Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Ramadan, Takwa Bonus Sehat

Iqbal Mochtar Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Pengurus Pusat IAKMI dan Anggota Perdoki
14/4/2022 05:00
Ramadan, Takwa Bonus Sehat
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PUASA itu ancient ritual, telah dilakukan manusia sejak zaman dahulu kala. Penganut berbagai agama mempraktikkannya. Tujuannya sama, mendekatkan diri kepada Tuhan dan mengembangkan solidaritas sosial terhadap sesama. Cuma dalam setiap zaman dan agama cara pelaksanaannya berbeda-beda. Ada yang berpuasa hanya dalam beberapa jam dalam satu hari (simple fasting), tetapi ada pula yang berpuasa hingga 24-48 jam selama beberapa hari (warrior fasting). Dalam berpuasa, ada yang tidak makan dan minum apa pun, tetapi ada juga yang hanya tidak mengonsumsi makanan tertentu.

Dalam bidang kedokteran, puasa telah dianjurkan bapak kedokteran Hipocrates pada abad ke-5 M. Saat itu, Hipocrates menganjurkan puasa terhadap orang yang mengalami gangguan kesehatan tertentu. Tujuan puasa pun bermetamorfosis. Semula hanya ibadah, berkembang meliputi tujuan kesehatan. Perkembangan tujuan puasa memantik munculnya beragam puasa terapeutik. Folin and Denis pada 1915 menganjurkan puasa singkat selama beberapa hari untuk mengurangi kegemukan. Circa pada 1945 memperkenalkan intermitten fasting yang banyak dipraktikkan saat ini.

Dalam Islam, puasa diwajibkan selama sebulan dalam Ramadan. Mulai terbit fajar hingga tenggelamnya matahari, umat muslim mesti berpuasa dari makanan, minuman, dan melakukan hubungan seksual. Mereka juga dianjurkan tidak bergibah, menipu, berdusta, dan melakukan hal-hal buruk lainnya. Waktu yang ada harus diisi kegiatan kebaikan. Itu termasuk beribadah, bersedekah, dan menolong orang lain. Malam harinya, mereka dianjurkan memperbanyak beribadah, berzikir, dan bertafakur, termasuk mengintrospeksi perjalanan hidup mereka selama ini.

Puasa Ramadan ialah ibadah wajib dan merupakan pilar Islam. Puasa melatih pengendalian hawa nafsu dan disiplin. Tujuan akhirnya menjadikan manusia takwa. Orang yang bertakwa akan memiliki automatic control, ada atau tidaknya saksi dan peraturan, mereka akan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Ia menjadi independent and voluntary obeyer.

 

Empat fase bioseluler

Orang normal yang berpuasa mengalami empat fase bioseluler. Pertama, dalam 8 jam pertama berpuasa, tubuh masih menggunakan sisa makanan terakhir sebagai bahan energi. Jadi, kegiatan apa pun dilakukan, energinya murni dari makanan. Setelah 8 jam, energi dari makanan sudah tidak cukup dan tubuh mulai memasuki fase kedua, yaitu glycolysis. Pada fase itu, tubuh memetabolisasi dan memanfaatkan cadangan gula yang ada pada hati dan otot sebagai sumber energi. Proses glycolysis ini berlangsung 8 hingga 12-18 jam setelah makan terakhir. Sebagian menyebut hingga 1-2 hari.

Setelah periode tersebut dan orang tetap berpuasa, tubuh akan memasuki fase ketiga, yaitu gluconeogenesis. Pada fase itu tubuh mulai menggunakan bahan nongula sebagai sumber energi, di antaranya asam laktat dan asam amino. Proses itu berlangsung pada puasa 19-48 jam.

Fase pertama dan kedua tidak membahayakan tubuh, sedangkan fase ketiga dianggap mulai membahayakan oleh sebagian ahli. Bila orang terus berpuasa setelah 48 jam, tubuh mulai memasuki fase keempat, yaitu augmented keton metabolism. Pada fase itu terjadi peningkatan signifikan keton, yang oleh sebagian ahli dianggap telah berbahaya. Artinya, berpuasa di atas 19-48 jam sehari sudah berpotensi membahayakan tubuh.

Lama puasa Ramadan bervariasi dari satu negara ke negara lain. Rentangnya 12-19 jam. Jarang ada negara yang puasanya melebihi 19 jam per hari. Artinya, di negara mana pun orang berpuasa, lama puasa tidak akan mengantar orang memasuki fase augmented keton metabolism. Kasarnya, pada orang tanpa penyakit serius, puasa tidak akan menyebabkan gangguan tubuh, apalagi menyebabkan kematian. Tampak memang bahwa puasa telah didesain oleh-Nya dalam batas yang bisa ditoleransi tubuh manusia.

Lebih dari itu, berpuasa dengan baik justru menyehatkan tubuh. Banyak fakta ilmiah mendukung hal itu. Penelitian menunjukkan jika dibandingkan dengan orang tidak berpuasa, sel-sel tubuh orang berpuasa hidup 83% lebih lama, kadar gula darah menurun 3%-6%, dan insulin menjadi lebih efektif 20%-31%. Resistansi insulin yang menjadi dasar berbagai penyakit metabolik, seperti diabetes, hipertensi, dan sindrom metabolik, akan berkurang. Kasarnya, berpuasa dapat meminimalkan penyakit hipertensi, diabetes, dan sindrom metabolik. Penelitian lain menjelaskan pada orang berpuasa akan mengalami proses otofagi dan perkembangan sel-sel otak yang berperan memperlambat penyakit kanker dan alzheimer.

Dalam dunia kesehatan, hasil studi systematic review merupakan bukti ilmiah tertinggi. Systematic review ialah penggabungan banyak penelitian. Saat ini, telah banyak systemtic review terkait dengan manfaat puasa Ramadan. Dalam studi LORAN, puasa Ramadan menurunkan tekanan darah sistolik 7,3 mmhg dan tekanan darah diastolik 3,4 mmhg. Penurunan itu setara atau melebihi efek mengonsumsi satu obat antihipertensi.

 

Golden opportunity

Studi pada atlet olahraga juga menemukan bahwa performa atlet tidak terpengaruh oleh puasa Ramadan, baik pada kegiatan pagi maupun sore hari. Sebuah systematic review membandingkan antara puasa Ramadan dan intermitten fasting di luar Ramadan. Hasilnya, ketimbang intermitten fasting di luar Ramadan, puasa Ramadan lebih efektif dalam menurunkan berat badan dan massa lemak relatif tubuh. Banyak lagi studi yang mendukung manfaat puasa Ramadan bagi kesehatan.

Terlepas dari beragam bukti ilmiah tersebut, tujuan orang muslim berpuasa ialah menjadi insan takwa dan bukan untuk kesehatan. Manfaat kesehatan dianggap bonus, ada atau tidaknya itu bukan soal. Ramadan dianggap golden opportunity untuk menjadi takwa. Makanya, sebagian muslim berkeras untuk bisa salat berjemaah, tarawih, dan melakukan ibadah lain di masjid meski di tengah pandemi. Keinginan ini wajar-wajar saja, apalagi dalam dua Ramadan sebelumnya, hal ini tidak bisa dilakukan maksimal.

Dengan membaiknya profil epidemiologis saat ini, memang sebaiknya kesempatan melakukan ritual Ramadan ini diberikan dengan bijaksana. Protokol kesehatan bisa saja tetap diberlakukan, tetapi jangan berlebihan. Jangan sampai muncul kesan bahwa kalau untuk kegiatan lain pemerintah fleksibel, tetapi kalau untuk ritual agama dibuat restriksi. Marhaban ya Ramadan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik