Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
JIKA dibandingkan dengan gerakan Islam berhaluan konservatif lainnya, Front Pembela Islam (FPI) memiliki ideologi yang tidak konsisten. Satu saat, sang imam, Muhammad Rizieq Shihab (MRS), mencanangkan cita pendirian NKRI bersyariah. Namun, di AD/ART, FPI mencitakan pendirian khilafah islamiah, yang sekilas persis dengan ideologi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Inilah mengapa surat keterangan terdaftar (SKT) organisasi tersebut belum diperpanjang Kementerian Dalam Negeri. SKT FPI telah berakhir pada Juni 2019. Dengan demikian, saat ini, front yang mengklaim membela Islam ini sebenarnya ialah organisasi ilegal.
Salah satu penyebab dari hal ini ialah ketidakjelasan pengurus FPI dalam mengklarifikasi visi-misi dalam AD/ART. Di Pasal 6 AD/ART dinyatakan bahwa visi-misi FPI ialah penerapan syariah secara total di bawah naungan khilafah islamiah, menurut manhaj nubuwwah, melalui dakwah, hisbah, dan jihad. Bukankah misi seperti ini persis dengan cita ideologis HTI yang dibubarkan pemerintah pada 2017?
Menanggapi kecurigaan ini, FPI lalu berkilah bahwa khilafah yang dimaksud ialah aktivasi organisasi kerja sama Islam (OKI) di dunia. Dengan demikian, penegakan khilafah tidak berarti pendirian imperium kekuasaan Islam global yang lintas bangsa, tetapi sekadar memaksimalkan peran koordinatif OKI dalam menyatukan negara-negara Islam. Untuk itulah, FPI lalu menyatakan bahwa khilafah yang hendak ditegakkan tidak akan meruntuhkan NKRI.
Penjelasan seperti ini tentu bukan penjelasan yang clear secara akademik. Jika yang dimaksud khilafah ialah OKI, bukankah hal itu sudah terjadi? Lalu, apa signifikansi dari ide khilafah FPI? Jika penegakan khilafah dilakukan tanpa meruntuhkan NKRI, bukankah hal tersebut kontradiktif, mengingat bentuk kenegaraan global dari khilafah pastilah melampaui sekat-sekat bangsa.
Inkonsistensi ide FPI ini sebenarnya berangkat dari pemikiran sang imam, MRS. Bukan berdasarkan ide khilafah, melainkan NKRI bersyariah. Ide terakhir ini secara khusus meletakkan diri dalam perdebatan antara syariah Islam dan Pancasila.
Pancasila bersyariah
Dalam tesis di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, MRS mencetuskan premis yang menarik, tetapi bermasalah. Tesis yang berjudul Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariah Islam di Indonesia (2012) ini ingin menyatakan bahwa Pancasila tetap memberi ruang bagi penerapan syariah Islam. Keberadaan kompilasi hukum Islam dalam bidang peradilan dan kompilasi hukum perbankan Islam dalam bidang ekonomi, menguatkan premis ini. Dengan demikian, MRS berkeyakinan, meskipun Indonesia berdasarkan Pancasila, syariah tetap bisa tegak di negara nasional ini.
Perspektif seperti ini dikembangkan sebagai kontranarasi terhadap pemahaman kelompok nasionalis terhadap Pancasila. Oleh MRS, kelompok ini dinilai telah 'mendewakan' Pancasila sehingga membenturkan dasar negara ini dengan Islam. Bagi MRS, pemahaman nasionalistis atas Pancasila ini tidak memadai karena secara historis, dasar negara ini pernah mengalami fase syariatisasi. Yang dimaksud fase syariatisasi ialah rumusan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 karena imbuhan 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' pada sila ketuhanan. MRS tetap mengidealkan rumusan Piagam Jakarta ini dengan menegasi rumusan awal yang diusulkan Soekarno pada 1 Juni 1945.
Itulah mengapa pada 2017, MRS menyebut rumusan ide Pancasila 1 Juni telah menempatkan ketuhanan 'di pantat'. Posisi nilai ketuhanan sebagai sila kelima membuatnya sampai pada kesimpulan ini. Hal tersebut berbeda dengan rumusan Pancasila Piagam Jakarta yang menempatkan ketuhanan 'di kepala'.
Oleh karenanya, jika dibandingkan dengan ide Pancasila 1 Juni dan juga rumusan Pancasila resmi, MRS lebih mengidealkan Piagam Jakarta. Itu karena melalui rumusan ini, Pancasila menaungi penerapan syariah Islam.
Hanya, rekomendasi dari tesis tersebut bukanlah pendirian khilafah islamiah yang bersifat global, melainkan NKRI bersyariah yang bersifat nasional, dengan dasar negara Pancasila versi Piagam Jakarta. Melalui NKRI bersyariah ini, MRS dan juga FPI memiliki misi penerapan syariah secara total, tidak hanya dalam peraturan hukum ibadah dan muamalah, tetapi juga jinayah (pidana). Padahal, persis ketika hukum jinayah ini diterapkan, berubahlah Indonesia dari negara-bangsa menjadi negara Islam.
Meskipun tidak solid bangunan pengetahuannya, ide NKRI bersyariah ini populer di kalangan pendukungnya. Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 2018, menemukan naiknya dukungan terhadap NKRI bersyariah sebanyak 9% dan turunnya dukungan terhadap Pancasila sebanyak 10%. Meskipun pendukung Pancasila masih jauh lebih banyak, yakni 75,3%, kenaikan dukungan ini menunjukkan kuatnya popularitas NKRI bersyariah (13,2%) jika dibandingkan dengan Pancasila.
Ketika di AD/ART FPI, sistem politik yang ingin ditegakkan ialah khilafah dan bukan NKRI bersyariah, hal ini menunjukkan inkonsistensi ideologis tersebut. Hal ini sekaligus menandakan bahwa gerakan Islam konservatif ini tidak serius dalam menyusun ideologi dan cita politiknya. Jika bangunan ideologisnya rapuh, keseriusan gerakan ini dalam memperjuangkan Islam patut dipertanyakan. Apakah ia memang gerakan ideologi atau gerakan praktis bertopeng ideologi?
Refleksi diri
Ketika Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurachman, pada 19 November lalu mewacanakan pembubaran front ini, hal itu patut diindahkan. Pertanyaannya, bagaimana membubarkan organisasi yang tidak terdaftar secara hukum? Berbagai kontroversi sang imam setelah kepulangan dari Saudi Arabia, dari kerumunan massal yang melanggar protokol kesehatan covid-19 hingga perseteruannya dengan TNI-Polri. Menunjukkan kebutuhan gerakan ini untuk merefleksikan diri.
Jika mereka mengaku sebagai bagian dari ahlusunnah wal jama'ah, apalagi ketika MRS membawa simbol suci keturunan Nabi Muhammad, ide dan perilaku dari gerakan ini harus mencerminkan kemuliaan nilai-nilai suci tersebut.
Dalam tradisi Sunni, tidak ada ajaran pemberontakan terhadap pemerintah yang sah sebab posisi ulama berbeda dengan umara (pemerintah). Ulama menjaga umat dalam melaksanakan agama. Sedang umara bekerja demi kemaslahatan sosial. Namun, bukankah penerapan syariah membutuhkan tangan negara? Betul. Bukankah hal itu sudah terjadi, sebagaimana tesis MRS sendiri? Dengan demikian, NKRI sudah bersyariah sehingga tidak perlu disyariahkan kembali.
Para konsultan ini sebenarnya memiliki opini-opini, terlebih saat diskusi. Namun, untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan tetap perlu diasah.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hasan mengemukakan pemerintah tak pernah mempermasalahkan tulisan opini selama ini. Hasan menyebut pemerintah tak pernah mengkomplain tulisan opini.
Perlu dibuktikan apakah teror tersebut benar terjadi sehingga menghindari saling tuduh dan saling curiga.
Dugaan intimidasi terjadi usai tayangnya opini yang mengkritik pengangkatan jenderal TNI pada jabatan sipil, termasuk sebagai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Yogi Firmansyah, merupakan aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan dan sedang Kuliah S2 di Magister Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved