Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
STUNTING merupakan kondisi kegagalan proses pertumbuhan dan perkembangan anak balita akibat kekurangan gizi sejak di dalam kandungan. Kondisi ini ditandai dengan tubuh lebih kecil atau kerdil dibandingkan anak seusianya.
Angka prevalensi stunting pada tahun 2013 sebesar 37,2% pada tahun 2013. Pada tahun 2018 menurun menjadi 30,8% dan 27,7% pada tahun 2019. Pemerintah menargetkan angka stunting menjadi 14% pada akhir tahun 2024 atau sekitar 5,33 juta balita yang menderita malnutrisi kronis ini. Angka prevalensi stunting nasional masih sebesar 24,4%, jauh di atas batas yang ditetapkan oleh WHO, yaitu di bawah 20% (kemdikbud.go.id, 14 April 2022).
Stunting disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari kurangnya asupan gizi yang seimbang pada ibu hamil sehingga berpengaruh pada janin yang dikandungnya, peran keluarga, tingkat edukasi, pola pemberian makan anak, dan infeksi.
Baca juga: Visi Hizbul Wathan Bahari untuk Memajukan Negara Maritim
Oleh sebab itu untuk mengatasi stunting diperlukan pendekatan kesehatan, keluarga, ekonomi, sosial dan budaya. Keterbatasan pelayanan kesehatan ibu dan anak, sanitasi lingkungan sekitar dan sumber air bersih juga merupakan faktor yang ikut berpengaruh.
Melihat kompleksitas yang terjadi dalam stunting maka tentunya dibutuhkan kolaborasi luas dari pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakatnya, pihak swasta sebagai mitra pendukung program kesehatan pemerintah, dan masyarakat luas. Kompleksitas masalah stunting diperberat dengan adanya pandemi covid-19 sebelumnya selama 2 tahun, yang menyebabkan pelayanan dan edukasi kesehatan tidak optimal.
Untuk mengatasi stunting, maka pemerintah perlu meningkatkan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan bagi masyarakat melalui penyediaan akses jaminan kesehatan, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), layanan Keluarga Berencana (KB), Program Keluarga Harapan (PKH), edukasi gizi dan kesehatan melalui berbagai media. Aktivasi Posyandu kembali merupakan salah satu upaya untuk mengatasi stunting yang cukup efektif menjangkau sampai ke pelosok daerah.
Pendataan yang akurat merupakan hal penting selanjutnya dalam penurunan stunting untuk menyediakan data prevalensi stunting. Hasil survei stunting tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dapat menjadi dasar penetapan bantuan dan evaluasi pelaksanaan program intervensi gizi yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah.
Akhirnya keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam mencegah stunting. Keluarga dengan tingkat pengetahuan gizi yang memadai akan menghasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Salam Bebas Stunting.
Orang yang kekurangan vitamin D jarang menunjukkan gejala yang spesifik, bahkan merasa sehat-sehat saja.
WHO mengungkapkan bahwa sekitar 3,2 juta anak diperkirakan menderita kekurangan gizi akut di Afghanistan pada akhir tahun ini, dengan 1 juta diantaranya berisiko meninggal.
Sejumlah penelitian komunitas kedokteran mengungkapkan pendekatan maksimal dengan memanfaatkan media sosial dan influencer mampu meningkatkan pengetahuan orangtua dalam pola asuh anak.
ANGKA penanganan masalah gizi buruk termasuk stunting menunjukkan kemajuan meski mengalami tantangan selama masa pandemi COVID-19.
Vitamin D baik dalam bentuk vitamin D2 maupun vitamin D3 juga dapat digunakan sebagai pengobatan dan pencegahan terhadap beberapa penyakit.
Kesehatan tubuh kita sangat bergantung pada asupan nutrisi yang memadai, termasuk vitamin yang berperan penting dalam berbagai fungsi vital.
Pemberian MPASI memiliki syarat yakni aman dan higenis. Makanan yang diberikan tidak bisa sembarang karena daya tahan tubuh anak dengan umur tersebut tidak sekuat usia remaja maupun dewasa.
Jangka pendek, bahaya timbel bisa masuk ke tubuh melalui inhalasi atau ingesti yang dihirup atau pun melalui makanan yang terserap oleh darah dan mengganggu fungsi organ.
Keterlambatan motorik pada anak bisa menjadi tanda adanya masalah kesehatan serius seperti hidrosefalus, palsi serebral, dan skizensefali.
Federation Dental International dan WHO menargetkan anak usia 5-6 tahun setidaknya 50% di antaranya harus bebas dari karies gigi di setiap negara.
Tidak ada bukti bahwa virus itu dapat ditularkan oleh serangga pengisap darah yang menyebarkan demam berdarah dan penyakit lain ketika menggigit manusia.
Target WHO tampak reasonable, tapi kecil kemungkinan terealisasi pada tahun ini. Untuk mencapainya, perlu upaya super: supermasif, superglobal, dan superserius
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved