Mengulik Status kelembagaan Perguruan Tinggi Negeri

Kurniawan Budi Irianto, Pejabat Pengawas pada Kementerian Keuangan
14/4/2021 15:20
Mengulik Status kelembagaan Perguruan Tinggi Negeri
Kurniawan Budi Irianto(Dok pribadi)

DINAMIKA pengelolaan pendidikan tinggi memerlukan perubahan agar mampu menyesuaikan diri sesuai perkembangan jaman. Salah satu hal yang krusial adalah mengenai tata kelola perguruan tinggi itu sendiri. Saat ini terdapat sekurang-kurangnya tiga bentuk pengelolaan perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia.
 
Bentuk pertama merupakan perguruan tinggi yang merupakan satuan kerja (satker) PTN PNBP (penerimaan negara bukan pajak). Jumlah perguruan tinggi dengan bentuk PTN PNBP merupakan mayoritas dari seluruh populasi perguruan tinggi yang ada. Sebagai bentuk paling dasar, perguruan tinggi dengan status PTN PNBP memiliki banyak kelemahan sehingga kurang adaptif dalam menghadapi perkembangan jaman.

Kekurangan yang mendasar adalah fleksibilitas yang dimiliki PTN PNBP sangatlah terbatas. Fleksibilitas yang diberikan terbatas pada pengelolaan pendapatan yang bersumber dari PNBP. Satker PTN PNBP tidak diberikan fleksibilitas bentuk lain terkait dengan pengelolaan SDM, pengelolaan surplus pendapatan, dan optimalisasi aset yang dimiliki. 

Pengelolaan SDM dan pemberian reward bagi pegawai pada PTN PNBP tunduk pada peraturan yang berlaku umum. PTN PNBP tidak memiliki standar biaya khusus yang dapat dipergunakan untuk menyewa tenaga pengajar profesional. Begitu juga pemberian tambahan penghasilan bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan terbatas sesuai dengan standar biaya yang tercantum dalam APBN. Ketiadaan fleksibilitas pada pengelolaan SDM pada PTN PNBP membuat manajemen mengalami hambatan untuk memacu kinerja pegawai yang dimiliki. 

Pengelolaan surplus pendapatan pada PTN PNBP juga merupakan salah satu sisi kelemahan. PTN PNBP 'harus' menghabiskan surplus pendapatan yang dimilikinya untuk kegiatan yang ada dalam satu tahun anggaran yang sama. Surplus yang tidak digunakan akan disetor ke kas negara dan menjadi pendapatan negara. Kebijakan tersebut tentunya akan menjadi penghalang bagi PTN PNBP untuk mengembangkan layanan yang dimiliki ketika proses untuk pengembangan layanan memerlukan waktu lebih dari satu tahun anggaran. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab mengapa akselerasi perkembangan PTN PNBP tidak begitu terasa. 

Selanjutnya fleksibilitas mengenai optimalisasi aset yang dimiliki PTN PNBP. Tidak semua aset yang dimiliki dapat menjadi sumber pendapatan PTN tersebut. Hanya optimalisasi aset yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi yang dapat menjadi pendapatan PTN. Selebihnya merupakan pendapatan negara yang harus di setor ke kas negara. 

Selain terkait definisi aset, optimalisasi aset yang dilakukan dibatasi oleh koridor bentuk dan besaran tarif yang akan dipungut. Bentuk dan besaran tarif yang dipungut sudah ditentukan indeks rupiahnya secara terpusat sehingga kurang fleksibel dalam penerapan di lapangan.

Meskipun memiliki kekurangan, ada sisi positif yang dimiliki PTN PNBP. Sisi positif yang utama adalah seluruh beban belanja pegawai baik gaji dan tunjangan kinerja ditanggung oleh pemerintah. Manajemen PTN PNBP hanya menjalankan pemberian gaji dan tunjangan kinerja sesuai dengan ketentuan yang ada.

Atas adanya kekurangan dalam implementasi bentuk satker PNBP, maka disusunlah bentuk baru pengelolaan PTN. Bentuk tersebut adalah PTN BLU dan PTN BH. Dari regulasi yang mengaturnya, kedua bentuk tersebut menginduk pada dua regulasi yang berbeda. 

Bentuk kedua adalah PTN Badan Hukum atau PTN BH. Konsep PTN BH (sebelumnya Badan Hukum Perguruan Tinggi) dirumuskan pertama kali melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 1999 yang kemudian dikukuhkan melalui UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Bentuk PTN BH merupakan jawaban atas pengelolaan PTN agar lebih adaptif dalam perkembangan jaman. 

Dalam operasionalnya PTN BH memperoleh fleksibilitas dalam bidang akademik maupun non akademik yang diatur lebih rinci pada PP Statuta masing-masing PTN BH. Fleksibilitas tersebut diharapkan mampu untuk mendorong pengelolaan PTN menjadi lebih modern dan dapat bersaing di tingkat dunia.

Bentuk ketiga adalah PTN Badan Layanan Umum (BLU). Konsep BLU muncul pertama kali pada UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang kemudian diatur lebih rinci pada PP 23 tahun 2005. BLU merupakan penyempurnaan dari PP 6 tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan. Ada 5 rumpun layanan yang dapat ditetapkan sebagai BLU, yaitu kesehatan, pendidikan, pengelola kawasan, pengelola dana, dan barang dan jasa lainnya. Untuk menunjang pencapaian kinerja, dalam operasional sehari-hari BLU dilengkapi berbagai macam fleksibilitas yang melekat.

Dari perbedaan rujukan tersebut, terdapat persamaan dan ada juga perbedaan yang melekat di antara keduanya. PTN BLU dan PTN BH merupakan penyedia barang semi publik dengan motif not for profit. Frasa not for profit dimaknai bahwa seluruh pendapatan yang diperoleh digunakan sepenuhnya untuk operasional dan pengembangan layanan yang ada. 
 
Ketika penjabaran fleksibilitas pada PTN BH terdiri atas fleksibilitas akademik dan non akademik, maka PTN BLU diberikan berbagai bentuk fleksibilitas dalam pengelolaannya. Fleksibilitas tersebut berupa tarif, perencanaan dan penganggaran, dokumen pelaksanaan anggaran, pendapatan belanja, pengelolaan kas, pengelolaan piutang dan utang, investasi, pengelolaan barang, sistem akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban, akuntabilitas kinerja, surplus dan defisit, kelembagaan, pembinaan dan pengawasan, serta remunerasi.

Sebagai unit yang sama-sama dibekali dengan fleksibilitas yang melekat, ada untung rugi bagi PTN baik yang berstatus PTN BLU dan PTN BH;

1. Optimaliasi aset. Optimalisasi aset merupakan fleksibilitas yang diberikan untuk menggali sumber-sumber pendapatan baru dalam rangka operasional dan pengembangan layanan. PTN BLU diperbolehkan untuk melakukan optimalisasi aset termasuk kerjasama pemanfaatan aset sebagai pendapatan dari non layanan. Dalam pendayagunaan aset yang dimiliki, PTN BLU dapat bekerja sama dengan pihak ketiga baik berupa kerja sama operasional (KSO) dan kerja sama manajerial (KSM). Hasil dari pemberdayaan aset yang dimiliki merupakan pendapatan PTN BLU dan dapat digunakan secara langsung. 

Sedangkan pada PTN BH, kewenangan melakukan pendayagunaan aset diatur dalam masing-masing statuta PTN BH. Setiap PTN BH diwajibkan untuk dapat meningkatkan pendapatan non akademik termasuk di antaranya dari hasil kerja sama pengelolaan aset. Pemberdayaan aset tanah memerlukan prosedur tambahan berupa adanya izin dari menteri keuangan. Hasil dari pemberdayaan aset yang dimiliki merupakan pendapatan PTN BH dan digunakan untuk pelaksanaan tusi PTN BH dimaksud. Pada beberapa statuta PTN BH diberikan batas maksimal penggunaan aset untuk kegiatan komersil. Dari sisi optimalisasi aset, baik PTN BLU dan PTN BH memiliki posisi imbang.

2. Kas dan investasi. Dalam fungsi pengelolaan kas dan investasi, PTN BLU memiliki kebebasan dalam memberdayakan idle cash sebagai salah satu tambahan pendapatan. PTN BLU dapat menempatkan surplus yang dimiliki dalam berbagai instrumen keuangan termasuk penempatan dalam investasi jangka panjang. 

Khusus penempatan dana dalam bentuk investasi jangka panjang (saham perusahaan terbuka) dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari menteri keuangan. Mengingat bahwa arus kas pada PTN BLU sangat cair, hingga saat ini belum ada PTN BLU yang mengajukan izin untuk menempatkan dana pada instrumen jangka panjang. 

Pola transaksi pada PTN BLU didominasi untuk membiayai kegiatan jangka pendek, sehingga penempatan idle cash pada instrumen jangka panjang akan menjadikan pengelolaan kas menjadi tidak likuid. Sedangkan pada PTN BH, kewenangan tersebut telah didelegasikan pada rektor sesuai dengan statuta yang ada. Dari sisi kas dan investasi, baik PTN BLU dan PTN BH memiliki posisi yang imbang.

3. Remunerasi. Berkaitan dengan pemberian remunerasi, PTN BLU dapat memberikan reward bagi pegawai sesuai dengan standar penghasilan profesional yang ada pada pasar tenaga kerja. PTN BLU dapat menyewa pendidik profesional demi pencapaian target yang telah ditentukan. 

Akselerasi perguruan tinggi agar mampu bersaing pada tingkat global memerlukan tenaga pendidik profesional dengan reward yang memadai. Dengan terpenuhinya reward pegawai yang memadai, rektor dapat memberikan target yang menantang kepada pendidik agar mampu meningkatkan rangking perguruan tinggi di tingkat dunia. Pada PTN BLU, pemberian remunerasi ditetapkan oleh menteri keuangan sedangkan implementasinya menjadi kewenangan rektor. 

Besaran remunerasi yang ditetapkan merupakan hasil dari simulasi pendapatan perguruan tinggi yang kemudian dihitung dengan rumus tertentu sesuai dengan hasil evaluasi jabatan. Sedangkan pada PTN BH penentuan remunerasi merupakan salah satu kewenangan yang didelegasikan kepada rektor. Rektor dapat memberikan manfaat tambahan bagi pegawai melalui peraturan rektor. Dari sisi pemberian remunerasi, baik PTN BLU dan PTN BH memiliki posisi yang imbang.

4. Kepegawaian. Bentuk kepegawaian pada PTN BLU terdiri atas PNS dan pegawai profesional non PNS. Keberadaan pegawai profesional non PNS pada PTN BLU diharapkan mampu untuk membuat layanan PTN BLU lebih berkembang. Pegawai profesional non PNS juga merupakan fleksibilitas yang diberikan agar PTN BLU dapat mengembangkan layanan sesuai amanat dalam PP Nomor 23 tahun 2005. Pada PTN BLU yang ekspansif, proporsi pegawai profesional non PNS cukup signifikan. 

Hal tersebut merupakan konsekuensi akibat pertumbuhan layanan yang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan pegawai dari unsur PNS. Sedangkan pada PTN BH jenis ketenagaan pegawai terdiri atas PNS dan pegawai PTN BH. Pengangkatan pegawai PTN BH non PNS didelegasikan kepada rektor. 

Seiring dengan peralihan status dari satker pemerintah menjadi kekayaan negara dipisahkan, status kepegawaian pada PTN BH akan mengalami penyesuaian. Pegawai yang berstatus PNS dapat beralih menjadi pegawai PTN BH atau tetap sebagai PNS dengan status dipekerjakan pada PTN BH tersebut. Dari sisi kewenangan pengangkatan pegawai non PNS, baik PTN BLU dan PTN BH memiliki posisi yang imbang.

5. Pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa pada PTN BLU telah dikecualikan dari pola pengadaan jasa sebagaimana yang berlaku umum pada unit pemerintah. Pengaturan pengecualian tersebut tertuang pada pasal 61 Perpres 12 tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. 

PTN BLU wajib menyusun peraturan pengadaan barang dan jasa secara mandiri sesuai dengan karakteristik PTN BLU bersangkutan. Pedoman pengadaan barang dan jasa tersebut ditetapkan melalui peraturan rektor PTN BLU. Pada PTN BH, prosedur pengadaan barang dan jasa ditetapkan melalui peraturan rektor PTN BH. pendelegasian kewenangan tersebut tercantum dalam statuta masing-masing PTN BH. Dari sisi pengadaan barang dan jasa, baik PTN BLU dan PTN BH memiliki posisi yang imbang.

6. Utang dan piutang. PTN BLU diberi kewenangan untuk melakukan utang/pinjaman dan memberikan piutang kepada pihak lain. Perikatan terkait utang dapat dilakukan dengan badan usaha di dalam negeri baik berupa lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan non perbankan. PTN BLU diberikan kewenangan pula untuk melakukan pinjam meminjam dengan sesama BLU.

Penarikan pinjaman dibatasi untuk pinjaman jangka pendek dalam rangka pemenuhan belanja operasional yang sifatnya mendesak. Sedangkan pada PTN BH belum diatur terkait pengelolaan utang dan piutang. Dari sisi utang dan piutang, PTN BLU memiliki posisi yang unggul.

7. Subyek hukum. Terkait dengan subyek hukum, belum ada pengaturan yang spesifik terkait seberapa jauh frasa 'badan hukum' itu dimaknai. Apakah setara dengan badan hukum sebagaimana badan usaha berbadan hukum (PT, CV, BUMN, dst) atau sebatas kewenangan pada rektor PTN BH untuk bertindak melakukan perikatan dengan pihak ketiga. 

Apabila dimaknai bahwa frasa 'badan hukum' merupakan kewenangan untuk melakukan perikatan dengan pihak ketiga, maka baik PTN BLU dan PTN BH sudah sama-sama melakukan hal tersebut. PTN BLU telah melakukan perikatan dengan pihak ketiga dalam pemberdayaan aset begitu juga yang terjadi pada PTN BH. 

Namun apabila PTN BH dimaknai setara dengan badan usaha berbadan hukum, maka perlu ada penegasan juga terkait bentuk tambahan badan hukum sebagaimana yang selama ini sudah ada. Seandainya makna frasa 'Badan Hukum' dimaknai kewenangan untuk melakukan perikatan dengan pihak ketiga, maka posisi PTN BLU dan PTN BH adalah imbang. Namun apabila frasa 'badan hukum' dimaknai sebagai bentuk tambahan badan hukum maka posisi PTN BH lebih unggul dibandingkan PTN BLU.

8. Kewajiban perpajakan. PTN BLU adalah unit kerja pemerintah yang merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan. Atas statusnya tersebut maka PTN BLU tidak memiliki kewajiban perpajakan sebagaimana yang berlaku pada subyek wajib pajak badan. PTN BLU hanya memiliki kewajiban sebagai wajib pungut atas perpajakan yang menjadi tanggung jawabnya misalnya PPh Orang Pribadi atas pembayaran penghasilan kepada pegawai atau wajib pungut atas pajak yang menjadi kewajiban pihak ketika dalam kaitan kerja sama dengan PTN BLU. 

Pengecualian dari subyek wajib pajak badan menjadikan seluruh pendapatan PTN BLU dapat digunakan secara langsung untuk membiayai operasional dan pengembangan layanan. Tanpa adanya pungutan pajak atas institusi BLU menjadikan tarif layanan pada BLU menjadi lebih rendah dibandingkan ketika layanan tersebut dibebani komponen pajak. Konsep ini sesuai dengan makna not for profit

PTN BH merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Oleh karena itu bentuk PTN BH merupakan subyek Wajib Pajak Badan yang wajib dipungut Pajak Penghasilan atas pendapatan yang diterimanya. Akibatnya tidak semua pendapatan yang diterima oleh PTN BH dapat digunakan. PTN BH harus menghitung terlebih dahulu kewajiban pajak yang dimiliki sebagai pengurang dari pendapatan yang diterima. 

Pada PTN BLU dan PTN BH yang setara, untuk layanan yang sama dimungkinkan pada PTN BH memungut tarif lebih tinggi dibandingkan layanan serupa pada PTN BLU. Faktor pajak menjadi keunggulan PTN BLU dibandingkan PTN BH.

Dari beberapa simpulan di atas, terlihat bahwa PTN BLU memiliki keunggulan dibandingkan PTN BH. PTN BH memiliki keunggulan dari sisi akademik berupa kewenangan rektor untuk dapat membuka program studi (prodi) baru atau menutup prodi yang sudah ada. Sedangkan PTN BLU memiliki keunggulan pada fleksibilitas yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan. 

Baik PTN BLU dan PTN BH merupakan tahapan paripurna pada pengelolaan pendidikan tinggi di negeri ini. Keduanya berasal dari rujukan hukum yang berbeda yang tentunya memiliki karakteristik yang akan berbeda pula. Terlepas dari bentuk apapun yang dipilih, bahwa fleksibilitas yang diberikan merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kiprah perguruan tinggi Indonesia di kancah dunia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya