Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Penilaian Teknologi Kesehatan dan Inovasi Layanan

Budi Wiweko, Guru Besar FKUI, Koordinator Laboratorium dan Riset Gugus Tugas Covid 19 Indonesia, Ketua Komisi 2 Senat Akademik UI, Wakil Direktur Indonesian Medical Education Research Institute FKUI, Sekjen Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia
20/8/2020 18:15
 Penilaian Teknologi Kesehatan dan Inovasi Layanan
Budi Wiweko(Dok.pribadi)

SISTEM pelayanan kesehatan di berbagai negara saat ini menghadapi tantangan agar dapat menjalankan pelayanan dalam kerangka sumber daya yang terbatas. Diperlukan kebijakan, keputusan dan praktik klinik yang mampu melakukan intervensi kesehatan secara terukur, terarah, sehingga efektif serta efisien. Konsep penilaian teknologi kesehatan merupakan salah satu tulang punggung bagi negara berkembang untuk mencapai pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya.

Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir penilaian teknologi kesehatan diterapkan oleh banyak negara seperti Prancis, Spanyol, Swedia, Inggris, Jerman, Italia, Belanda, Kanada dan Australia dengan tujuan utama mengendalikan kualitas dan pembiayaan kesehatan.

Perkembangan ini kemudian diikuti dengan berbagai negara Asia yang turut melakukan penilaian teknologi kesehatan agar mampu mengutamakan aspek nilai ekonomi dan makna klinis terhadap pemanfaatan obat, alat serta prosedur dalam sebuah pelayanan kesehatan.
Malaysia mendirikan komite penilaian teknologi kesehatan pada 1995, diikuti oleh Korea Selatan 2006, Thailand 2007, Vietnam 2013 dan Indonesia pada 2014. 

Secara rinci komite penilaian teknologi kesehatan ini menilai aspek efisiensi, efektivitas dan keamanan pemanfaatan obat, alat kesehatan atau prosedur termasuk juga nilai ekonomi di dalamnya yang menjelaskan tentang efisiensi sebuah pelayanan kesehatan.

Penilaian teknologi kesehatan 
Konsep pembiayaan kesehatan sebuah negara adalah menjamin cakupan pelayanan bagi semua warga negaranya (universal health coverage), berbasis kendali mutu dan kendali biaya. Oleh karena itu proses penilaian teknologi kesehatan sangat penting untuk menjaga kesinambungan pembiayaan kesehatan sebuah negara. Bila kita melihat negara tetangga kita, Malaysia, sistem pelayanan kesehatan mereka terdiri atas layanan publik dan swasta, di mana pemerintah berperan mengontrol serta melaksanakan sepenuhnya layanan publik. Pada 2017 Malaysia menetapkan 10% total anggaran negaranya untuk sektor kesehatan. Obat-obatan merupakan proporsi terbesar yang mencapai 16,5% dalam belanja kesehatan Malaysia.

Data 2016 menunjukkan belanja obat impor Malaysia mencapai 55% dengan nilai sebesar 5,4 milyar MYR, bandingkan dengan negara kita yang melakukan impor obat sebesar 90%. Kondisi ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Malaysia dan Indonesia untuk mampu mengendalikan peningkatan biaya pelayanan kesehatan melalui pemanfaatan teknologi yang tepat guna.

Komite Penilaian Teknologi Malaysia secara serius melakukan penilaian untuk setiap obat, alat atau pun prosedur kesehatan baru yang akan diadopsi menjadi standar, sebaliknya hal yang sama dilakukan untuk mengeluarkannya dari standar nasional. Sejak 2011 sampai
2015 Komite Penilaian Teknologi Kesehatan Malaysia melakukan penilaian terhadap 338 total aplikasi obat, dan 168 di antaranya merupakan permohonan obat baru untuk masuk standar. Sedangkan sejak 2003 sampai 2015 Malaysia menerima 381 obat baru untuk masuk dalam standar serta mengeluarkan 275 obat dari standar. Dalam rentang waktu tersebut di atas kita bisa melihat bahwa paling tidak dalam 10 tahun Pemerintah Malaysia bertindak cukup akomodatif dan selektif terhadap kemajuan teknologi dan efisiensi dalam pemilihan obat.

Bagaimana dengan Indonesia? Peraturan Menteri Kesehatan No. 51/2017 mengatur tentang pedoman penilaian teknologi kesehatan dalam program jaminan kesehatan nasional (PTK–JKN). Beberapa kriteria teknologi yang termasuk PTK-JKN yaitu; 1. tingkat penggunaan tinggi, 2. berisiko tinggi, 3. berbiaya tinggi, 4. memiliki variasi yang besar, 5. kepentingan (urgensi) dalam kebijakan, 6. dapat memperbaiki akses, kualitas, dan kesehatan bagi penduduk, 6. tingkat potensi penghematan biaya, 7. tingkat penerimaan dari aspek sosial, budaya, etika, politik, dan agama terhadap penerapan teknologi.

Menyimak laman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sepanjang 2017–2018 Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) menghasilkan 6 studi mengenai efektivitas dan efisiensi penggunaan obat dan teknologi dalam jaminan kesehatan nasional, antara lain penggunaan hormon insulin pada penderita kencing manis, regimen terapi pada kanker kolo rektal, penggunaan sildenafil sitrat pada kasus hipertensi pulmonal serta terapi hemodialisis pada gagal ginjal terminal.

Belum diketahui berapa dampak efisiensi yang dapat dilakukan program JKN dengan adanya studi PTK tersebut di atas. Hal ini dapat terjadi karena diseminasi atau sosialisasi yang sangat kurang dilakukan oleh Komite PTK Indonesia. 

Peran penilaian 
Kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran memungkinkan banyaknya inovasi teknologi yang dapat diadopsi dalam layanan kesehatan. Teknologi kesehatan mencakup obat, bahan biologis, prosedur medis maupun bedah, sistem penunjang, maupun sistem organisasi dan manajerial. Kondisi ini termasuk semua jenis intervensi yang digunakan dalam bidang kedokteran/kesehatan untuk tujuan promosi, pencegahan, penapisan, penegakan diagnosis, dan pengobatan.

Melalui inovasi pelayanan kesehatan diharapkan akan terjadi penurunan mortalitas dan morbiditas, meningkatnya kualitas hidup (quality of life), disertai dengan kepuasan pelanggan/pasien, dan meningkatnya taraf kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang berkualitas prima namun memerlukan biaya yang sangat tinggi, misalnya di Amerika Serikat, memiliki nilai yang lebih rendah ketimbang pelayanan dengan kualitas yang sama namun memerlukan biaya yang lebih rendah seperti yang kita lihat di Eropa Utara atau sebagian negara sedang berkembang.

Banyaknya inovasi yang dilahirkan putra-putri Indonesia selama pandemi covid-19 mendorong KPTK untuk segera melakukan penilaian teknologi kesehatan secara cepat (rapid HTA) untuk sebaik-baiknya tingkat keamanan, efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan. Tidak dipungkiri Indonesia merupakan salah satu gudang bahan alam terkaya di dunia yang mampu dimanfaatkan menjadi obat. 

Sudah barang tentu perjalanan panjang harus dilalui tahap demi tahap mulai dari uji in silico, in vitro, in vivo dan uji klinik. Teknologi kecerdasan buatan mampu memperpendek waktu yang dibutuhkan selama uji in silico dan in vitro sehingga diharapkan akan mempercepat pemanfaatan obat hasil inovasi ke masyarakat.

Kolaborasi penta heliks saat ini merupakan kelemahan utama dari sebuah KPTK yang seyogyanya sejak awal melibatkan mitra bestari yaitu akademisi, industri, pemerintah, masyarakat dan media komunikasi dalam melakukan penilaian. Berbagai informasi liar yang beredar di masyarakat tentang inovasi obat dan alat kesehatan untuk covid-19 perlu diluruskan dengan bukti ilmiah yang didapat melalui prosedur yang benar.

Pengembangan ventilator menjadi salah satu bukti bahwa teknologi anak bangsa mampu untuk dikembangkan sesuai kaidah pembuatan alat kesehatan yang baik. Demikian pula dengan minyak kayu putih (Eucalyptus) dan semua potensi biodiversitas Indonesia lainnya harus dikembangkan melalui prosedur yang benar serta dilakukan penilaian teknologi kesehatan secara cepat demi kemandirian pelayanan kesehatan Indonesia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik