Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Indonesia dan Kepemimpinan Dunia Islam

Hasibullah Satrawi (Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam)
14/7/2022 05:00
Indonesia dan Kepemimpinan Dunia Islam
Ilustrasi MI(MI/Duta)

PADA 13 Juli kemarin, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memulai kunjungan politik ke beberapa negara di Timur Tengah. Kunjungan yang akan berlangsung sampai 16 Juli mendatang itu dimulai dengan mendatangi dua pihak yang selalu berseteru, yaitu Israel dan Palestina. Yang tak kalah penting (untuk tidak mengatakan yang paling penting), Biden dijadwalkan juga akan mengunjungi Arab Saudi.

Tidak seperti dalam kunjungan-kunjungan Presiden AS sebelumnya, yang selalu memuncak pada kunjungan di Palestina dan Israel, puncak perjalanan politik Biden kali ini diperkirakan justru akan terjadi dalam kunjungannya ke Arab Saudi. Minimal ada dua alasan utama yang menjadikan kunjungan Biden ke Arab Saudi sebagai puncak perhatian masyarakat di kedua negara atau bahkan masyarakat dunia.

Pertama, sikap keras AS di bawah kepemimpinan Biden terhadap Arab Saudi yang secara de facto saat ini dipimpin Muhammad Bin Salman (MBS). Perubahan dukungan AS terhadap perang Yaman yang dipimpin Arab Saudi bisa dijadikan sebagai salah satu bukti politik terkait sikap keras atau kritis AS (di bawah kepemimpinan Biden) terhadap Arab Saudi.

Pun demikian dengan kritikan keras AS (di bawah kepemimpinan Biden) terhadap peristiwa pembunuhan wartawan senior Arab Saudi, Jamal Khashoggi. Pimpinan Arab Saudi diyakini secara kuat terlibat dalam pembunuhan yang sangat keji itu. Alakullihal, faktor-faktor seperti di atas telah membuat hubungan kedua negara tidak semesra sebelumnya, khususnya pada masa kepemimpinan Donald Trump.

Kedua, perang Rusia dengan Ukraina yang terus berlangsung hingga hari ini. Perang tersebut secara langsung memang hanya melibatkan dua pihak, yaitu Rusia dan Ukraina. Namun, secara tidak langsung, perang trsebut juga melibatkan AS dan negara-negara Eropa serta aliansi NATO.

Siapa sangka perang Rusia dan Ukraina diam-diam menghadirkan keuntungan besar bagi Arab Saudi. Baik keuntungan secara politik maupun keuntungan secara ekonomi. Keuntungan secara ekonomi didapat Arab Saudi akibat perang dagang dan komoditas yang juga dilakukan pihak-pihak yang terlibat dalam perang Ukraina-Rusia, termasuk di bidang perminyakan. Untuk mengantisipasi dampak buruk dari minyak Rusia, AS berupaya meyakinkan Riyadh (Ibu Kota Arab Saudi) agar menambah produksi minyaknya.

Alih-alih manut manis dan membebek terhadap kepentingan AS dan sekutunya, Arab Saudi justru menggunakan posisinya yang sangat strategis dalam perminyakan untuk mendongkrak posisi politiknya yang sempat ‘mati suri’ pada awal pemerintahan Biden (seperti terlihat dalam kebijakan perang Yaman yang dikeluarkan AS hanya beberapa hari setelah Biden dilantik).

 

Dimensi kesejarahan

Kunjungan Biden kali ini ke Arab Saudi menunjukkan betapa Arab Saudi memainkan posisi strategisnya dalam perminyakan dengan sangat lihai. Sebagaimana kunjungan Biden ke Arab Saudi kali ini juga mulai membalikkan realitas politik dan peta kepentingan antara ‘Negeri Paman Sam’ dan ‘Negeri Haramain’. Alih-alih MBS yang pergi ke Washington untuk memastikan dan mengamankan kepentingan politiknya, kali ini justru Biden yang ‘berhaji’ (ziarah) ke Riyadh untuk mengamankan semua kepentingan politik dan ekonominya.

Pada titik ini, kita tidak bisa mengabaikan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia, beberapa waktu lalu. Kunjungan itu sudah pasti bersejarah sebagaimana telah disampaikan banyak ahli dan pakar selama ini. Dimensi kesejarahan dari kunjungan Jokowi kemarin bukan hanya karena ini baru kali pertama Indonesia menjadi ‘mediator’ di antara dua negara yang sedang berperang. Lebih daripada itu, karena baru kali ini Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam menduduki takhta tertinggi dalam kepemimpinan dunia Islam.

Sebagaimana dimaklumi bersama, sampai hari ini, tidak ada satu pun dari negara berpenduduk mayoritas Islam yang diterima sekaligus berkunjung langsung ke Ukraina dan Rusia (beserta pihak-pihak yang ada di belakang kedua negara ini). Padahal, dalam isu yang lain, cukup banyak negara yang kerap menampakkan pengaruh dan posisinya sebagai ‘pemimpin’ bagi dunia Islam.

Dalam hal konflik Palestina-Israel, contohnya, negara-negara seperti Turki, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Mesir, Yordania, bahkan juga Iran, acap menampakkan gigi politiknya seakan negara-negara itu juga ingin diperhitungkan. Pun demikian dalam persoalan demokrasi. Negara-negara seperti Turki dan Iran (selain Indonesia) juga kerap dirujuk banyak pihak sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim yang relatif kuat pengalaman demokrasinya.

Namun, dalam konteks perang Ukraina-Rusia, hanya Indonesia yang bisa dan berani datang langsung ke dua negara itu. Turki memang pernah mencoba memediasi Rusia dan Ukraina, tapi tidak ada satu pun pejabat Turki yang diberitakan (minimal secara terbuka) berkunjung secara langsung ke dua negara itu. Padahal, secara politik dan ekonomi, Turki juga memiliki kepentingan yang tak dapat dikatakan rendah.

Kepentingan yang sama besarnya terhadap Rusia dan Ukraina juga dimiliki banyak negara lain yang berpenduduk mayoritas muslim, termasuk Arab Saudi. Namun, faktanya, sampai hari ini tidak ada satu pun dari negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang datang langsung dan diterima dengan baik oleh Ukraina dan Rusia.

Pada titik ini, dapat ditegaskan bahwa kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia pada beberapa waktu lalu telah membuat Indonesia menduduki takhta tertinggi dari kepemimpinan dunia Islam.

Oleh karenanya, Indonesia harus terus mengoptimalkan perannya sebagai pemimpin dunia Islam. Momen Presidensi G-20, roh kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif dan karisma nonblok yang membuat Indonesia naik takhta seperti sekarang harus dioptimalkan. Tidak hanya untuk mendapatkan dukungan, untuk pelbagai macam kepentingan pembangunan nasional, tetapi juga yang tak kalah penting untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia (sebagaimana telah digariskan dalam pembukaan UUD 1945).

Dalam konteks seperti ini, Indonesia tidak boleh mundur lagi. Indonesia harus terus melangkah maju ke depan. Semakin berperan aktif dalam hal-hal yang bisa berkontribusi bagi terbentuknya tatanan dunia global yang lebih damai.

 

Momentum emas

Dalam konteks global saat ini, tidak ada kepentingan lebih besar daripada segera diakhirinya perang antara Ukraina dan Rusia. Presidensi G-20 merupakan momentum emas yang harus digunakan Indonesia untuk mengakhiri perselisihan yang terjadi. Sementara itu, dalam konteks dunia Arab dan dunia Islam secara umum, sangat penting adanya pelibatan rakyat dalam proses-proses politik yang ada hingga roda pemerintahan bisa berjalan secara sehat menuju pada perwujudan dan perlindungan terhadap kepentingan bersama.

Persis di sinilah pentingnya Indonesia mengikuti perkembangan yang timbul dari kunjungan Joe Biden kali ini ke sejumlah negara di Timur Tengah. Di satu sisi, kunjungan tersebut dipastikan akan berdampak terhadap hal-hal aktual yang saat ini terjadi di dunia global secara umum dan regional Timur Tengah secara khusus. Sementara itu, di sisi yang lain, Indonesia masih memegang Presidensi G-20 yang bisa digunakan untuk menertibkan ‘berkas-berkas’ politik negara-negara berpengaruh di dunia. Bukan hanya untuk kepentingan Indonesia, melainkan juga untuk ketertiban dunia yang menjadi cita-cita dari Indonesia merdeka.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik