dasar yang kuat dalam ajaran agama. Namun, sejatinya moderatisme beragama merupakan suatu sikap orang modern dalam beragama karena intinya ialah kemampuan orang untuk tidak ekstrem dalam agamanya. Tidak kaku dalam berpendapat tentang agama, bahkan tidak egois dalam hal-hal yang dimungkinkan untuk didialogkan.
Moderasi ialah sikap orang kekinian yang diperlukan dalam bergaul secara dewasa dan terbuka. Dengan sikap itu dia akan mampu untuk bergaul dengan siapa pun, dari agama apa pun, karena dia akan mampu untuk passing over terhadap berbagai persoalan yang dapat memunculkan konflik.
MI/Duta
Pendidikan moderatisme
Agama membawa ajaran yang bersifat vertikal ataupun horizontal. Keduanya saling berhubungan dan memberikan pengaruh. Kesadaran teologis (vertikal) harus dimanifestasikan dalam dataran perilaku terhadap sesama makhluk (aspek horizontal) dan sebaliknya perilaku keagamaan horizontal harus memiliki roh teologis yang vertikal. Di sinilah peran pendidikan menjadi sangat penting.
Di negara kita, ada tiga lembaga pendidikan, yaitu formal, nonformal, dan informal menjadi penting dalam membentuk siswa agar terbiasa dengan sikap dan perilaku beragama moderat. Beberapa argumen di antaranya, pertama, lembaga pendidikan formal menjadi sarana tepat dalam melaksanakan kegiatan moderasi beragama karena melalui pendidikan formal terjadi ruang pembelajaran yang terstruktur, sistemis, dan mudah dievaluasi.
Kedua, pembelajaran moderasi beragama di lembaga nonformal. Pembelajaran moderasi di lembaga nonformal itu efektif dalam pengembangan wawasan kebangsaan mengingat lembaga pendidikan nonformal dibangun di atas kesadaran masyarakat dan bercorak doktriner. Ketiga, pelaksanaan pendidikan moderasi beragama di lembaga pendidikan informal juga tidak kalah strategisnya. Hal itu mengingat bahwa lembaga pendidikan informal yang menyatu di lingkungan masyarakat dapat efektif membendung paham keagamaan radikal yang mudah diakses dan dikonsumsi masyarakat (Dinar Bela Ayu Najma & Syamsul Bakri, Juli-Desember 2021).
Ketiga jenis pendidikan tersebut memberikan bukti bahwa moderatisme beragama sudah waktunya untuk terus digalakkan dan ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya bagi seluruh lapisan peserta didik. Hal itu karena bangsa yang kuat ialah bangsa yang menjadikan perbedaan warganya sebagai sarana untuk maju dan berkembang kuat. Beragama secara moderat ialah cara terbaik bagi seluruh anak bangsa sehingga agama betul-betul menjadi sarana untuk kemajuan, bukan menjadi racun bagi kehancuran.