Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Guru sebagai Perencana, Pelaksana, dan Pengembang Kurikulum

Muazzah Guru SMAS Sukma Bangsa Pidie
07/2/2022 05:05
Guru sebagai Perencana, Pelaksana, dan Pengembang Kurikulum
Ilustrasi MI(MI/Duta)

DALAM bukunya, Sekolah itu Candu, Roem Topatimasang (1998) menggambarkan sekolah, yang tanpa disadari, menjadi racun perusak fitrah belajar anak. Menurutnya, selama ini sekolah menjadi tempat yang selalu dianggap benar dan tak pernah salah. Sekolah hanya mengajarkan dan menganjurkan yang benar saja. Siswa yang berbuat salah akan dihukum. Begitu sekolah kita selama ini berjalan dan 'diamini' oleh sebagian besar kita, orangtua siswa.

Anak-anak dituntut menjadi sesuai standar yang dibuat sekolah, orangtua, bahkan masyarakat di sekitar mereka. Standardisasi yang terjadi tanpa disadari menjadi penyebab hilangnya keberagaman intelektualitas dan kreativitas siswa. Mereka dituntut untuk bisa dan menguasai semua bidang ilmu yang diajarkan guru dan--yang lebih disayangkan--cerdas akademis selalu menjadi tolok ukur keberhasilan siswa.

Keadaan itu menjadi penyebab anak-anak dengan kemampuan akademis yang terbatas menjadi malas belajar dan mengembangkan bakatnya di luar jalur akademis. Anak akan tetap dianggap lemah bahkan bodoh meski mampu menguasai keterampilan musik, olahraga, tetapi nilai matematika di rapornya selalu di bawah standar kelulusan. Lagi-lagi sekolah selalu benar dan menang. Anak yang salah dan kalah karena tak mampu mengikuti irama sekolahnya.

 

 

Bukan sekolah kami

Anak-anak pada dasarnya ialah pembelajar sejati. Namun, saat memasuki bangku sekolah, banyak dari mereka yang 'benci' belajar. Tak menyukai berbagai pelajaran yang disuguhkan sekolah bahkan hingga sikap apatis terhadap pelajaran dan pengampunya. Sejatinya, setiap anak senang belajar dari sejak mereka dilahirkan. Setiap bayi dengan semangat belajar merangkak hingga bisa berlari. Tak ada yang takut hingga memutuskan berhenti berjalan saat terjatuh ketika belajar berjalan.

Banyak sekolah mengeluhkan tingginya jumlah anak-anak yang mengalami kesulitan belajar hingga angka PISA Indonesia pada 2018 masih berada di posisi 71 dari 77 negara yang mengikuti pemetaan. Para siswa datang ke sekolah seperti hanya sekadar lepas kewajiban, tetapi tak paham tujuan mereka bersekolah sehingga yang terlihat ialah rendahnya motivasi belajar yang berimplikasi pada pencapaian akademik yang rendah pula.

Kita perlu berkaca pada keberhasilan Finlandia dalam urusan pendidikan. Sekolah-sekolah di sana tidak menekan anak-anak harus menjadi pintar. Namun, mereka memastikan semua siswanya harus bahagia. Sebagaimana yang dinyatakan Haidar Bagir (2019), bahwa memastikan self-esteem (harga diri) anak agar terus terpelihara merupakan syarat utama dalam pembentukan karakter yang nantinya akan menentukan kebahagiaan mereka. Bersekolah dengan bahagia berkorelasi positif dengan pencapaian. Hal itu telah dibuktikan oleh negara dalam rumpun Skandinavia yang selalu berada di urutan 10 besar penilaian PISA.

 

 

Apa yang salah?

Anak-anak usia sekolah juga memiliki ruang yang amat sempit untuk mencoba berbagai hal, berekspresi, dan berbuat kesalahan lalu belajar darinya. Semua diatur dengan ketat oleh sekolah hingga siswa takut mencoba karena banyaknya konsekuensi yang mengikuti. John Holt dalam How Children Fail menegaskan kegagalan akademis siswa bukanlah akibat tidak adanya/kurangnya upaya sekolah, melainkan justru akibat 'ulah' sekolah. Ulah itu bisa berupa penggunaan strategi mengajar yang buruk, menyebabkan ketakutan pada siswa, dan pembelajaran yang bersifat dangkal, distorsi, bahkan tak sesuai kebutuhan siswa. Karena itu, sekolah membuat siswa takut, jenuh, dan bingung.

Standardisasi kurikulum merupakan masalah terbesar dalam pendidikan di Indonesia. Sekolah menstandarkan hal-hal yang sama pada semua anak di seluruh pelosok Nusantara tanpa menimbang latar belakang mereka. Anak pesisir, anak pulau, anak gunung, dipaksa mempelajari hal yang sama dengan anak kota. Mereka dijejali pelajaran yang menurut perancang kurikulum nasional penting, tetapi tak bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Karena itu, wajar saja anak-anak Indonesia kini pintar dengan ukuran yang sama, bak mesin manusia. Bisa menghafal logaritma, tetapi tak mampu mengaplikasikannya dalam tatanan hidup mereka. Mereka tak paham jika dengan logaritma, mereka mampu memprediksi laju pertumbuhan tanaman. Dengan ilmu tersebut, mereka nantinya tak sekadar menanam pohon seperti orangtua mereka, tetapi juga mampu memprediksi kapan berbuah atau waktu tebang yang tepat dengan lebih kaku.

Indikator pencapaian juga diseragamkan antara anak dengan fasilitas canggih dan anak yang masih harus mengarungi sungai untuk menuju sekolahnya. Berbagai tes yang baku juga harus dijejal oleh anak yang mengakses buku dengan mudah dengan anak yang nyaris tak pernah melihat wujud buku. Alhasil, segala cara ditempuh agar anak-anak bisa lulus dari sekolah dengan nilai yang bagus. Tak peduli mereka bahagia atau tidak, yang penting mereka harus terlihat pintar.

 

 

Otonomi guru

Harusnya, sekolah dirancang khusus sesuai latar belakang masyarakat dan letak geografisnya. Sekolah juga harus diberi kepercayaan untuk mengembangkan kurikulum berbasis kearifan lokal sehingga anak-anak belajar dengan cara membumi, tidak menghayal pada hal-hal yang tak pernah mereka lihat dan rasa karena sebagaimana yang dikatakan Roem Topatimasang, "Setiap tempat adalah sekolah. Setiap orang adalah guru. Setiap buku adalah ilmu," sehingga yang harus dipelajari secara mendalam oleh anak-anak Kalimantan sangat mungkin berbeda dengan yang dipelajari anak pesisir Aceh.

Selanjutnya, guru-guru juga disiapkan agar mampu menggunakan otonomi mereka dalam melaksanakan pembelajaran di ruang kelas. Seperti yang dijabarkan Terry Lamb (2008) bahwa otonomi guru sangat memengaruhi perkembangan kemampuan belajar siswa karena, menurutnya, otonomi guru tidak menjadikan guru bebas mengajar, tetapi menjadikan guru lebih mampu mengorganisasi pembelajaran dengan cara baru, berdasarkan pengalaman kegagalan mengajar sebelumnya, penggunaan bahasa yang berbeda, belajar cara mengajar, atau manajemen diri yang diterapkan di kelas. Karena itu, guru dapat memfasilitasi siswa untuk menjadi pembelajar yang otonom juga.

Untuk mencapai itu semua, dibutuhkan perubahan menyeluruh dan partisipasi semua pemangku kepentingan pendidikan dalam proses pendidikan. Guru harus benar-benar pintar dan berwawasan luas. Guru harus benar-benar disiapkan dari pendidikan dan perekrutannya. Kita bisa belajar dari pengalaman Finlandia dalam menyiapkan guru. Guru direkrut sejak awal pendidikannya, yaitu mahasiswa fakultas pendidikan.

Mahasiswa fakultas pendidikan merupakan mahasiswa terbaik yang diseleksi secara ketat. Setelah selesai pendidikan setara S-1 di sana, mereka belum bisa langsung mengajar, tetapi harus mengikuti pendidikan master bidang pendidikan. Setelah selesai program master pun belum bisa langsung mengajar sebelum mendapatkan persetujuan guru senior yang menjadi mentornya. Proses yang cukup ketat dan panjang, tapi itu sepadan dengan hasilnya, yaitu guru dengan kualitas mumpuni yang bukan hanya sebagai pelaksana, melainkan juga sebagai perencana, penerjemah, dan, pengembang kurikulum bagi kelasnya. Wallahualam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya