Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
GEJOLAK ekonomi politik dalam negeri kembali terkoyak akibat demo masif yang terjadi sepekan ini. Meski menyuarakan aspirasi di jalanan berdampak positif terhadap penundaan pengesahan sejumlah RUU yang diduga kontroversi dan berbalut pasal karet, pastinya dampak sistemik dari demo masif tetap dirasakan. Sebulan ini ada dua demontrasi yang bergaung cukup signifikan, yaitu demonstrasi terkait Papua dan demontrasi masif oleh mahasiswa, Rabu (25/9).
Jika dicermati, sejatinya dampak demo masif Rabu (25/9) bukan hanya berimbas terhadap situasi ekonomi-politik, tapi juga politik-ekonomi. Hal ini menguatkan argumen tentang sinergi antara ekonomi-politik dan politik-ekonomi, bukan hanya kasusnya di negara miskin-berkembang, tapi juga di negara industri-maju.
Fakta membuktikan bahwa demo masif itu berdampak sistemik bukan hanya pada bursa, tapi juga nilai tukar rupiah. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap agar demo masif tidak mencederai stabilitas perekonomian domestik. Kekhawatiran ini tentu beralasan, terutama dikaitkan dengan kondisi perlambatan ekonomi global sehingga apa yang terjadi dengan demo masif dikhawatirkan berpengaruh terhadap arus investasi di Indonesia.
Sementara itu, sisa waktu hingga akhir tahun 2019 diharapkan semua pihak mampu menjaga stabilitas dalam negeri dan konsisten meredam berbagai dampak dari eksternal yang dikhawatirkan mereduksi proyeksi pertumbuhan. Masih ada ancaman gejolak politik dalam negeri, misalnya pelantikan presiden dan wakil presiden terutama bagi yang masih belum puas pascapilpres kemarin.
Kalkulasi
Beberapa catatan di balik dampak demo masif pada Rabu (25/9). Pertama, pengaruhnya atas kinerja bursa. Betapa tidak, demo masif mahasiswa yang menentang revisi UU KPK dan RUU KUHP memberikan pengaruh terhadap kinerja bursa.
Setidaknya, IHSG tercatat di zona merah, yaitu di level 6.131. Padahal, pada 19 September di level 6.245, turun pada 20 September menjadi 6.232 dan juga 21 September, yaitu 6.206 dan menguat pada 24 September di level 6.138 lalu penutupan 25 September menjadi 6.146.
Fluktuasi bursa masih diyakini bersifat temporer dan sejumlah analis bursa berharap pemerintah mampu menuntaskan persoalan seperti yang diminta mahasiswa. Setidaknya harapan itu dapat terbaca dari penegasan Presiden Jokowi dan Ketua DPR Bambang Soesatyo yang akan menunda pengesahan sejumlah RUU kontroversi.
Kedua, yang juga menarik dicermati bahwa gejolak demo sebelumnya, yaitu kasus Papua juga memicu sentimen terhadap kepercayaan investor asing. Tidak bisa disangkal bahwa isu tentang Papua masih sangat krusial dan cenderung kritis sehingga apa yang terjadi di awal September kemarin harus dicermati pemerintah, setidaknya agar tidak berdampak negatif terhadap arus investasi, termasuk realisasi investasi asing.
Sepanjang 2019, arus investasi cenderung melambat. Arus investasi Tiongkok juga melambat dan fakta ini tidak bisa dipandang remeh. Konflik terkait Papua memang membutuhkan pola pendekatan yang berbeda dan komprehensif. Tidak sekadar persuasif melalui pendekatan politik saja, tetapi juga butuh sentuhan sosial-ekonomi yang sistematis. Hal ini penting karena Papua masih menjadi surga tambang, belum lagi daya tarik pariwisata Papua.
Ketiga, imbas dari demo masif ternyata bukan hanya berdampak terhadap kemacetan di jalanan Jakarta, tetapi juga operasional tol dalam kota lumpuh. Selain itu, moda transportasi KRL juga tidak berjalan sesuai yang diharapkan karena faktanya sejumlah KRL berhenti tidak di stasiun pemberhentian terakhirnya. Akibatnya, banyak penumpang yang terjebak kemacetan dan tidak bisa sampai rumah karena semua arus lalin macet.
Tentu realitas ini memengaruhi kerugian material dan nonmaterial dan besaran nominalnya tidak sedikit. Sementara itu, dampak terhadap kecemasan publik juga tidak bisa dihitung secara pasti. Hal ini menguatkan analisis bahwa setiap aksi demo, apalagi yang masif dengan keterlibatan peserta dalam jumlah besar dipastikan berpengaruh terhadap kemacetan di jalanan. Waktu tempuh perjalanan akan semakin lama sehingga merugikan banyak pihak.
Keempat, demonstrasi Rabu (25/9) melibatkan akumulasi mahasiswa dalam jumlahnya yang cukup banyak dan secara tidak langsung menimbulkan kecemasan publik. Setidaknya, memori demo besar-besaran pada Mei 1998 kembali terngiang meski akhirnya menumbangkan rezim Orde Baru. Kekhawatiran itu diperparah beredarnya seruan ajakan demo yang viral di medsos sehingga beralasan jika di sejumlah jalan yang diperkirakan dilalui demo terjadi penutupan pertokoan oleh para pemiliknya.
Ketakutan dijarah tentu masih kuat di benak pemilik pertokoan. Karena itu, bisa dipastikan dampak sistemik penutupan pertokoan tidaklah kecil. Belum lagi mata rantai yang terbelit dari penutupan sejumlah toko tersebut. Kalkulasi sederhana dari penutupan pertokoan bisa merugikan miliaran rupiah dalam sehari, belum lagi imbasnya dari sirkulasi barang-jasa yang tersendat.
Kelima, yang tidak bisa diabaikan dari dampak demonstrasi masif itu ialah perbankan dan perdagangan yang juga terganggu. Meskipun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) meyakini bahwa demo masif Rabu (25/9) belum memberikan efek kuat terhadap operasional perbankan, itu tetap ada pengaruh signifikan.
Argumen yang mendasari karena skala demonya tidak sebesar pada kasus Mei 1998 sehingga LPS berkeyakinan bahwa pemerintah dapat meredam dampak demo dan menegaskan bahwa pengaruh demo kemarin hanya sesaat. Meski demikian, pemerintah tidak bisa lengah dengan terjadinya dua demo pada sebulan terakhir. Apalagi, ada momentum pelantikan presiden dan wakil presiden.
Kepastian iklim sosial politik dalam negeri akan sangat berpengaruh terhadap prospek pertumbuhan. Karena itu, sangatlah beralasan jika ADB memangkas proyeksi laju pertumbuhan di 2019 dari 5,2 menjadi 5,1%, sedangkan versi Bank Dunia 5,1% meskipun versi IMF sebesar 5,2%.
Para konsultan ini sebenarnya memiliki opini-opini, terlebih saat diskusi. Namun, untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan tetap perlu diasah.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hasan mengemukakan pemerintah tak pernah mempermasalahkan tulisan opini selama ini. Hasan menyebut pemerintah tak pernah mengkomplain tulisan opini.
Perlu dibuktikan apakah teror tersebut benar terjadi sehingga menghindari saling tuduh dan saling curiga.
Dugaan intimidasi terjadi usai tayangnya opini yang mengkritik pengangkatan jenderal TNI pada jabatan sipil, termasuk sebagai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Yogi Firmansyah, merupakan aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan dan sedang Kuliah S2 di Magister Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved