Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Bagaimana Tes Covid-19?

Tjandra Yoga Aditama Guru Besar Paru FKUI, Mantan Direktur WHO SEARO, Mantan Dirjen P2P & Kabalitbangkes
03/10/2020 03:00
Bagaimana Tes Covid-19?
(Dok. Pribadi)

KASUS dan kematian Kakibat covid-19 masih terus meningkat, baik di dunia mau- pun di Indonesia. Sudah banyak program pengendalian yang dilakukan, di tingkat dunia, regional dan tentu juga di Indonesia. Bahkan, sampai ke tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.

Semua program ini, baik tingkat individu maupun kemungkinan penularan di masyarakat, pencegahan dan penanggulangannya di tingkat nasional, tentu bermula dari satu titik awal yang sama, yaitu bagaimana kita tahu bahwa seseorang itu sakit covid-19 atau tidak.

Hal ini dapat dipastikan dengan melakukan tes yang tepat, baik metodologi laboratoriumnya (termasuk akurasi tes dalam bentuk sensitivitas dan spesifisitasnya), cakupan di populasi, penerimaan masyarakat dan tentu bagaimana kebijakan publiknya.


Virus

Kita tahu bahwa covid-19 disebabkan oleh virus yang diberi nama SARS-CoV-2. Disebut SARS (severe acute respiratory syndrome) karena gejalanya dapat berupa gangguan pernapasan yang berat, dan disebut CoV-2 karena penyakit ini disebabkan oleh virus korona, yang berbeda dengan virus korona yang lalu, yang menyebabkan penyakit SARS di sekitar tahun 2003 yang lalu karena itu disebut ‘2’.

Secara ilmu virologi, SARSCoV- 2 masuk ke genus Betacoronavirus dan famili Coronaviridae, suatu virus RNA (ribonucleic acid) dengan 30-kb genome. Ini ialah jenis virus korona ke tujuh yang menginfeksi manusia, empat di antaranya (namanya masingmasing HCoV-NL63, HCoVHKU1 dan HCoV-OC43), hanya menyebabkan penyakit relatif ringan. Yang dua jenis lagi menimbulkan gangguan kesehatan paru dan pernapasan yang berat, yaitu penyakit SARS and MERS CoV.

Sesuai data terbaru WHO bulan yang lalu, masa inkubasi antara virus masuk dalam tubuh manusia dan gejala pertama timbul berkisar antara 1 sampai 14 hari, dengan rata-rata 5-6 hari. Virus dapat ditemukan di saluran napas atas (yang didapat dengan pemeriksaan swab lewat hidung dan mulut) pada antara 1 sampai 3 hari sebelum gejala timbul, itulah sebabnya maka OTG (orang tanpa gejala) dapat menularkan penyakit. Virusnya dapat keluar lewat batuk (kalau sudah ada gejala), tapi pada OTG bisa juga lewat bernyanyi (ada laporan penularan di latihan paduan suara di Amerika dll), berbicara dan mungkin juga bernapas keras.

Khusus tentang penularan lewat bernyanyi maka sudah ada pula penelitian apakah bila seseorang menyanyikan ‘Happy birthday, Susan’ maka juga akan keluar aerosol yang mungkin membawa virus ini, mungkin baik juga kalau ada yang meneliti bagaimans kalau lagunya berbahasa Indonesia ‘panjang umurnya…’.

Selain di saluran napas atas, pada sebagian kecil kasus juga kadang-kadang ditemukan virus di bahan tubuh lain, seperti faeces (tinja), urine, air liur, cairan sperma, cairan bola mata, cairan sumsum tulang belakang dll. Namun, yang utama memang virus ditemukan di saluran napas atas dan (tentu) bila mungkin di ambil (dengan alat khusus yang namanya bronkoskopi dll) langsung dari saluran napas bawah di dalam paru-paru.


Pemeriksaan laboratorium

Sejauh ini kepastian seseorang sakit covid-19 memang berdasar pada deteksi sekuen virus dengan nucleic acid amplification tests (NAATs) seperti yang dilakukan dengan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dll. Artinya, secara umum pemeriksaan swab yang sekarang sudah dikenal luas memang jadi dasar utama kepastian penyakit sehingga ketersediaannya harus diperluas, dipermudah jangkauannya dan dipermurah harganya. Sebagai ilustrasi saja, saya sendiri dilakukan pemeriksaan PCR di India 3 minggu yang lalu, dan biayanya tidak sampai Rp500 ribu.

Sementara itu, pemeriksaan rapid test di darah yang banyak dikenal luas sekarang ini memang tidak untuk menemukan virus secara langsung. Yang dideteksi ialah ada tidaknya antibodi dan ini ada variasi waktu timbulnya pada seseorang, belum lagi sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan ini belumlah cukup baik.

Karena itu, WHO memang sejauh ini tidak merekomendasikan rapid test antibody sebagai alat memastikan apakah seorang sakit atau tidak walau pemeriksaan ini masih dapat digunakan pada penelitian serosurveilans untuk menilai pola kekebalan pada populasi. Jadi, usulan untuk tidak menggunakan test antibodi sebagai syarat perjalanan dengan pesawat udara dll tampaknya memang beralasan dan patut dipertimbangkan.

Yang minggu-minggu ini banyak dibahas adalah pemeriksaan antigen, yang juga cepat hasilnya sehingga disebut juga sebagai rapid test. Rekomendasi WHO pertengahan September 2020 menyatakan bahwa diperlukan syarat tententu kalau mau menggunakan pemeriksaan antigen, antara lain kalau memang pemeriksaan PCR tidak tersedia dan juga sensitivitas harus 80% dan spesifisitas 97%. WHO juga menyatakan masih terus menganalisis data ilmiah tentang pemeriksaan antigen ini walau memang minggu yang lalu sudah masuk dalam WHO Emergency Use List.


Pelaksanaan

Sesudah kita mengetahui tes mana yang akan jadi kebijakan di suatu negara, maka setidaknya ada lima hal lain lagi yang perlu dapat perhatian. Pertama, kepastian keamanan petugas yang mengambil sampel. Jangan sampai petugas kesehatan malah jadi tertular karena mungkin saja dalam sehari seorang petugas harus bertemu beberapa (atau bahkan mungkin cukup banyak) orang yang suspek covid-19 yang harus diambil sampelnya dan karena itu petugas harus meggunakan alat pelindung diri (APD) yang memadai.

Aspek kedua ialah keyakinan bahwa sampel yang diambil benar-benar representatif. Artinya, kalau akan ambil swab tenggorok maka benarbenar harus sampai ke tenggorok, bukan hanya di mulut saja. Karena itu memang bagi yang diperiksa dapat merasa tidak nyaman karena ada benda masuk ‘tersodok’ ke tenggoroknya, tapi itu memang harus dijalani supaya bahan yang diperiksa memang benar-benar akurat.

Jangan sampai hasil tes negatif tapi bukan karena memang tidak ada virusnya, tetapi karena sampel yang diambil adalah salah. Hal ke tiga adalah bagaiman penyimpanan dan pengiriman sampel dari tempat diambil sampai ke laboratorium yang memeriksa. Ketidakhati-hatian dalam penyimpanan sampel dapat mengakibatkan sampel rusak dan hasil pemerik- saan jadi tidak tepat. Begitu juga pengiriman sampel yang tidak sesuai standar akan memengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium nantinya , apalagi kalau harus dikirim cukup jauh, bahkan antar pulau mungkin. Artinya, ketersediaan laboratorium PCR di banyak tempat memang merupakan salah satu kunci keberhasilan program penanggulangan covid-19.

Hal ke empat ialah bagaimana prosedur tehnik pemeriksaannya di laboratorium. Kini semua tentu sudah dilakukan dengan standar yang ketat, dan alatnya pun sudah amat canggih, serta petugas juga sudah sangat terlatih. Tentu faktor-faktor lain perlu dapat perhatian, seperti ketersediaan reagen, makan siang petugas yang dari pagi sampai malam tidak keluar laboratorium dan lain-lain.

Aspek ke lima, lebih kekebijakan publik, adalah tentang berapa banyak orang yang akan diperiksa. Ada semacam panduan WHO yang menyebutkan bahwa nilai ‘positivity rate’ baru akan tepat dinilai kalau setidaknya satu dari 1.000 orang sudah diperiksa.

Juga perlu dibuat kebijakan tentang siapa-siapa saja kontak yang akan diperiksa. Artinya, kalau ketemu satu orang pasien maka seberapa banyak dari puluhan orang yang pernah ditemuinya (atau bersama dalam satu ruangan atau kendaraan umum misalnya) harus di PCR, kalau mereka ditemukan dalam kegiatan penelusuran kontak (contact tracing) yang agresif.

Pemeriksaan laboratorium untuk memastikan seseorang sakit atau tidak merupakan bagian awal dari segala kegiatan menangani covid-19 dan karena itu harus mendapat perhatian penting.

Memang pada kenyataannya, covid-19 hanya akan dapat diatasi dengan baik kalau seluruh proses, dari hulu sampai hilir, dari laboratorium sampai ke rumah sakit, dari kesadaran masyarakat sampai ke perubahan perilaku, dan dari kesungguhan petugas di lapangan sampai komitmen politik, semua benar-benar terjaga dan berjalan beriringan dengan maksimal.

Hanya dengan upaya bersama, kita dapat mengatasi pandemi yang telah meluluh lantakkan berbagai sendi kehidupan kita ini, di Indonesia dan di dunia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya