Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
KETEGANGAN politik antara Rusia dan Ukraina, beserta Amerika Serikat, Eropa, dan NATO (baca: negara-negara Barat), akhir-akhir ini menjadi topik hangat di berbagai kanal televisi dan media sosial. Karena sebagian besar informasi didapatkan dari sumber negara-negara Barat, maka tak mengherankan kalau pendapat dan posisi Rusia kurang diperhitungkan. Akibatnya, Rusia digambarkan sebagai negara yang agresif, ganas, penyebab masalah, dan dalam jangka waktu dekat akan menyerang Ukraina.
Banyak dari rekan penulis yang masih awam di Indonesia yang ingin mengetahui duduk perkara dan mendengar pendapat penyeimbang dari pihak Rusia yang jarang terdengar. Oleh karena itu, penulis yang saat ini sedang belajar di Rusia dan mendalami politik luar negeri Rusia tergerak untuk menjelaskan secara singkat dan sederhana mengenai posisi Rusia dalam ketegangan politik ini.
Secara singkatnya, ketegangan politik saat ini merupakan buah dari kekecewaan Rusia atas posisi negara-negara Barat selama puluhan tahun ke belakang. Rusia seakan telah ‘kehabisan kesabaran’ karena telah dikecewakan dalam beberapa kesempatan.
Awal mula masalah dapat ditarik dari janji negara-negara Barat untuk tidak memperluas perkumpulan militer NATO ke arah timur menuju perbatasan Rusia. Dikabarkan, pada awal-awal tahun 90-an ada sebuah perjanjian lisan di antara pemimpin-pemimpin Eropa, beserta Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang meminta Uni Soviet untuk mengurangi pengembangan militer dan senjata nuklirnya, serta membubarkan Pakta Warsawa (perkumpulan militer negara-negara komunis-sosialis Eropa Timur). Sebagai gantinya, negara-negara Barat berjanji untuk membantu Uni Soviet secara ekonomi dan memberikan garansi untuk tidak memperluas wilayah NATO melebihi batas negara Jerman yang baru kembali bersatu.
Sayangnya, tidak ada dokumen tertulis yang dapat menjadi rujukan dasar hukum dari perjanjian ini. Jadi, ketika negara-negara Eropa Timur mantan anggota Pakta Warsawa bergabung ke NATO di awal abad ke-21 (Polandia, Ceko, Hongaria, Slovenia, Slovakia, Rumania, Bulgaria, Lithuania, Latvia, dan Estonia), dan peralatan militer NATO bergerak semakin ke timur menuju perbatasan Rusia serta mengancam kemanan wilayahnya, Rusia tidak memiliki bukti untuk meminta jaminan janji yang telah diucapkan tersebut.
Oleh karena itu, Rusia memandang bahwa negara-negara Barat dalam hal ini telah menipu dan membohongi mereka. Maka, tidak aneh jika dalam beberapa kesempatan Presiden Rusia mempertanyakan apa maksud dari perluasan NATO ke arah timur, dan untuk apa diletakkan peralatan misil pertahanan di dekat perbatasan Rusia.
Ketika muncul opsi dan ide bergabungnya Ukraina ke NATO, tentunya Rusia semakin kecewa dan marah. Ukraina, dalam hal ini seakan menjadi ‘garis merah’ kesabaran Rusia. Jika Ukraina bergabung ke NATO, alat militer mereka benar-benar akan berada di perbatasan langsung Rusia, dan pastinya hal itu dianggap sebagai bahaya serius bagi Rusia.
Di dalam artikel nomor 5 NATO disebutkan bahwa serangan terhadap salah satu anggota NATO berarti serangan terhadap seluruh anggotanya, yang nantinya akan menyebabkan serangan balik kolektif. Jika Ukraina bergabung ke NATO, dan rencana untuk mengambil alih semenanjung Krimea benar-benar terlaksana, maka berarti konflik antara Rusia dan Ukraina akan berubah menjadi konflik Rusia melawan seluruh anggota NATO karena adanya artikel nomor 5 tadi.
Selain kasus di atas, ada beberapa kasus lain yang membuat Rusia kecewa atas kebijakan negara-negara Barat. Padahal jika diingat, di tahun 90-an setelah bubarnya Uni Soviet, Rusia berusaha untuk ‘cari perhatian’ negara-negara Barat dengan mengikuti sistem dan gaya hidup mereka. Sistem ekonomi yang tadinya dikendalikan negara menjadi dibuka secara luas mengikuti ekonomi pasar. Pemilihan umum secara demokratis dicoba untuk diterapkan. Musik, makanan, mode pakaian, dan perusahaan-perusahaan transnasional berbondong-bondong memasuki Rusia.
Dengan cara tadi, Rusia berharap bahwa negara-negara Barat akan membantu Rusia bangkit dari keterpurukan dan menjadikannya memiliki wibawa kembali di perpolitikan internasional. Dengan kebangkitan tadi, Rusia berharap akan dianggap setara dengan negara-negara adikuasa lainnya dan dihormati pendapatnya dalam setiap isu-isu internasional.
Namun sayang, kenyataannya tidaklah demikian. Perang di Chechnya, pengeboman pasukan NATO dan Amerika Serikat pada tahun 1999 atas Yugoslavia, sekutu utama Rusia, keterlibatan dukungan negara-negara Barat untuk Revolusi Warna dan krisis politik di beberapa negara mantan Uni Soviet (Georgia, Belarus, Kazakhstan, Armenia), semua hal tadi menunjukkan bahwasanya Rusia masih dianggap sebagai ‘lawan’ sebagaimana di masa perang dingin, dan pendapat Rusia tidak didengar oleh negara-negara Barat.
Poin penting selanjutnya ialah perbedaan pendapat terkait krisis politik di Ukraina sejak 2014. Pada 2013 Ukraina berencana menandatangani perjanjian dengan Uni Eropa. Akan tetapi, perjanjian tersebut pada akhirnya ditunda untuk beberapa waktu. Kelompok oposisi pro Uni Eropa di Ukraina menganggap penundaan tersebut disebabkan oleh adanya tekanan dan intervensi Rusia (Rusia tentunya menyangkal tuduhan tersebut).
Masalah ini kemudian menyebabkan munculnya konflik, antara pemerintah Presiden Yanukovich pada saat itu dan kelompok oposisi. Untuk menyelesaikan masalah, sempat diadakan perjanjian damai yang dihadiri oleh kedua pihak dan disaksikan oleh menteri-menteri luar negeri Jerman dan Polandia, juga utusan Prancis serta Rusia. Namun, perjanjian tersebut tidak berlangsung lama, dan berhenti karena adanya revolusi Euromaidan pada 2014 yang menyebabkan Presiden Yanukovich harus menyelamatkan diri ke Rusia, dan terpilihnya presiden baru yang dianggap lebih pro Eropa.
Rusia menganggap revolusi itu sebagai langkah illegal untuk menggulingkan Presiden Yanukovich sehingga presiden yang terpilih setelahnya tidaklah sah secara hukum. Rusia juga menuduh negara-negara Eropa yang menghadiri perjanjian damai tadi bermuka dua karena cenderung berdiam diri dan tidak protes akan adanya pelanggaran hukum.
Perlu dicatat, tidak semua rakyat Ukraina mendukung revolusi ini.
Sebagian besar penduduk di wilayah Krimea, Lugansk, dan Donetsk (baca: Ukraina Timur) yang secara etnik dan bahasa adalah orang Rusia, lebih bersimpati kepada Rusia dan tentunya menolak revolusi tersebut. Hal itu menyebabkan diselenggarakannya referendum Krimea, yang akan kami bahas di bagian selanjutnya, dan munculnya konflik bersenjata serta gerakan separatis di wilayah Ukraina Timur.
Rusia menuduh pemerintah Ukraina bertindak semena-mena karena menyerang Ukraina Timur dengan pasukan bersenjata, memblokade wilayah tersebut, dan melarang penggunaan bahasa Rusia di Ukraina. Dengan didasari alasan kemanusiaan dan menganggap warga Ukraina sebagai saudara, Rusia membuka perbatasan wilayahnya bagi para pengungsi dari Ukraina. Karena tindakan itu, negara-negara Barat menganggap Rusia ikut campur dalam konflik Ukraina, memperburuk keadaan, dan memberikan pasokan senjata bagi para kelompok separatis.
Untuk menyelesaikan masalah politik ini, atas inisiasi dunia internasional, pada September 2014 diselenggarakan Minsk Protocol, yang ditandatangani oleh perwakilan pemerintah Ukraina, utusan wilayah Lugansk dan Donetsk (Ukraina Timur), duta besar Rusia, dan diplomat Swiss sebagai perwakilan OSCE (Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa). Salah satu poin protokol itu menyebutkan bahwa wilayah Ukraina Timur akan kembali ke kontrol pemerintah Ukraina jika wilayah tersebut diberikan hak otonomi khusus.
Rusia menganggap pemerintah Ukraina menjadi penyebab tidak selesainya konflik di Ukraina Timur karena hanya ingin mengembalikan kontrol pemerintah tanpa memberikan hak otonomi yang telah dijanjikan sebelumnya. Sebaliknya Ukraina dan negara-negara Barat menuduh Rusia ikut campur di Ukraina Timur dan meminta segera menghentikan tindakannya sehingga masalah dapat diselesaikan. Rusia sendiri mengaku tidak ikut campur sama sekali, dan menekankan bahwa masalah harus diselesaikan melalui berbicara langsung dengan penduduk Ukraina Timur (setelah diberikannya hak otonomi khusus) dan bukan dengan Rusia.
Masalah ketiga ialah aneksasi semenanjung Krimea (istilah Rusia: Penggabungan diri Krimea ke wilayah Federasi Rusia). Sama dengan konflik di Ukraina Timur, kasus Krimea merupakan buah dari revolusi Euromaidan tahun 2014. Perlu dicatat, semenanjung Krimea sejak abad ke-19 berada di wilayah kekaisaran Rusia, kemudian baru sepenuhnya dikuasai Ukraina setelah runtuhnya Uni Soviet (meski begitu, Krimea tetap memiliki otonomi khusus di hukum Ukraina).
Referendum Krimea
Selain itu, di sana pula terletak pangkalan terbesar armada laut Rusia di Laut Hitam, dan sebagian besar penduduk Krimea merupakan etnik Rusia. Maka, tidak mengejutkan jika sebagian besar penduduk Krimea menolak hasil revolusi di atas sehingga untuk menyelesaikan masalah diadakanlah referendum.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah persentase penduduk Krimea yang memilih untuk meninggalkan Ukraina dan bergabung ke wilayah Federasi Rusia, mulai dari 82%, 93%, hingga 96,7%. Angka yang fantastis tersebut menyebabkan banyak negara yang meragukan dan mencurigai adanya manipulasi dalam referendum. Rusia sendiri menegaskan bahwa referendum diadakan secara jujur, transparan, dan sesuai standar internasional.
Sebagai konsekuensi referendum Krimea yang tidak diakui banyak negara ini, Rusia mendapatkan berbagai sanksi, baik ekonomi, politis, maupun diplomatis dari berbagai pihak (Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Norwegia, Jepang, Ukraina, Georgia, Australia, Selandia Baru). Rusia berpendapat bahwa sanksi sepihak tersebut merupakan langkah licik. Dengan begitu, tak lama setelahnya Rusia juga menjawab dengan memberikan sanksi balasan berupa larangan bagi sebagian warga dan perusahaan-perusahaan negara di atas untuk memasuki wilayah Federasi Rusia, juga menghentikan impor produk makanan dari negara-negara tersebut. Hal ini tentunya semakin memperkeruh hubungan kedua belah pihak.
Selain tiga hal utama yang telah disebutkan, permasalahan-permasalahan lain di masa pandemi juga semakin memperburuk keadaan. Dimulai dari saling tidak mengakui vaksin covid-19, pengusiran para diplomat Rusia dari Jerman, Polandia, Ceko, dan Slovakia, dan penarikan duta besar Rusia di Amerika Serikat, serta duta besar Amerika Serikat di Rusia.
Dengan mempelajari poin-poin di atas, maka dapat dipahami bahwa penempatan ribuan pasukan Rusia di sepanjang perbatasan Ukraina merupakan konsekuensi dari memburuknya hubungan Rusia dan negara-negara Barat. Rusia, yang merasa keamanannya terancam, telah mengirimkan surat tuntutan kepada NATO dan negara-negara Barat. Salah satu poinnya ialah menolak keras ide bergabungnya Ukraina ke NATO. Namun, hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada jawaban memuaskan yang didapatkan.
Pemerintah Rusia sendiri berulang kali telah menegaskan bahwa tidak ada sedikit pun keinginan untuk menyerang Ukraina. Latihan militer yang akhir-akhir ini dilakukan merupakan hak penuh Rusia yang tidak dapat diganggu gugat karena diselenggarakan di dalam wilayahnya sendiri (berbeda dengan negara-negara Barat yang mengirimkan pasukan militer jauh dari negara asalnya).
Adapun kabar-kabar buruk yang saat ini menyebar merupakan propaganda belaka dari negara-negara yang tidak menyukai Rusia. Terlepas dari semua perbedaan pendapat, mari kita berharap semoga seluruh pihak mampu menahan diri, dan permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan jalur diplomasi dan cara yang damai.
Citra setelit menangkap gambar Gunung Berapi Klyuchevskoy di Rusia yang memuntahkan gumpalan asap sepanjang 1.600 kilometer ke atmosfer bumi.
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump meningkatkan tekanannya terhadap Rusia dengan mengancam akan memberlakukan tarif tinggi dan membuka jalur baru pengiriman senjata ke Ukraina.
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan tenggat waktu kepada Rusia untuk mengakhiri konflik di Ukraina dalam waktu 50 hari.
SERANGAN intensif Rusia ke kota-kota Ukraina, termasuk Kyiv, berlangsung dengan ratusan rudal balistik. Presiden AS Donald Trump mengirimkan tambahan pertahanan udara ke Ukraina
Donald Trump mengeluarkan ancaman baru terhadap Rusia berupa tarif sekunder sebesar 100% jika tidak tercapai kesepakatan damai dengan Ukraina dalam waktu 50 hari ke depan.
Presiden Donald Trump akan mengirimkan senjata ke Ukraina dan menjatuhkan saksi dagang ke Rusia, jika perdamaian tidak tercapai 50 hari kedepan.
Dalam kalender yang digunakan umat islam, ada bulan tertentu yang dimaknai lebih mulia. Selain Ramadan dan Rajab, Muharram juga menjadi bulan yang dirayakan umat Islam dengan suka cita.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menguatkan kolaborasi dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) untuk bersama-sama mengatasi masalah bangsa yang terjadi.
Sheikh Muhammad bin Abdul Karim al-Issa mengungkapkan pujiannya kepada Nahdlatul Ulama (NU), atas peran dan kiprahnya di bidang kemanusiaan dan dunia internasional.
Dalam kegiatan ini, ratusan kader Muslimat NU dari berbagai daerah hadir mengikuti pembelajaran dan pemetaan potensi diri melalui metode Talent DNA yang dikembangkan oleh Founder ESQ
TUJUH puluh tahun telah berlalu sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung mempertemukan para pemimpin dari negara-negara baru merdeka.
Pada era Soeharto, peran Islam dalam politik luar negeri Indonesia sering disampingkan karena pemerintah lebih mendorong kebijakan luar negeri yang bebas-aktif.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved