Rabu 03 Februari 2021, 05:10 WIB

Menyelamatkan Demokrasi Lokal

Adi Prayitno Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta Direktur Eksekutif Parameter Politik | Opini
Menyelamatkan Demokrasi Lokal

MI/Seno
Ilustrasi MI

 

RANCANGAN UU Pemilu yang saat ini dibahas di DPR menggabungkan UU Pemilu dan UU Pilkada sekaligus. Banyak isu krusial yang secara substansi diulang, seperti ambang batas presiden dan parlemen serta syarat pencapresan. Namun, ada satu isu baru yang cukup serius menyangkut keberlangsungan demokrasi lokal, yakni soal polemik kepala daerah yang masa kerjanya berakhir pada 2022 dan 2023, apakah daerah tersebut akan dilaksanakan pilkada atau ditunjuk pelaksana tugas.

Mengacu pada UU No 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1/2015 soal Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dalam Pasal 201 ayat 9 disebutkan, untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, bupati, dan wali kota yang masa jabatannya berakhir 2022 dan 2023, diangkat pejabat gubernur, bupati, dan wali kota, sampai terpilihnya kepala daerah baru hasil pilkada serentak nasional pada 2024.

Dalam draf UU Pemilu yang sedang dibahas di Senayan, Pasal 731 ayat 2 menyebutkan, pemilihan kepada daerah hasil Pilkada 2017 dilaksanakan pada 2022. Di pasal yang sama ayat 3 juga disebutkan, pemilihan kepada daerah serentak hasil Pilkada 2018 dilaksanakan 2023. Draf ini berbeda secara diametral, dengan UU pilkada soal ketiadaan pilkada serentak yang selanjutnya ditunjuk pelaksana tugas.

Sepintas lalu, peta politik parlemen terlihat mulai terang benderang. Fraksi Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS setuju pilkada digelar 2022 dan 2023 sebagai upaya normalisasi. Adapun PDIP, PKB, PPP, dan PAN menolak. Gerindra belum menentukan sikap. Sementara itu, pegiat pemilu, aktivis demokrasi, dan civil society menuntut pilkada dinormalisasi kembali. Pilkada serentak nasional yang dijadwalkan digelar 2024 disarankan diundur ke 2027.

 

Hakikat demokrasi

Pasca-Reformasi, bangsa ini susah payah mengembalikan kedaulatan politik ke tangan rakyat dengan memilih kepada daerah secara langsung. Warisan rezim otoriter Orde Baru dihilangkan karena mengebiri suara rakyat. Maka, mulai 2005 dilaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai selera rakyat. Bukan selera elite oligarki. Pada 2015, mulai diselenggarakan pilkada serentak untuk menata keserentakan pilkada nasional di kemudian hari. Intinya, ingin menyelamatkan demokrasi lokal dengan menjamin rakyat sebagai pemagang mandat utama.

Hingga saat ini, publik masih bertanya soal argumentasi mendasar fraksi yang menolak pilkada digelar 2022 dan 2023. Alasan klasiknya, tentu hanya ingin pilkada serentak nasional dihelat 2024 demi efisiensi anggaran dan waktu. Argumentasi semacam ini mudah dipatahkan. Tak ada jaminan, pilkada yang dilaksanakan bersama dengan pilpres dan pileg efektif menekan jumlah anggaran.

Justru sebaliknya, rencana keserentakan pemilu dan pilkada di 2024 menjadi beban berat bagi penyelenggara. Terutama, di level pengawasan. Akan begitu banyak dibutuhkan SDM untuk dilibatkan dalam penyelenggaraan pemilu. Belum lagi, soal trauma kematian ratusan petugas Pemilu 2019, lalu makin membuat kengerian keserentakan pemilu semakin menguat.

Hal prinsip yang perlu diperhatikan, mengapa ada desakan normalisasi pilkada dengan menggelar pilkada serentak 2022 dan 2023 ialah untuk menyelamatkan demokrasi lokal. Hakikat demokrasi one man one vote dilakukan secara langsung.

Dalam demokrasi, rakyat ditakdirkan menjadi subjek politik yang paling determinan dalam memilih pemimpin. Sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi jika dalam kurun waktu 2022 hingga 2024 ada ratusan kepala daerah dipimpin pelaksana tugas hasil penunjukan. Esensi demokrasi langsung akan ambyar total pastinya.

Jangan hanya karena alasan kerentakan pemilu dan Pilkada 2024, suara rakyat dikebiri. Jangan hanya soal efesiensi waktu dan anggaran, rakyat disuguhkan praktik politik oligarki. Tak bisa memilih pemimpin mereka sendiri. Demokrasi harganya mahal. Perjuangannya pun tak mudah. Butuh jalan panjang yang berliku dan mendaki. Serupa rimba politik yang penuh rintangan. Dalam konteks inilah, kedewasaan para politisi Senayan diuji untuk menyelamatkan hakikat demokrasi langsung daerah.

 

Stimulus ekonomi

Salah satu alasan mendasar mengapa pilkada perlu dinormalisasi pada 2022 dan 2023 ialah untuk menstimulus ekonomi. Ratusan daerah yang menyelenggarakan pilkada, otomatis kehidupan ekonominya berdenyut kencang. Sejauh ini pilkada bukan hanya suksesi elite lokal, melainkan juga mendatangkan banyak faedah ekonomi. Terutama, bagi rakyat kelas menengah ke bawah.

Belanja atribut tim sukses terbukti ampuh menggerakkan industri percetakan, sablon, dan seterusnya. Kebutuhan merekrut relewan dan tim sukses pemenangan efektif menyedot banyak sumber daya bekerja separuh waktu. Setidaknya, rakyat di bawah bisa beraktivitas yang bisa mendatangkan insentif harian yang mampu menopang kehidupan mereka.

Belum lagi, anggaran tak terduga kandidat seperti bantuan sosial dan subsidi logistik, manfaatnya dirasakan langsung rakyat. Mungkin bagi elite, bantuan semacam ini sepele, tapi bagi mereka seperti segepok berkah yang tak ternilai harganya. Di tengah wabah covid-19 yang kian mengganas, rakyat mati gaya. Akses terhadap dunia kerja tersumbat. Bahkan, banyak di antara mereka perlahan mulai menjadi pengangguran terselubung.

Masih segar dalam ingatan publik, argumen pemerintah dan anggota dewan yang tetap ngotot menggelar pilkada serentak 2020, yakni alasan stimulus ekonomi. Pertanyaannya kemudian, mengapa alasan menggerakkan roda ekonomi tidak berlaku untuk Pilkada 2022 dan 2023. Bukankah di tahun itu kondisi ekonomi bangsa belum tentu membaik? Mungkin sedang tertatih merintih akibat badai resesi yang tak kunjung usai.

Mungkin juga ada motif lain yang tak bisa diendus. Terutama, kelompok kepentingan status quo yang zona nyamannya tak ingin diusik. Salah satunya menolak pilkada dinormalisasi kembali. Persisnya, hanya Tuhan saja yang tahu, tapi setidaknya publik mulai menerka ada kepentingan politik yang tak biasa. Bekerja senyap di balik layar. Bukan hanya alasan normatif seperti menghemat anggaran dan waktu.

Jadi, jika ingin mendesain salah satu strategi pemulihan ekonomi di tengah perjuangan melawan wabah pandemi covid-19, jawabannya cuma satu. Laksanakan pilkada serentak 2022 dan 2023. Ingat, politik elektoral memang mahal. Semua perputaran uang dan logistik sangat berdampak langsung terhadap kehidupan rakyat di bawah sebab mereka yang menjadi subjek sekaligus objek dari politik elektoral itu sendiri.

 

Baca Juga

Dok pribadi

Robot Trading, Ruang Gelap Rekayasa Perangkat Lunak dan Bursa Saham

👤Indra Jiwana Thira, dosen Rekayasa Perangkat Lunak Universitas Garut 🕔Selasa 28 Maret 2023, 22:50 WIB
ROBOT trading menjadi salah satu istilah populer saat ini setelah beberapa kasus penipuan muncul dengan kerugian yang tidak...
Dok. Unpad

Suhu Politik di Tahun Politik

👤Yusa Djuyandi Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Kepala Aliansi: Kajian Politik, Keamanan, dan Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran 🕔Selasa 28 Maret 2023, 05:15 WIB
KURANG dari satu tahun lagi, negara kita akan memasuki puncak dari tahun politik nasional, yang titik momentumnya akan dilakukan dengan...
MI/Seno

Madesu Calon Guru

👤Triyanto Guru Besar FKIP UNS Solo 🕔Selasa 28 Maret 2023, 05:00 WIB
Guru adalah elemen penting pendidikan. Sayangnya, pengelolaan guru masih mengalami persoalan yang...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya