Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Sentuhlah Warga Desa Wadas dengan Hati bukan Ndas

Eko Suprihatno, Jurnalis Media Indonesia
10/2/2022 21:36

DI masa kepemimpinan Joko Widodo, pembangunan memang begitu masif dilakukan di segala lini. Tidak terkecuali membuat waduk sebagai sarana untuk membantu para petani mengolah lahan pertanian milik mereka.

Pembangunan, di manapun, pasti tidak menyenangkan semua pihak. Pasti ada pihak yang merasa dirugikan dan juga ada yang diuntungkan. Dalam konteks inilah perlu kepandaian lebih mengatasi persoalan, sekaligus juga membuat rakyat tidak memiliki prasangka buruk kepada pemerintah.

Begitu banyak peristiwa pembangunan yang harus jujur diakui meninggalkan luka bagi warga yang terdampak. Terbaru adalah penolakan warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang menolak wilayahnya dijadikan pertambangan terbuka batuan andesit untuk pembangunan Waduk Bener di Kabupaten Purworejo.

Warga jelas memiliki alasan kuat menolak, karena sebelumnya kawasan Wadas bukanlah untuk areal pertambangan mengingat di sana juga merupakan penyangga untuk kawasan menoreh. Mereka khawatir penambangan batuan tersebut akan menimbulkan persoalan serius seperti longsor yang bisa saja menghilangkah nyawa mereka. Bahkan mereka menuding pemerintah sudah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri dengan mengubah tata ruang.

Upaya hukum warga Wadas yang dilakukan sejak 2018 menemui jalan buntu karena Pengadilan Tata Usaha Negara menolak permohonan mereka. Jadi, tidak berlebihan kalau dalam benak warga Desa Wadas, pemerintah tidak melindungi warganya sendiri, bahkan menjadikan warga sebagai korban pembangunan.

Di sisi lain, pemerintah juga punya alasan untuk pembangunan tersebut. Dikutip dari laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, bendungan ini direncanakan bakal mengairi sekitar 15.069 hektare persawahan. Bukan luas yang kecil mengingat negara ini juga membutuhkan ketahanan pangan.

Persoalan ini makin memanas dengan puncaknya pada Selasa 8 Februari 2022, terjadi ketegangan antara warga dan petugas gabungan yang ingin melakukan pengukuran tanah proyek Bendungan Bener di desa tersebut. Ketegangan terjadi karena ratusan petugas gabungan dari kepolisian, Satpol PP, dan TNI yang mendampingi tim Kanwil Badan Pertanahan Nasional Jawa Tengah, dan Dinas Pertanian Provinsi Jateng, melakukan kegiatan pengukuran tanah dan menghitung tanaman di area yang telah disepakati oleh sebagian warga untuk menjadi lokasi tambang batu andesit. Area yang diukur lebih kurang 114 hektare.

Warga menolak rencana penambangan batu andesit yang akan digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener. Bendungan yang menjadi salah satu proyek strategis nasional itu berdasarkan Peraturan Presiden nomor 56 tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah nomor 590/41/2018, Desa Wadas adalah lokasi yang akan dibebaskan lahannya dan dijadikan lokasi pengambilan bahan material berupa batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener.

Penangkapan terhadap 66 warga yang dianggap menghalangi kegiatan tersebut tak urung menimbulkan isu liar terutama di media-media sosial. Cuma sehari warga menginap di kantor kepolisian setempat, karena Rabu 9 Februari 2022 mereka sudah dipulangkan ke rumah masing-masing.

Dalam penyelesaian sengketa apa pun, apalagi ketika melibatkan negara di satu pihak, dan masyarakat di pihak lain, jalan kekerasan semestinya tidak pernah menjadi opsi. Jalan kekerasan tidak hanya akan membuat sengketa menjadi berlarut tanpa titik temu, tapi juga sangat mungkin akan menjauhkan kita dari prinsip kemanusiaan.

Apa yang terjadi di Desa Wadas menjadi contoh betapa represi tidak akan pernah efektif menyelesaikan persoalan. Hal tersebut justru berpotensi menciptakan masalah baru, konflik baru, ketidakadilan baru, juga kegaduhan baru.

Tindak represi polisi kemudian menjadi sorotan politisi. Termasuk politisi yang masuk dalam jajaran pendukung pemerintah. Seperti, politisi Partai NasDem Taufik Basari yang mengecam tindakan pengepungan dan penangkapan puluhan warga Desa Wadas. Menurutnya aksi aparat cenderung represif dan tidak sejalan dengan program Presisi Polri.

Pasalnya, setiap upaya paksa yang dilakukan kepolisian seperti penangkapan, penyitaan, penahanan harus sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar juga mengecam insiden penyerbuan oleh aparat kepolisian bersenjata lengkap terhadap warga Desa Wadas. "Prihatin dan harus ada solusi. Musyawarah," kata Gus Muhaimin seperti dikutip dari akun Twitter resminya.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu pun menentang cara-cara represif oleh aparat terkait dengan pembebasan lahan di kawasan Wadas.

Adapun pernyataan lebih sadis dilontarkan Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 Fahri Hamzah mencuitkan kalimat yang tidak enak dibaca. “Anggota DPR RI dapil Wadas, mana ndasmu.”

Frasa ndas dalam bahasa Indonesia adalah kepala. Tapi dalam bahasa Jawa, itu adalah ungkapan yang kasar bila dilontarkan dengan nada tinggi, apalagi kalau dibalut kemarahan. Akan berbeda makna kalau Fahri mengucapkan ndasmu dengan cara sambil tertawa, karena hal tersebut merupakaan candaan. Salahkah Fahri? Tentu saja enggak, karena dia berteriak juga bukan tanpa makna. Bisa saja ini merupakan strategi Partai Gelora untuk mencari simpati masyarakat.

Adapun Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta warga tidak terprovokasi dengan berbagai informasi terkait peristiwa yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Mahfud juga meminta warga mempercayakan penyelesaian kasus di Desa Wadas kepada pemerintah.

Kalau sudah terjadi konflik, siapa yang menang? Tidak ada. Negara akan jadi tersangka pelaku kekerasan, dan warga akan jadi korban. Pemenang dari konflik tersebut adalah para petualang, itu sebabnya perlu dihindari pengerahan aparat kepolisian atau bahkan tni untuk mengawal pengukuran tanah. Saat ini media sosial sudah begitu kejam ketika menggoreng sebuah isu. Celakanya, pemerintah seperti kedodoran untuk menangkal hal tersebut.

Jalan terbaik adalah dialog, dialog, dan dialog. Masyarakat bila disentuh hatinya dan diyakinkan mereka tidak menjadi orang-orang yang disingkirkan, tentu akan sukarela membantu. Pemerintah pun jangan kelewat arogan menekan warga hanya karena ini merupakan proyek prioritas nasional. Sikap persuasif sangat dibutuhkan dalam hal ini. Sentuh mereka dengan hati bukan malah menghunus belati.

Jangan sampai kasus Kedungombo 1985 terulang kembali. Waduk yang mulai diisi pada 14 januari 1989 ikut menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan, di Kabupaten Sragen, Boyolali, dan Grobogan. Tak patut rasanya mengulik peristiwa kelam itu ke permukaan kembali, tapi sebagai sebuah bagian sejarah, semua pihak harus menjadikan peristiwa pilu itu sebagai referensi tak terjadi lagi saat ini. Ada banyak pelajaran dari Kedungombo.

Dialog yang didasari niat baik pasti akan disambut baik. Meyakinkan masyarakat bahwa proyek pemerintah ini demi kepentingan masyarakat di masa depan. Kesejahteraan mereka bisa diwujudkan. Seperti kata Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, semua pihak harus melihat secara jernih dan tidak bias.

Rasanya enggak mungkinlah sebuah proyek strategis hanya digunakan untuk keuntungan segelintir orang saja. Tanggung jawabnya sangat berat kalau memang cuma buat kepentingan segelintir pihak, apalagi demi kepentingan 2024. Tapi kalau memang ada indikasi ke arah itu, mari kita doakan bersama-sama agar kuburan mereka sempit, hidupnya tidak berkah, dan masa tuanya didera penyakit berat.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya