Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Membangun Kota Premium Jadi Pintu Masuk Singkirkan Warga Asli

Bernardus Tube Beding, Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng
27/3/2022 21:05
Membangun Kota Premium Jadi Pintu Masuk Singkirkan Warga Asli
Bernardus Tube Beding(Dok pribadi)

PEMERINTAH Republik Indonesia melalui integrated tourism master plan (ITMP) telah menetapkan Labuan Bajo sebagai kota pariwisata super premium kelas dunia sesuai arahan Presiden RI Joko Widodo. Itu karena kabupaten di ujung barat Pulau Flores tersebut memiliki keunggulan komodo, hewan yang cuma ada di Nusa Tenggara Timur (NTT). 

ITMP telah disusun pada 2020-2021. Karenanya, pemerintah melalui kementerian-kementerian terkait terus berupaya memaksimalkan potensi Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo. Berbagai pembangunan digerakkan untuk komodo. Sejumlah pembenahan dan pembangunan dengan memaksimalkan potensi Labuan Bajo dan segala kekayaan alamnya. 

Pemerintah pusat dan daerah memiliki satu semangat misi dan tujuan untuk melakukan pembangunan guna menciptakan perubahan-perubahan tertentu di Labuan Bajo dan sekitarnya. Sebagaimana yang dikatakan Kartasasmita (1994), pembangunan merupakan suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana. 

Dapat dilihat secara umum, pembangunan adalah sebuah fenomena sosial yang pasti terjadi pada entitas masyarakat dengan tujuan membangun dan mengubah dari keadaan semula menuju keadaan akhir yang lebih baik (menurut pemerintah, pemilik pembangunan). Fenomena ini dapat dilihat secara nyata di Labuan Bajo bahwa pembangunan gencar dilakukan di sana-sini. Bisa muncul pertanyaan 'nakal' sebagai wujud 'sekenanya saja', pembangunan seperti apa yang secara masif dan premium tengah dilaksanakan tersebut? 

Pembangungan masif

Tidak dapat dimungkiri bahwa pemerintah seakan berfokus kepada pembangunan bersifat fisik. Seperti diberitakan kompas.com (2/10/2021), pembangunan dan penataan Puncak Waringin (gedung utama seluas 350 meter persegi yang berfungsi sebagai lounge dan pusat cinderamata serta viewing deck, serta bangunan komersial seluas 525 meter persegi yang berfungsi sebagai kios lengkap dengan toilet serta musola dan area tenun). Selain itu, di tempat yang sama, Kementerian PUPR juga membangun ruang terbuka publik seluas 1.700 meter persegi yang dilengkapi dengan amfiteater seluas 267 meter persegi dan area parkir seluas 235 meter persegi. 

Selain itu, Kementerian PUPR juga meningkatkan kualitas dan konektivitas layanan jalan dalam Kota Labuan Bajo sepanjang 16,8 kilometer. Secara kasat mata dapat kita lihat jalan, trotoar, dan drainase Jalan Soekarno Atas 2,19 kilometer, Jalan Soekarno Bawah 2,01 kilometer, Jalan Simpang Pede 4,51 kilometer, Jalan Yohannes Sahadun 4,05 kilometer, dan peningkatan jalan kawasan pariwisata Waecicu 4 kilometer. 

Peningkatan kualitas layanan jalan tersebut diiringi dengan penataan kawasan pedestrian sehingga memiliki trotoar kualitas premium dengan menggunakan batu andesit yang ditata rapi. Penataan trotoar jalan tetap mempertahankan tata hijau dengan ditanami pohon agar teduh, terutama tanaman lokal seperti Sakura Flores dan Flamboyan.

Pemerintah juga melakukan penataan kawasan Batu Cermin seluas 0,92 hektare melalui pembangunan sejumlah fasilitas seperti Gedung Gua Batu Cermin yang terdiri dari plaza, auditorium, toko cendera mata, pusat informasi, kantor pengelola, dan toilet. Dibangun juga amfiteater, rumah budaya, area parkir mobil dan bus, dan jalur treking menuju gua dengan skema padat karya tunai (PKT) yang melibatkan masyarakat/warga setempat sebagai pelaku pembangunan. 

Tentu, seluruh pekerjaan dilakukan dengan penuh ketelitian dan detail yang mengedepankan kualitas artistik dan unsur seni. Satu harapan bahwa penataan ruang publik sesuai dengan karakteristik dan kearifan lokal budaya daerah sehingga dapat mendatangkan devisa, membuka lapangan kerja, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal. Dengan semua ini, apresiasi dan terima kasih layak diberikan kepada pemerintah pusat.

Satu sisi, pembangunan fisik lain yang kasat mata dan darinya mengalir uang tiada henti dengan dalih menyejahterakan berbagai pihak dari segi ekonomi. Pembangunan fisik tersebut diwujudkan dalam bentuk hotel, mal, apartemen, dan toko waralaba yang kini makin marak menjamur terutama di daerah perkotaan Labuan Bajo dan sekitarnya. Padahal, sejatinya pembangunan itu tidak semata-mata mengenai membangun sesuatu yang kasat mata saja.

Hal ini sebagaimana dikatakan Denis Goulet dalam Todaro (2000), bahwa pembangunan tidak hanya sebagai hal yang secara konkrit dapat dilihat secara kasat mata, akan tetapi justru lebih mengarah kepada perubahan yang menyeluruh meliputi usaha penyelarasan seluruh sistem sosial terhadap kebutuhan dasar dan keinginan-keinginan yang berbeda bagi setiap individu dan kelompk sosial dari sistem tersebut.

Ekspansi

Labuan Bajo sebagai salah satu kota yang menjadikan pariwisata sebagai sumber pendapatan daerahnya, tempat penginapan seperti hotel merupakan hal yang menjadi agenda dan fokus pembangunan kota premium, Labuan Bajo. Identitasnya sebagai kota pariwisata premium tingkat dunia menjadikan Labuan bajo dipandang memiliki peluang besar bagi investor dalam bidang perhotelan untuk melakukan ekspansi usaha mereka. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Barat, pada 2018 ada 98 hotel dengan 1.462 kamar dan 3.029 tempat tidur. Jumlah ini mengalami peningkatan drastis ketika Labuan Bajo mendapat predikat sebagai kota wisata premium. Hotel di Labuan Bajo dan sekitarnya menurut data traveloka.com. sebanyak 159 yang terbagi dengan beberapa tipe dan spesifikasi dari melati hingga berbintang lima. Bahkan, beberapa di antaranya merupakan milik jaringan perusahaan perhotelan internasional, sehingga terdapat sekitar puluhan ribu unit kamar hotel baru di kota wisata premium itu.
 
Seiring meningkatnya pertumbuhan hotel di Labuan Bajo, hal ini menyebabkan harga tanah di sana semakin meningkat. Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan serbuan para investor mengakibatkan harga tanah di Labuan Bajo melonjak sangat tinggi dalam tempo singkat. Tidak salah banyak klaim kepemilikan dan batas tanah menjadi salah satu masalah di Labuan Bajo, baik antarmasyarakat adat setempat, antara pemerintah dengan masyarakat, antara masyarakat dengan pengusaha, juga sengketa penguasaan masyarakat dalam kawasan hutan. 

Saya bisa mengatakan bahwa harga tanah di Labuan Bajo bisa seimbang, kurang lebih sama dengan harga tanah di sejumlah kota besar yang berkisar Rp2 juta-Rp3 juta per meter. Kenaikan harga tanah di Labuan Bajo menyebabkan tanah sebagai salah satu aset properti itu tidak dapat dijangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat asli Labuan Bajo 'terlempar' ke luar wilayahnya sendiri. Mereka yang asli bisa menjadi asing di tanahnya sendiri.

Daerah Kota Labuan Bajo dan sekitarnya merupakan wilayah favorit bagi para investor untuk memperluas sayap usaha, mengingat kawasan yang sangat strategis sebagai kota pariwisata premium. Tingginya permintaan pasar akan hotel dan naiknya harga tanah membuat penduduk di wilayah Labuan bajo dan sekitarnya, terutama penduduk pribumi (asli), tergiur untuk menjual aset tanah yang dimiliki kepada para investor. Namun, tidak semua dari mereka menjual tanahnya secara sukarela. Ada yang tanahnya 'diminta' oleh pihak-pihak tertentu secara paksa. Setelah tanah mereka terjual, mereka secara perlahan 'terlempar' atau tergusur dari wilayah tersebut. 

Pembangunan secara umum di Labuan Bajo selalu berorientasi pada pasar dan pemenuhan konsumsi global. Masyarakat yang tidak memiliki modal akan menjual satu-satunya aset berharga yang dimiliki, yaitu tanah maupun rumah. Para penduduk pemilik tanah yang terhimpit keadaan serta kondisi ekonomi tersebut berharap dapat mengubah nasib setelah menjual tanah mereka pada investor. Nasib mereka memang berubah. Namun, perubahan itu berkebalikan dengan apa yang mereka harapkan. 

Akhirnya, mereka didesak untuk membeli tanah dan perumahan di daerah-daerah sub-urban serta terpaksa meninggalkan Labuan Bajo yang pernah menjadi tempat tinggalnya. Hal ini merupakan fenomena yang pasti akan terjadi di tengah pergelutan modernisasi, ketika kota-kota besar hanya akan diisi oleh mereka yang berkantong tebal. Bagi yang tidak memiliki cukup modal atau dana akan terekslusi ke luar kota. Masyarakat yang tereksklusi ini tak jarang ditempatkan sebagai second class citizenship, sebab mereka bukanlah subjek dari pembangunan yang tengah berlangsung.

Silver (Bernt, et al., 2013) mengemukakan tiga paradigma yang saling berkonflik dan melekat pada eksklusi yang terjadi di masyarakat, yaitu solidaritas, spesialisasi, dan monopoli. Eksklusi yang terjadi di Kota Labuan Bajo merupakan eksklusi yang disebabkan atas adanya monopoli yang dilakukan sekelompok unequal insider, yang dalam konteks ini adalah para investor dan pengusaha hotel. Hal tersebut dibuktikan dengan kepemilikan tanah dan properti di kawasan strategis Kota Labuan bajo hanya oleh para kalangan berduit. Mereka seperti dikatakan Ritzer (2015) menggunakan ruang abstrak sebagai alat untuk melakukan monopoli agar dapat mendapatkan ruang yang semakin luas.

Kemudian, representasi ruang ini dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai dan mempertahankan dominasi. Monopoli yang dilakukan oleh para unequal insider tersebut mengakibatkan tergusurnya kelompok yang tak memiliki ruang. Masyarakat memang mendapatkan uang dari hasil penjualan tanah atau rumah mereka.

Namun, uang tersebut belum tentu dapat digunakan untuk membeli rumah atau tanah baru di kawasan yang lebih baik yang harganya tentu juga telah naik. Hal ini dapat disebut seperti pernyataan Levebfre (Ritzer, 2015) sebagai pembongkaran urban. Hal itu dapat dimungkinkan bahwa masyarakat miskin dimarjinalkan dan digusur secara perlahan dari kota karena mereka telah dianggap kalah dalam kontestasi ruang kota. 

Begitulah pembangunan yang marak terjadi di sekitar kita saat ini, justru berdampak pada terjadinya eksklusi. Pembangunan yang mengikuti modernisasi tersebut pada kenyataannya justru menggusur warga masyarakat yang disebut-sebut merupakan sasaran pembangunan itu sendiri. Mudah-mudahan tidak demikian orientasi pembangunan kota premium Labuan Bajo yang membuat 'yang asli menjadi asing' di negeri sendiri. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya