Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Jerat Pidana Pelaku Obstruction of Justice

Nefa Claudia Meliala, Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung
05/9/2020 17:00
 Jerat Pidana Pelaku Obstruction of Justice
Nefa Claudia Meliala(Dok.pribadi)

ISTILAH obstruction of justice kembali menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini dalam kaitannya dengan skandal terpidana dan buronan perkara korupsi Joko Tjandra. Anita Kolopaking, kuasa hukum Joko Tjandra dan jaksa Pinangki Sirna Malasari telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelarian Joko Tjandra. 

Anita diduga melanggar ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHP tentang pemalsuan surat dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara dan Pasal 223 KUHP terkait upaya membantu kaburnya tahanan dengan ancaman maksimal 2 tahun 8 bulan penjara. Sementara Pinangki diduga melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor yang mengatur larangan bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk menerima suap (suap pasif) dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000 dan paling banyak Rp250.000.000.  

Secara garis besar, obstruction of justice dapat diterjemahkan sebagai tindak pidana menghalangi proses hukum. Ketentuan mengenai obstruction of justice (tindak pidana menghalangi proses hukum) ini dapat ditemukan di antaranya dalam ketentuan pasal 221 KUHP dan pasal 21 UU Tipikor. 

Pasal 221 KUHP melarang setiap orang yang dengan sengaja menyembunyikan atau menolong orang yang dituntut melakukan kejahatan agar orang yang disembunyikan atau ditolong tersebut terhindar dari proses hukum. Tindakan menyembunyikan atau menolong orang yang terjerat kasus hukum ini dilakukan dengan maksud untuk menutupi, menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutan. 

KUHP juga mengancam pidana setiap orang yang berupaya menghilangkan atau menyembunyikan alat bukti dengan ancaman maksimal 9 bulan penjara atau denda Rp4.500.000. Sementara itu, Pasal 21 UU Tipikor mengancam pidana setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan baik secara langsung maupun tidak langsung upaya penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan baik yang dilakukan terhadap tersangka, terdakwa maupun saksi dalam perkara korupsi dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000 dan paling banyak Rp600.000.000.  

Spesifik berbicara mengenai ketentuan Pasal 21 UU Tipikor, salah satu kasus yang sempat cukup ramai dibicarakan adalah kasus Fredrich Yunadi, kuasa hukum Setya Novanto yang divonis 7 tahun penjara dan denda Rp500.000.000 subsider 5 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta karena dianggap terbukti melanggar ketentuan Pasal 21 UU Tipikor. 

Fredrich melakukan rekayasa sedemikian rupa agar kliennya dirawat inap di RS Medika Permata Hijau Jakarta dalam rangka menghindari pemeriksaan yang akan dilakukan oleh penyidik KPK. Dalam fakta persidangan terungkap adanya permintaan untuk diagnosa kecelakaan dan pemesanan kamar rawat inap, padahal kecelakaan belum pernah terjadi. 

Dalam kasus ini, dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo juga divonis 3 tahun penjara karena terbukti melanggar ketentuan Pasal 21 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagai pihak yang dianggap turut serta melakukan upaya menghalangi proses hukum dalam perkara Setya Novanto. Selain Fredrich Yunadi, beberapa advokat yang juga dijerat ketentuan Pasal 21 UU Tipikor ini dan dianggap menghalangi proses hukum adalah Manatap Ambarita dalam kasus korupsi penyalahgunaan sisa anggaran tahun 2005 pada Dinas Kimpraswil Kabupaten Kepulauan Mentawai Afner Ambarita, Mohammad Hasan bin Khusi serta Azmi bin Muhammad Yusuf dalam kasus korupsi proyek pembangunan PLTS di Kemenakertrans, Neneng Sri Wahyuni (istri Muhammad Nazaruddin). 

Wacana menerapkan ketentuan Pasal 21 UU Tipikor juga muncul dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK. Argumentasi yang kemudian dibangun adalah bahwa upaya mencegah, merintangi atau menggagalkan proses hukum dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks kasus Novel, penyerangan yang dilakukan dianggap sebagai upaya menghalangi kerja penyidik dalam upaya pemberantasan korupsi.  

Kembali pada kasus Joko Tjandra, setiap pihak baik advokat, jaksa atau siapapun yang terbukti dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan baik secara langsung maupun tidak langsung proses hukum dalam kasus ini seharusnya dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 21 UU Tipikor. 

Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang di dalamnya juga mengatur larangan obstruction of justice dalam article 25 sebagai salah satu mandatory offences . Pasal obstruction of justice di luar pasal-pasal yang saat ini telah digunakan perlu diterapkan untuk kembali menegaskan bahwa tindakan menghalangi proses hukum merupakan sebuah pelanggaran serius terhadap upaya pemberantasan korupsi dan membuat tujuan Hukum Acara Pidana dalam mencari dan menemukan kebenaran materil menjadi tidak tercapai. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya