Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Cinta Buya Syafii kepada Bangsa

Hajriyanto Y Thohari Ketua PP Muhammadiyah
28/5/2022 05:10
Cinta Buya Syafii kepada Bangsa
Buya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif.(MI/SUMARYANTO BRONTO)

BUYA Syafii, panggilan akrab Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif, adalah pengagum berat Mohammad Hatta, wakil presiden pertama kita. Keduanya kebetulan memiliki banyak kemiripan. Mirip dengan Bung Hatta, Buya Syafii adalah cendekia wan kelahiran Minang.

Jika Hatta belajar ke Batavia kemudian Belanda, Syafii ke Yogyakarta dan kemudian Amerika. Keduanya juga penulis yang sangat prolifik dan artikulatif dalam pelbagai permasalahan kerakyatan, keumatan, kebangsaan, dan kenegaraan.

Keduanya juga seorang muslim yang sangat alim, sangat saleh, dan sangat antikorupsi, sekaligus dalam satu tarikan napas: amat sangat mencintai bangsa dan negaranya lahir batin sampai tembus ke dasar hati yang paling dalam.

Keduanya juga orang yang sangat takut kepada Tuhan. Bedanya, Hatta dari awalnya, sejak di Belanda, telah tampil sebagai nasionalis dan berpandangan memisahkan oeroesan negara dan oeroesan agama, sedangkan Buya Syafii, seperti pengakuannya sendiri, pada awalnya fundamentalis dan kemudian berubah menjadi nasionalis. Ada dugaan yang hipotetis bahwa di Amerika-lah Syafi i mulai berubah.

Tapi sangat meyakinkan ketika memimpin Muhammadiyah (1998-2000 dan 2000-2005), Buya Syafi i sudah nasionalis. Tegasnya, Muhammadiyah dengan Hizbul Wathan-nyalah yang memaripurnakan nasionalis (-me) Buya Syafii. Hizbul Wathan (HW), artinya Fraksi Tanah Air, adalah kepanduan Muhammadiyah yang sangat patriotis yang berdiri pada 1918, yang melahirkan antara lain Panglima Besar Sudirman.

Walhasil, kedua tokoh besar bangsa ini, Syafii dan Hatta, sangat mirip: pendamba persatuan nasional yang paripurna bahwa integrasi dan integritas bangsa ini dapat diwujudkan dalam pengertian yang sebenarnya.

Di usianya yang sudah sangat sepuh, Buya Syafii tetap saja selalu risau dengan perkembangan bangsa ini. Kerisauan itu selalu diartikulasikan dalam tulisan-tulisannya yang sangat artikulatif, bernas, dengan pilihan diksi yang khas putra Minang yang romantis dan sentimental, serta sesekali terkesan hiperbolis. Tapi itulah Buya. Kepada anak-anak muda Muhammadiyah, Buya Syafii selalu menekankan pentingnya inklu sivisme.

Buya mengkritik keras anak-anak Muhammadiyah yang memiliki sikap Muhammadiyah exceptionalist. Tidak sekali dua kali Buya Syafii mengingatkan dengan tandas, “Jika bangsa ini terjungkal, Muhammadiyah juga akan terjungkal. Bahkan juga umat Islam Indonesia!”

Tidak ada satu pun kelompok dan golongan dalam tubuh bangsa ini yang boleh merasa istimewa (exceptional) dan minta diistimewakan. Negara ini memang dibangun oleh semua golongan dan elemen bangsa tanpa terkecuali. Ini adalah fakta sejarah. Tetapi dalam kacamata Buya Syafii, ada fakta yang lain: dari semua golongan, tidak hanya golongan nasionalis, tidak hanya golongan Islam, semuanya pernah ‘menyumbangkan’ kader-kader yang secara sengaja mencederai bangsa ini dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketika ada salah seorang yang selama ini mengaku kader Muhammadiyah di kancah politik yang tersandung kejahatan korupsi, Buya Syafi i dengan tegar tapi getir mengatakan, “Muhammadiyah adalah juga bagian dari bangsa yang korup ini.”

Buya Syafii mencintai bangsa ini lebih dari siapa pun. Saking patriotisnya, Buya mengkritik semboyan anak muda Muhammadiyah sebagai ‘Kader persyarikatan, kader umat, dan kader bangsa’. Dengan tandas dan tajam Buya meminta semboyan yang kurang patriotik tersebut dibalik menjadi ‘Kader bangsa, kader umat, dan kader Muhammadiyah’. Pasalnya, bagi Buya, bangsa (nation) ini adalah nomor satu yang harus dinomorsatukan, dan negara ini adalah yang utama dan harus diutamakan. Doktrin Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai darul ‘ahdi wal-syahadah yang disemaikan Ahmad Dahlan melalui Hizbul Wathan (1918) disiangi dengan sabar dan tekun oleh Buya Syafii, dan akhirnya diformalkan dalam Muktamar Muhammadiyah.

Meski kadang merasa tertipu oleh janji dan sumpah sementara elite bangsa, Buya tetap mencintai negara dan bangsa ini dengan tulus sepenuh hati tanpa pretensi. Buya adalah salah satu hati nurani bangsa ini. Orang Minang, yang meski menghabiskan bagian terbesar hidupnya di bastion kebudayaan Jawa, Yogyakarta, ini tidak bisa meninggalkan budaya terus terangnya dalam memberikan penilaian dengan kata-kata dan diksi yang tajam. Sebuah pribadi yang kukuh dan nyaris tanpa aspirasi kepemimpinan. Buya memang berpihak, tetapi Buya tetap kritis dan tajam. Buya memang Buya dengan segala renungannya yang serba mengesankan: selalu risau akan masa

depan bangsa. Pencinta bangsa dan negara itu kini meninggalkan kita, bangsa Indonesia. Selamat jalan, Buya. Engkau berpulang dengan penuh rida dan diridai. Amin.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya