INTERNET sudah menjadi salah satu kekuatan pendorong globalisasi yang paling nyata. Partisipasi yang lebih aktif dari banyak orang tanpa mengenal batas negara, bahasa, atau waktu terjadi di dunia digital. Setiap negara kini tengah berlomba mempercepat penetrasi internet ke daerah, termasuk Indonesia. Menurut laporan We Are Social 2021, lebih dari 70% total populasi di Indonesia merupakan pengguna internet dan mereka menghabiskan lebih dari 8 jam di dunia digital.
Keterlibatan dan ketertarikan publik dalam fenomena seperti climate change, cryptocurrency, sampai covid-19 dan penanganannya meningkat karena mudah diakses dan didiskusikan secara global di dalam jaringan/daring (online). Bahkan, aspek-aspek kehidupan ekonomi masyarakat terakselerasi dengan semakin banyaknya interaksi digital usaha kecil dengan konsumen secara daring.
Walaupun begitu, ada kekhawatiran tersendiri terhadap efek globalisasi dan internet. Raikhan dkk pada 2014 mengkhawatirkan globalisasi akan menggerus budaya lokal karena globalisasi akan menyeragamkan seni yang ditampilkan. Budaya lokal dinafikkan karena tidak lagi menarik di tengah keseragaman yang ditimbulkan globalisasi, sedangkan ada beberapa kekhawatiran dampak negatif globalisasi dan dunia digital, termasuk penipuan dan penyebaran misinformasi.
Tentunya kita ingin meminimalkan dampak negatif dunia digital sehingga dapat menciptakan internet yang aman, sehat, dan lebih inklusif. Kearifan lokal dan masyarakat lokal berperan sangat penting dalam memberdayakan masyarakat terkait dengan penggunaan internet yang aman dan sehat. Glocalisation, sebuah terminologi yang dipopulerkan sosiolog Roland Robertson di 2018 mengenai harmoni antara globalisasi dan lokalisasi, menjadi sangat relevan dalam memperkuat literasi digital.
Literasi digital saat ini menjadi prioritas utama pemerintah Indonesia. Apalagi selama pandemi semakin banyak aktivitas dilakukan secara daring. Konsekuensinya, pandemi telah menciptakan dorongan bagi lebih banyak orang untuk melindungi diri dan mengambil tindakan terhadap potensi bahaya daring. Anak muda memegang peranan penting dalam pengembangan literasi digital di Indonesia dengan 48% pengguna digital berusia 25-44 tahun.
Penguatan literasi
Pemerintah menargetkan untuk dapat menjangkau 50 juta orang melalui program penguatan literasi digital sampai dengan 2024. Itu berarti 12,5 juta orang per tahun mulai 2021. Kemenkominfo meluncurkan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) dan kampanye Makin Cakap Digital untuk mencapai tujuan tersebut sejak 2020.
Kolaborasi pun menjadi kunci program GNLD. Banyak inisiatif lintas pemangku kepentingan telah diluncurkan untuk mendukung GNLD. Mereka yang terlibat, seperti organisasi pemerintah, sektor swasta, LSM, komunitas, dan key opinion leader. Dengan corak dan karakteristik setiap stakeholder, program GNLD menyiratkan kebinekaan Indonesia.
Dari sejumlah inisiatif literasi digital yang dihelat di seluruh Indonesia saat ini, program yang menghargai heterogenitas dan mengambil kekuatan dari keragaman masyarakat dan nilai-nilai lokal, dapat membantu menjangkau audiensi baru dan mencapai hasil yang tidak diduga. Salah satu dari inisiatif tersebut ialah Jawara Internet Sehat. Inisiatif literasi digital yang diprogramkan bersama ICT Watch, Kemenkominfo, dan Whatsapp, menargetkan 60 duta muda (yang dipanggil Jawara) dari 28 provinsi di seluruh Indonesia. Aktivitas yang ada meliputi lokakarya, seminar, kampanye media sosial, dan podcast. Dahsyatnya 60 agen perubahan dapat membuat 108 program dan mencapai 43 ribu orang dalam waktu empat bulan. Hampir semua datang dari konsep kearifan lokal dan pemberdayaan komunitas lokal.
Para duta muda telah berperan krusial dalam menjangkau segmen yang sulit dijangkau, yaitu merangkul dan memberdayakan penduduk setempat dengan; 1) Memahami isu dan tantangan yang relevan di masyarakat setempat; 2) Pembentukan program dengan pendekatan sosiokultural di setiap daerah; 3) Meluangkan waktu, energi, dan yang paling penting, membangun hubungan dengan masyarakat lokal yang mereka jangkau.
Di Nusa Tenggara Barat, duta muda Subhan Azharullah dan Nurliya melakukan perjalanan berjam-jam melalui darat dan laut menggunakan kapal untuk menjangkau warga di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Tujuannya memberdayakan seputar topik yang berkisar dari autentikasi dua faktor, phishing, misinformasi, perlindungan data pribadi, dan lain sebagainya.
Di Lampung, literasi digital menggunakan wayang atau disebut dengan Wayang Literasi Digital, diselenggarakan duta muda setempat. Sementara itu, di Riau, dihelat aktivitas syair irama. Khotbah untuk warga lansia dan permainan kartu untuk anak muda bertema literasi digital juga diselenggarakan di Sulawesi Selatan. Program-program yang dikelola oleh agen perubahan lokal untuk memberdayakan komunitas sekitar mereka ini telah membawa literasi digital ke tingkat yang baru, membuka jalan bagi program pemberdayaan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Kearifan lokal
Bagaikan bidikan tepat sasaran dalam memanah, para duta muda setempat telah mampu mengenai sasaran dengan tepat. Mereka pun sekaligus merangkul kekhasan lokal untuk memperkuat literasi digital yang konsepnya cukup global. Implementasi tersebut menjadi sangat berarti karena para peserta dan audiensi Jawara menjadi bagian dari warga digital global dengan mindset kelokalan. Aktivitas inilah yang ditekankan dalam konsep glocalisation oleh Robertson, yaitu complementary (saling melengkapi) dan interpenetrative (saling memperkuat). Dengan kata lain, duta muda yang sangat berciri kelokalan (hyperlocal) mampu memperkuat komunitas sebagai bagian dari digital flow arus globalisasi.
Sebagaimana juga filosofi gotong royong yang kuat dalam masyarakat Indonesia, kami belajar dari keberhasilan program hyperlocal bahwa kunci keberhasilan tidak hanya agen perubahan yang kuat dari kalangan pemuda. Komitmen dukungan dari para pemimpin lokal (mulai dari tingkat kepala desa hingga tingkat pemerintahan daerah) serta kemitraan yang solid dengan komunitas hyperlocal menjadi kunci keberlanjutan program.
Para pemuda telah membuktikan dirinya sebagai harapan pemberdayaan literasi digital Indonesia di masa depan. Pembuktian ini menjadi sangat penting karena banyaknya temuan survei yang menunjukkan bahwa literasi digital Indonesia perlu ditingkatkan.
"Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Kutipan populer dari Presiden Kesatu Indonesia Ir Soekarno ini telah banyak digunakan dalam berbagai konteks. Dalam konteks penguatan literasi digital, kita belajar bahwa kekuatan kaum muda dan pendekatan hyperlocal mereka, dapat membantu komunitas di sekitar mereka mencapai tingkat literasi yang tak terbayangkan.
Semua pemangku kepentingan literasi digital perlu menciptakan lebih banyak ruang bagi para agen perubahan muda di Indonesia untuk dapat menyusun dan menerapkan program mereka. Secara bersamaan, juga dapat mengidentifikasi masalah di sekitar dan mencoba mengatasinya dengan menggunakan pendekatan kreatif, inovatif, dan relevan dengan komunitas lokal mereka.