Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
GUA mungil di tebing Waemusur, Kampung Purang Mese, Desa Compang Ndejing, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi NTT, menjadi saksi bisu penderitaan Endi Pora. Gua ini menjadi rumah kediaman Endi Pora kurang lebih lima tahun terakhir ini.
Kondisi pria asal Kampung Pate Kaca, Desa Bae Ngencung, Kecamatan Ranamese, itu sangat memprihatinkan. Saat saya dan rekan-rekan relawan Kelompok Kasih Insanis mengunjunginya pada 20 Februari 2020 alu, Endi Pora sedang duduk di atas sebuah batu di mulut gua itu. Badannya kurus dibalut kaos, celana olahraga pendek, dan ikat kepala merah.
Sampah plastik dan botol pestisida bekas yang dikumpulkannya menumpuk di dalam gua. Beberapa di antara sampah plastik itu menggantung di langit-langit gua menyerupai lampu hias. Sampah-sampah itu dipungut Endi Pora di bantara Wae Musur dan persawahan di sekitar kali itu. Gua itu dia dandan sendiri menyerupai sebuah panggung bila dilihat dari jauh.
Selain sampah, di gua itu ada panci bekas dan kaleng yang dipakai untuk memasak menurut pengakuan Endi Pora. Ada piring, muk, sendok dan tungku api. Di dekat tungku api itu Endi Pora membaringkan badannya bila ia ngantuk. Endi Pora kelihatannya menikmati suasana gua itu, sehingga enggan turun dari tempat, ketika saya dan rekan-rekan mengajak dia untuk turun dari gua itu. Dia juga tidak pernah takut akan bahaya yang mengintainya setiap saat dan mengancam keselamatannya. Apalagi gua itu berada di bibir jurang.
Terlantar
Bila kita datang ke sana, kita harus hati-hati karena kita harus mendaki sebuah tebing yang bisa mengancam keselamatan kita. Menurut pengakuan Endi Pora, dia hidup dari belas kasihan orang. Ketika saya dan teman-teman mengunjungi Endi Pora dalam satu kesempatan lain, dia lebih banyak tersenyum dan dari ekspresi wajahnya dia senang dengan kehadiran kami.
Dia bahkan mengajak kami untuk makan. Seolah-olah dia sehat, normal dan tidak mengalami gangguan jiwa. Namun sesungguhnya Endi Pora adalah seorang penderita gangguan jiwa atau lazim disebut ODGJ (orang dengan gangguan jiwa). Endi Pora bukan tidak punya keluarga. Gangguan jiwa membuat Endi Pora dijauhi keluarga. Karena dalam pandangan orang Manggarai gangguan jiwa adalah sebuah aib, sesuatu yang memalukan keluarga.
Selain itu, adanya stigma dari masyarakat bahwa orang dengan gangguan jiwa adalah pengganggu keamanan masyarakat. Oleh karena itu tidak jarang para penderita gangguan jiwa dipasung dan ditelantarkan, seperti yang dialami Endi Pora. Selain itu mereka juga tidak mendapat jaminan sosial. Hidup mereka benar-benar terlantar.
Untuk mengisi perutnya sehari-hari, Endi mendapat belas kasihan dari masyarakat di sekitarnya yang peduli dengan hidupnya. Makanannya jauh dari gizi dan sehat. Tempat menanak nasi adalah sebuah kaleng bekas yang tak pernah dibersihkan. Dia juga tidak masak sayur apalagi lauk. Tak heran jika badannya kurus dan wajahnya pucat.
Gua itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari Kampung Purang Mese dan Pate Kaca, kampung asal Endi Pora. Namun, masyarakat setempat jarang mengunjungi Endi karena masyarakat takut. Menurut pengakuan warga setempat, Endi Pora adalah seorang anak yatim piatu. Dua orang saudaranya juga sudah meninggal. Endi Pora memikul penderitaan itu seorang diri.
Pada 17 Agustus 2020, saat kita sedang merayakan HUT ke-75 Kemerdekaan RI, Sekretaris Keuskupan Ruteng, Rm Manfred Habur, saya, dan relawan KKI Manggarai Timur mengunjungi Endi Pora bersama beberapa siswa SMA Swasta Katolik Pancasila Borong. Saat itu Endi baru selesai mandi dan cuci di Wae Musur. Kami mengibarkan bendera bersamanya dan dia sempat menyanyi bersama lagu Indonesia Raya.
Saat itu dia sangat gembira dan senang dengan kehadiran kami, seolah-olah mengabaikan keadaannya. Selain mengibar bendera dan menyanyi, seorang relawan remaja KKI, Jesica Juliani, sempat membawakan sebuah puisi dan relawan yang lain menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Endi sendiri sempat mengambil gitar seperti hendak menyanyikan sebuah lagu, namun kelihatannya dia malu-malu. Dia sempat membunyikan gitar itu tetapi tidak diteruskannya. Para relawan mmeberi aplaus untuknya. Kunjungan ini diakhiri dengan pemberian sembako dan alat masak kepada Endi.
Markus Makur, koordinator KKI Manggarai Timur, mengatakan penderita ODGJ adalah rakyat Indonesia. Karena itu, saat merayakan Kemerdekaan Indonesia, mereka juga harus tahu dan berhak merayakannya. Merekalah yang sangat merindukan kemerdekaan itu. mereka rindu bebas dari keterasingan, pasung dan stigma sosial. Jiwa mereka merindukan kemerdekaan yang sejati. Merayakan kemerdekaan bersama penderita ODGJ menyiratkan satu pesan bahwa masih ada-saudara-saudara kita yang belum merdeka.
Perayaan HUT Kemerdekaan RI bukan sebuah seremonial belaka tetapi mengandung makna, bahwa, kemerdekaan itu sejatinya perlu diisi dengan pelbagai upaya liberasi (pembebasan) dan humanisasi yang berbasis pada nilai-nilai universal, seperti kemanusiaan, keadilan sosial, kesetiakawanan sosial dan tepo selira. Sebagaimana tertulis dalam konstitusi kita bahwa salah satu tujuan dari lahirnya Bangsa Indonesia adalah melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Termasuk, melindungi para penderitaan ODGJ.
Dengan demikian keadaan penderita ODGJ semakin manusiawi. Mereka tidak lagi menjadi penghuni gua, seperti manusia nomaden. Mereka juga tidak perlu dipasung. Mereka harus hidup seperti kita karena kemerdekaan itu adalah hak asasi setiap warga negara.
Membangun komunikasi
Pada bagian yang lain, sekretaris Keuskupan Ruteng, Rm. Manfred Habur, Pr menyambut positif kegiatan yang dilakukan relawan KKI. “Apa yang dibuat teman-teman KKI ini sungguh luar biasa. Saya sangat bangga dan terharu. Kegiatan ini sungguh luar biasa.” Beliau berharap agar kegiatan ini menggugah hati semua orang untuk semakin peduli dengan para penderita ODGJ.
Ia juga mengajak para relawan untuk terus membangun komunikasi dengan pelbagai pihak untuk sama-sama memperjuangkan kemerdekaan saudara-saudara kita ini karena mereka memiliki martabat yangs ama dengan mereka. Kita melayani citra Allah yang memiliki hak dan martabat yang sama.
Hari Minggu 9 Agustus, satu minggu sebelum perayaan HUT ke-75 Kemerdekaan, relawan KKI sempat mengunjungi Kasmir Hansi yang dipasung di rumahnya di kampung Papang, Desa Ranamasak, Kecamatan Kotakomba Kabupaten Manggarai Timur.
Akses jalan yang menantang, tidak menyulut semangat relawan yang dikomandani oleh Rm. Hermen Sanusi, Kepala Sekolah SMA Swasta Katolik Pancasila Borong. Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan sekitar satu setengah jam, tibalah kami di Kampung Papang. Di sana kami disambut pasangan suami istir, Bapak Benediktus Pait dan Mama Katarina Ndese.
Kedua orang tua ini dengan ekspresi yang sedih mereka menceritakan keadaan putra sulung mereka yang sedang dipasung di salah satu rumah kecil di samping rumah mereka. Sudah empat tahun dipasung. Kasmir sendiri memiliki seorang istri dan empat orang anak. Anak sulungnya berada di bangku SMP, di salah satu SMP Negri di Kota Borong. Sedangkan istrinya meneruskan usaha dagang yang sudah dirintis oleh Kasmir saat dia masih sehat.
Saat kami hendak memasuki halaman dekat rumah pasung Kasmir, tiba-tiba Kasmir menyapa kami dengan Bahasa Inggris yang fasih. “Good morning, welcome. Ayo masuk, ayo masuk, sambil berteriak dari pasungannya. Saat itu pintu rumah pasungnya belum terbuka. Ayahnya meminta izin agar saya dan teman relawan boleh masuk. Dengan penuh semangat dia menjawab. “Okey, welcome.”
Ketika pintu rumah pasungnya sudah dibuka, kami masuk dan dia menyambut kami dengan ceria dan semangat. Dia kembali berbicara dalam Bahasa Inggris. “Nice to meet you here. I am very happy to see you.” Kemudian disambung dengan Bahasa Indonesia. “ angan pulang cepat. Kita ceritra sampai 10 jam, sampai sore. Permintaan ini mewarnai perjumpaan kami pagi hingga sore itu. di cela-cela percakapan kami, dia selau meminta, jangan dulu pulang. Kita ceritera lagi.
Salah satu kaki Kasmir dipasung. Kondisi badannya kurus, wajahnya pucat dan rambutnya panjang. Di sekitar tempat pasungannya ada botol aqua, ada jerigen air minum. Dia sendiri mengenakan kaos berkerah berwarna putih bercampur hijau dan dibalut dengan jaket biru, seperti milik satu kampus swasta, serta mengenakan sarung. Ketika kami berada lima menit di dekatnya, dia meminta rokok. Kami menyuguhkan rokok. Sepintas terlihat bahwa Kasmir masih agresif dan emosional. Sesekali dia mengacam sepupunya yang ada di dekat saya.
Saat itu orangtuanya menceritakan tentang penderitaan putra sulung mereka. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Kami sudah berjuang. Berbagai pengobatan kami usahakan untuk membantu proses penyembuhannya tetapi penyembuhan itu tak kunjung datang.
Kami sangat berharap agar anak kami ini bisa sembuh kembali. Kasihan anak-anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang. Mereka mssih kecil, belum tahu apa-apa mengenai hidup ini. Demikian juga istrinya. Dia harus berjuang untuk menghidupi keluarganya. Kami berharap ada yang bisa membantu kami untuk membebaskan anak kami dari pasung ini. kami sungguh sedih karena dia sungguh tidak berdaya. Padahal memiliki potensi yang luar biasa,” demikian kisah kedua orangtua sederhana ini.
"Dia ingin mencalonkan diri jadi kepala desa kami ini. Tetapi, cita-citanya tidak terwujud karena dia sakit dan harus dipasung. Kami takut mau melepaskan dia dari pasung karena dia sering jalan sembarang. Dia pernah jalan kaki sampai di Ruteng. Itu yang kami takut.” Saat senja merapat, kami mohon pamit, tetapi Kasmir meminta kami untuk bercerita lagi.
Endi Pora dan Kasmir Hansi adalah pribadi-pribadi yang sedang berjuang untuk kemrdekaan diri dari pasung dan keterasingan bersama. Perjuangan mereka akan terwujud apabila kita peduli dengan mereka dan menghapus stigma dalam diri mereka. Mari kita kibarkan bendera kemanusiaan untuk menghormati martabat saudara-saudara kita, para penderita ODGJ. Mereka butuh kehadiran dan sentuhan kita sebelum kaki dan tangan mereka dibelenggu pasung.
Para konsultan ini sebenarnya memiliki opini-opini, terlebih saat diskusi. Namun, untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan tetap perlu diasah.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hasan mengemukakan pemerintah tak pernah mempermasalahkan tulisan opini selama ini. Hasan menyebut pemerintah tak pernah mengkomplain tulisan opini.
Perlu dibuktikan apakah teror tersebut benar terjadi sehingga menghindari saling tuduh dan saling curiga.
Dugaan intimidasi terjadi usai tayangnya opini yang mengkritik pengangkatan jenderal TNI pada jabatan sipil, termasuk sebagai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Yogi Firmansyah, merupakan aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan dan sedang Kuliah S2 di Magister Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved