Tantangan Pasar Properti di 2021

Daniel Futuchata Falachi, Jr Manager Pengembangan Bisnis PT HK Realtindo 
17/1/2021 22:10
Tantangan Pasar Properti di 2021
Daniel Futuchata(Dok pribadi)

HAMPIR 1 tahun pandemi covid-19 melanda dan hingga kini belum menunjukan kurva penurunan. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tetap berlangsung seperti halnya di Jakarta dan sekitarnya. Selain itu juga program vaksinasi sudah mulai dilakukan. Kendati demikian hal ini menyebabkan kegiatan ekonomi belum berangsur membaik, dan akibatnya Indonesia telah mengalami resesi kembali, setelah terakhir di 1998. Kondisi resesi ini ditandainya realisasi produk domestik bruto (PDB) nasional kuartal II-2020 minus 5,32% , dan Kuartal-III 2020 minus 3,49%. Perkiraan kondisi ekonomi menjelang tutup tahun oleh beberapa lembaga keuangan dan praktisi ekonomi antara minus 2% sampai 0,6%

Kondisi ini dampaknya linier terhadap sektor properti. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir menurut Rumah.com pada kuartal III-2020 (yoy) terjadinya penurunan harga properti nasional yakni minus 0,55%. Hal itu ditandai dengan beberapa calon konsumen memilih untuk menunda pembelian properti dalam waktu dekat. Di sisi lain tingkat suplai meningkat sekitar >20% di 2020 (yoy). Selanjutnya berdasarkan laporan dari Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia bahwa selama pandemi penjualan properti residensial mengalami kontraksi 30,93% (yoy), dibandingkan kontraksi pada kuartal sebelumnya sebesar 25,60% (yoy). Penurunan penjualan properti ini terjadi pada seluruh tipe unit rumah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hal ini menunjukan bahwa dari segi daya serap properti dan harga cenderung mengalami kontraksi. Meskipun masih adanya suplai, namun kondisi ini jika tidak ada perbaikan pada sektor properti akan memungkinkan di 2021 belum ada pertumbuhan yang baik. Yang terjadi ialah semakin tinggi gap antara demand dan supply.

Tidak dipungkiri bahwa beberapa kebijakan yang didorong pemerintah guna mendukung kepemilikan properti mulai pelonggaran pajak barang mewah (PPnBM), pelonggaran loan to value (LTV) untuk kepemilikan rumah kedua, ketiga sampai terbentuknya Undang-Undang Cipta Kerja (omnibus law) yang harapannya guna memangkas birokrasi perizinan dan kepastian pengadaan lahan. Namun diharapkan muncul dukungan kebijakan pemerintah dan perbankan yang lebih efektif dikarenakan beberapa tantangan akibat dampak pandemi akan terjadi di 2021

Tantangan 
Saat ini angka pengangguran cukup tinggi akibat pandemi covid-19, bahwa lebih dari 2,5 juta orang terdampak. Di 2021 tentunya merupakan masa transisi untuk masyarakat kembali mendapatkan lapangan pekerjaan, dikarenakan hal tersebut memengaruhi setiap individu untuk berbelanja. Selain itu banyak perusahaan yang terdampak dari berbagai sektor bisnis di antaranya F&B, pertambangan, real estate sampai konstruksi. Beberapa upaya yang telah dilakukan seperti restrukturisasi perusahaan, menjaga likuiditas dan kestabilan cash flow. Adapun di tahun depan merupakan masa recovery, beberapa perusahaan pun telah memproyeksikan kerugian laba meskipun bertumbuh membaik dan tentu perusahaan belum dapat memberikan banyak benefit atau insentif kepada pegawai.
 
Tantangan lain berupa konsumsi rumah tangga yang belum membaik dalam waktu dekat terutama pada semester 1 2021 meskipun akan bertahap tumbuh pascaresesi. Tentunya tingkat rendah tingginya konsumsi rumah tangga ini merupakan representasi tingkat investasi dan kenyamanan berbisnis (terutama pasar domestik). Sentimen ini berpengaruh pada pembelian properti dan prioritas akan kebutuhan rumah tangga.

Kolaborasi dan dukungan

Aspek finansial diproyeksikan menjadi permasalahan utama stagnasi pasar properti di 2021, hal ini terjadi dikarenakan mismatch antara biaya dengan kemampuan membeli. Diperlukannya kebijakan yang terintegrasi dan saling mendukung baik dari pemerintah dan lembaga perbankan guna mendukung pertumbuhan sektor properti di 2021, seperti halnya pada aspek kredit kepemilikan properti perlu adanya stimulus suku bunga jangka panjang yang lebih kompetitif, yang mana saat ini suku bunga floating cukup tinggi yakni 11%-14% dan diharapkan bisa turun <8%.

Selain itu suku bunga di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand kurang dari 5% dan juga saat ini BI 7-day (reverse) Repo Rate di angka 3.75%. Hal ini  tentu berdampak dikarenakan lebih dari 80% konsumen menggunakan skema cicilan dan permasalahannya untuk jangka waktu yang panjang membayar bunga lebih mahal dari harga properti, hal tersebut menjadi kendala utama yang dialami oleh first home buyer dan debitur.

Selanjutnya, diharapkan pemerintah dapat memberikan relaksasi pada pajak pertambahan nilai (PPN) berupa kebijakan semacam tax holiday dari 10% menjadi <5% atau bahkan bisa 0% dengan tenggat dan minimal harga properti yang ditentukan. Harapannya, masyarakat dapat melakukan transaksi dalam waktu dekat dan berdampak positif pada pada tingkat penjualan unit properti. Ataupun pengaturan lainnya yang memfokuskan pada kemudahan kepemilikan properti seperti relaksasi dalam pembayaran kredit terhadap masyarakat yang terdampak covid, terutama kelas ekonomi menengah ke bawah. 

Selain investasi langsung, diharapkan peran perbankan di sektor perumahan juga dapat dijalankan melalui dukungan akses pendanaan yang terjangkau untuk dukungan industri material untuk perumahan itu sendiri. Material pada sektor perumahan lingkupnya luas antara lain semen, batu bata, keramik, kayu, peralatan listrik dan lain sebagainya. Dengan kerja sama pemerintah dan perbankan pada sektor industri material perumahan juga berdampak pada harga rumah yang terjangkau. Di 2021 tentunya tidak mudah untuk menciptakan kondisi yang stabil terhadap pertumbuhan properti. Sehingga diperlukan sinergi dan kolaborasi antara pemerintah dan perbankan yang dapat menghasilkan kebijakan yang lebih konkrit dan efektif.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya