Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Inisiatif Kecil untuk Indonesia

Steph Tupeng Witin, Rohaniwan Katolik dan Pegiat Literasi 
20/9/2021 15:25
Inisiatif Kecil untuk Indonesia
Steph Tupeng Witin,(Dok pribadi)

INDONESIA baru saja merayakan HUT Kemerdekaan ke-76 di tengah teror wabah pandemi covid-19, yang entah kapan akan berakhir. Lambaian merah putih di tiang bendera merupakan ajakan kepada segenap komponen untuk menatap Indonesia dengan penuh optimisme menuju sebuah Republik maju, damai dan toleran. Optimisme itu dibangun melalui inisiatif-inisiatif kecil dari banyak anak bangsa yang setia mencintai Indonesia. 

Inisiatif-inisiatif kecil ini ketika dilakukan dalam jumlah banyak akan semakin menebalkan harapan meski tantangan, kesulitan dan krisis tidak pernah berhenti menerpa. Rasa cinta yang besar pada negeri ini akan selalu menggerakkan banyak anak bangsa untuk terus berpartisipasi, menyumbang bagiannya (Latin: pars) melalui beragam inisiatif. Bangsa ini tetap tegar di tengah terpaan badai karena banyak anak bangsa setia mencintainya. 

Rasa cinta anak bangsa ini sekurang-kurangnya terungkap dalam dua sosok Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2021, Samsuridjal Djauzi dan Nafsiah Mboi. Menurut KBBI (2008), cendekiawan adalah orang cerdik pandai, orang intelek, orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Lukisan ini menempatkan cendekiawan pada posisi 'tinggi' dari rakyat kebanyakan karena dominasi intelektual. 

Tapi banyak cendekiawan di negeri ini justru menerobos dinding mapan dominasi intelektual itu dengan melibatkan diri di tengah kehidupan rakyat berbasis ilmunya. Realitas bangsa dan dunia menggerakkan nurani mereka untuk terlibat di ruang publik dengan kiblat kemaslahatan rakyat. 

Mereka keluar dari zona nyaman intelektualisme yang terkadang menjadi area mendulang 'kenikmatan personal' untuk mendedikasikan diri dan ilmunya di ruang sosial. Pergulatan intelektual mendorong para cendekiawan untuk tidak berhenti pada 'kesalehan privat' tapi melangkah lebih jauh dan terlibat di tengah kenyataan melalui 'kesalehan sosial'. Dalam bahasa Lilik Oetama, "Mereka tidak bersembunyi di balik tembok atau menampakkan arogansi ilmiah tapi membagi kebijaksanaan, mencerahkan masyarakat dan negeri. Mereka tidak larut dalam ingar bingar popularitas atau uang dalam berjuang tapi tanpa kenal lelah meski kerap bekerja dengan sepi untuk mencerahkan pikiran demi memperbaiki keadaban masyarakat."

Bahasa keterlibatan

WS Rendra menyebut kaum cendekiawan sebagai golongan yang 'berumah di atas angin'. Ungkapan tersebut menggambarkan ada jarak dengan Bumi sehingga cendekiawan bebas 'memotret' dan 'menguliti' realitas perkembangan 'bumi' dengan objektif dan tajam berbasis ilmu. Kiprah cendekiawan itu seperti titik air yang melubangi sebongkah batu yang keras dalam sunyi, asalkan batu itu terbuka menerima tetesannya. Posisi ini menempatkan cendekiawan sebagai matahari yang setia menerangi realitas, awan yang tidak penat menjaga suhu bumi dan hujan yang selalu hadir menyegarkan kehidupan. Maka dalam kondisi 'bumi' yang tidak benar, cendekiawan berani merepresentasi suara dan kepentingan publik dengan gagasan-gagasannya yang selalu segar dan bebas dari pesanan politik kekuasaan.  

Dua Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2021 membagikan kekayaan pikiran dan keterlibatan dengan bahasa sederhana. Jauh dari bahasa formil-ilmiah. Wajah tetap segar dan semangat tak pernah padam. Pancaran rasa cinta terhadap negeri dan niat tulus berbagi pikiran dan pengalaman.

Mereka rela meninggalkan kesunyian dan kesenyapan nikmat intelektualismenya yang bisa diidentikkan dengan 'gua' dalam filsafat Plato untuk mencintai kaum papa yang masih menjadi golongan terbesar warga bangsa ini. Mereka 'turun gunung', menginjak bumi, hidup dalam dunia nyata dan membuat perubahan melalui inisiatif-inisiatif kacil dan sederhana tapi mampu menjadi inspirasi bagi segenap komponen untuk membangun negeri ini meski dari area pinggiran garis kekuasaan. 

Cendekiawan berdedikasi tidak hanya bekerja di belakang meja tapi berani memasuki ruang-ruang sosial yang nyata yang bisa saja dianggap tabu bagi citra romantisme kecendekiawanan. Mereka berani menerobos batas cara pandang dengan mengagungkan kebebasan berpikir dan keberanian melakukann koreksi kritis dengan mengedepankan hukum akal sehat, hati nurani dan integritas pribadi menuju horizon perubahan. Kaum cendekia memang mesti jadi kekuatan bangsa menghadapi kekuatan-kekuatan musuh nurani bangsa. 

Sabda cendekiawan tidak sebatas tumpukan kata-kata formal dalam diktat dan paper ilmiah, melainkan seruan hati nurani yang berenergi profetik, kontekstual dan terlibat. Mereka setia hadir di tengah masyarakat dan mengalir mengikuti gelombang perkembangan. Mereka tekun mengolah kesadaran pancaindra, pikiran dan jiwa agar lebih peka dan peduli dengan kehidupan dan manusia. Tidak ada cendekiawan sejati yang tidak mencintai orang-orang kecil, golongan besar yang terlunta di garis pinggir proyek pembangunan. 

Bahasa keterlibatan cendekiawan ini mesti menjadi inspirasi bagi segenap komponen bangsa, khususnya generasi muda agar menempa diri menjadi pengabdi kaum kecil melalui inisiatif-inisiatif sederhana sebagai bentuk partisipasi bagi kemajuan bangsa. Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong (1977) mengingatkan bahwa pikiran dan refleksi tidak bermakna apapun ketika terpisah dari masalah kehidupan.      

Inisiatif generasi muda 

Profesor Samsu dan Doktor Nafsiah Mboi mengajak kaum muda agar mengambil peran melalui inisiatif-inisiatif kecil mulai dari lingkungan terdekat. Di tengah pandemi, kaum muda mesti mengambil inisiatif membangun jejaring untuk berbuat sesuatu; membagi masker kepada warga tidak mampu, menggunakan media sosial untuk melakukan kampanye dan advokasi terkait pencegahan penyebaran virus covid-19, mengajak warga untuk mengikuti program vaksinasi, dan membantu pemerintah mengurai persoalan penanganan kesehatan khususnya menciptakan lingkungan hidup yang bersih dan perilaku yang higienis. 

Generasi muda perlu memiliki semangat berjuang (fighting spirit) untuk meraih kesuksesan berbasis pengembangan potensi diri, lebih peka dan peduli membantu sesama warga yang tidak berdaya dalam semangat gotong royong. Keterlibatan generasi muda merupakan momen advokasi diri agar merawat hidup dan merajut masa depan secara mandiri.
     
Di negeri ini, banyak orang muda yang berani mengambil inisiatif yang kreatif untuk menghadirkan perubahan sebagaimana yang diharapkan oleh dua guru bangsa yang hebat tapi tetap sahaja ini. Salah satu yang sangat pantas disebut adalah Du Anyam, wirausaha sosial yang mengenalkan dan melestarikan anyaman lokal Flores ke dunia. Institusi pemberdayaan perempuan ini diinisiasi tiga perempuan muda hebat, Hanna Keraf, Azalea Ayuningtyas dan Melia Winata. Nama Du Anyam merupakan peleburan dari dua kata yaitu Du’a dari bahasa Sikka artinya ibu dan 'menganyam'. Maka Du Anyam berarti 'ibu menganyam'.
 
Du Anyam resmi berdiri pada akhir 2014 dan mulai melakukan pemetaan masalah, inventarisasi kebutuhan di desa dan mencari solusi berdasarkan sumber daya alam dan kearifan lokal yang digunakan turun temurun. Sumber daya alam dan kearifan lokal ini menjadi peluang wirausaha sosial. Perempuan Flores umumnya bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Masalah utama yang sangat dominan adalah kesehatan ibu dan anak serta tidak tersedianya uang tunai dalam keluarga yang menimbulkan masalah-masalah tambahan. Salah satu potensi lokal yang sangat kaya adalah daun lontar. 

Du Anyam memulai proyek pemberdayaan perempuan Flores di Desa Duntana Lewoingu, Kabupaten Flores Timur, NTT dengan menganyam berbagai hasil kerajinan dari daun lontar. Kaum laki-laki mengambil bahan dasar daun lontar dan perempuan menganyamnya menjadi dompet, tas, keranjang, topi dan sebagainya. Dalam memberdayakan warga NTT, Du Anyam memberikan edukasi tentang desain yang baik serta produk yang bisa diterima pasar di dalam dan luar negeri. Aspek bisnis sejalan dengan pemberdayaan skill para pengrajin. 

Saat ini Du Anyam aktif bekerja bersama ibu-ibu di Kabupaten Flores Timur, Ngada, Nagekeo dan Lembata. Kesejahteraan ekonomi keluarga meningkat dengan pendapatan 45% dan 55% tabungan. Ada tambahan penghasilan finansial yang sangat signifikan yang memungkinkan warga bisa mengakses fasilitas kesehatan, nutrisi dan pendidikan. Kaum perempuan pun menjadi percaya diri sehingga mampu melibatkan diri dalam proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga dan masyarakat.
 
Inisiatif tiga 'perempuan perkasa' dari area pinggiran Indonesia ini membuktikan bahwa negeri ini tidak pernah kekurangan orang-orang muda kreatif yang setia mencintainya. Setiap masa dengan segala problematikanya akan selalu menghadirkan orang-orang muda yang berani mengambil inisiatif, kadang dengan sedikit 'kegilaan' untuk membuka kesadaran orang-orang kecil di pelosok-pelosok negeri ini bahwa mereka mampu 'menganyam' potensi dan kearifan lokal menjadi produk berkualitas dan menyumbang bagiannya (pars), betapa pun kecil dan sederhana, untuk membuat Indonesia tetap optimis memiliki masa depan yang gemilang.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya