Headline

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia

Fokus

MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan

Dilema Dekarbonisasi

Widhyawan Prawiraatmaja dan Yohannes Handoko Aryanto, Gubernur Indonesia untuk OPEC 2015-2016 dan Pertamina Energy Istitute
18/7/2021 21:15
Dilema Dekarbonisasi
Yohannes Handoko Aryanto, Widhyawan Prawiraatmaja,(Dok pribadi)

TAHUN 2021 ditandai dengan peringatan atas terjadinya perubahan iklim. Cuaca dingin ekstrem melanda banyak negara, mulai dari Uni Eropa hingga Timur Tengah, seperti Suriah dan Jordania.

Disrupsi karena cuaca ekstrem juga dirasakan di Texas, Amerika Serikat. Negara bagian kedua terbesar di negeri Paman Sam ini tidak dapat menyediakan cukup energi bagi warganya untuk melawan cuaca dingin. Sebelumnya, Texas telah melakukan transisi ke energi baru terbarukan (EBT) dengan 10% energinya berasal dari turbin angin. Walaupun beberapa jenis turbin angin dapat bertahan pada cuaca dingin, namun bukan jenis yang digunakan di Texas, karena cuaca dingin ekstrem belum pernah terjadi sebelumnya.

Dampak disrupsi juga dialami Uni Eropa. Musim dingin yang lebih dingin dan lebih lama telah menghabiskan cadangan gas. Sementara itu aktivitas kantor sudah kembali pascapandemi dan kebutuhan listrik melonjak naik. Situasi ini membuat beberapa negara di Uni Eropa kembali menggunakan batubara untuk mengatasi kebutuhannya dengan total peningkatan hingga mencapai 5%. Sebuah kontradiksi terhadap upaya melawan perubahan iklim. 

Komitmen terhadap dekarbonisasi

Di sisi lain, terjadi peningkatan fokus dunia terhadap komitmen untuk melawan perubahan iklim melalui dekarbonisasi. Uni Eropa menetapkan target untuk pengurangan emisi karbon sebesar 55%, Tiongkok menetapkan pengurangan hingga 65%. Sementara AS, yang masuk kembali ke Perjanjian Paris, menargetkan pengurangan emisi sekitar 50%-52% dari target 2005. Target ambisius untuk netral karbon (net-zero) juga dinyatakan oleh berbagai negara.

Dari sisi swasta juga terjadi peningkatan komitmen perubahan iklim, seperti yang dilakukan Blackrock, HSBC, Petrochina, Shell, ExxonMobil, dan Chevron. Untuk tiga perusahaan terakhir, peningkatan komitmen didorong oleh publik dan pemegang saham yang menginginkan tindakan lebih atas perubahan iklim.

Di Indonesia, Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29% hingga 2030. Adapun target netral karbon ditargetkan pada 2060. Sebagai upaya, Pemerintah berencana mengganti secara bertahap pembangkit fosil menjadi EBT, termasuk mempersiapkan rencana undang-undang terkait pungutan karbon. 

Selain untuk memaksimalkan penerimaan negara, pungutan ini ditujukan untuk menekan emisi karbon. Yang jadi masalah, transisi rendah karbon yang dilakukan terlalu cepat ataupun lambat, sama-sama memiliki risiko terhadap perekonomian.

Risiko terkait perubahan iklim

Berdasarkan Taskforce on Climate-Related Financial Disclosure (TCFD), terdapat dua risiko terkait perubahan iklim. Risiko fisik seperti banjir atau kebakaran hutan, dan risiko transisi yang terkait dengan tindakan atau perilaku manusia dalam melakukan transisi, seperti kebijakan, perilaku pasar, perkembangan teknologi, dan reputasi.

Risiko fisik seperti yang dialami Texas dan Uni Eropa dapat dirasakan langsung dampaknya terhadap perekonomian. Berdasarkan laporan Munich Re (2021), kerugian yang ditimbulkan karena perubahan iklim pada 2020 secara global mencapai US$210 miliar. Sementara itu, berdasarkan kajian Swiss RE (2021), ekonomi dunia akan kehilangan hingga 11% produk domestik bruto (PDB) jika suhu meningkat 2 derajat celsius. 

Risiko fisik sering menjadi narasi untuk membuat dunia bergerak lebih cepat dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, transisi yang terlalu cepat dan tidak koheren memiliki dampak ekonomi. Hasil studi Oxford menunjukkan bahwa penerapan kebijakan karbon yang tidak koheren akan meningkatkan indeks harga konsumen secara global hingga 4% pada 2030. Hal ini sejalan dengan analisis Bloomberg NEF yang menunjukkan bahwa dekarbonisasi akan meningkatkan biaya pada industri kaca hingga 20% dan industri baja hingga 30%.

Di sektor migas, muncul kekhawatiran terjadinya supply crunch karena penurunan investasi hulu migas yang salah satunya didorong oleh transisi rendah karbon. Sementara kebutuhan minyak diproyeksikan belum akan mencapai puncaknya setidaknya sampai beberapa tahun mendatang.

Mitigasi risiko iklim

Indonesia harus berhati-hati dalam dekarbonisasi dan sebaiknya melakukan transisi secara bertahap. Saat ini akan lebih baik jika negara mendorong kebijakan yang mendukung seperti menjalin kerja sama pendanaan global atau pengalihan insentif/subsidi. Kebijakan yang memberikan tekanan seperti pungutan karbon, akan efektif jika industri sudah siap dan perekonomian stabil. Saat ini berbagai sektor masih harus menghadapi pemulihan dari pandemi covid-19. Pengenaan tambahan biaya dapat memperberat situasi usaha.

Pungutan karbon juga harus jelas pemanfaatannya. Pemerintah harus transparan dan memastikan bahwa dana dari pungutan karbon bukan hanya untuk menambah pendapatan negara, namun betul-betul digunakan untuk keperluan dekarbonisasi. Untuk mencapai hal ini, pemerintah terlebih dahulu harus membuat peta jalan dan menunjukkan kebutuhan dana dekarbonisasi yang akan ditutup dari pengenaan pungutan tersebut.

Lebih penting lagi, dana yang dikumpulkan juga perlu dicadangkan untuk ketahanan iklim. Melihat ketidakseragaman kebijakan karbon di negara-negara G-20, besar kemungkinan akan muncul risiko transisi di masa mendatang selama dunia mengalami dampak perubahan iklim yang saat ini sudah terjadi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik