Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
PADA 14 September, dunia digemparkan oleh meledaknya kilang minyak Aramco milik Arab Saudi di Abqaiq dan Khurais, kilang minyak terbesar di dunia. Tak kurang dari 18 pesawat nirawak (drone) dan tujuh rudal terlibat dalam serangan itu. Serangan fajar itu mengakibatkan separuh produksi minyak mentah Saudi--sekitar 5% dari pasokan minyak global-- terpotong hingga 5,7 juta barel per hari selama beberapa hari. Harga minyak mentah di pasar global pun melejit hingga hampir 20%.
Insiden itu mengeskalasi krisis di Teluk sejak Mei tahun lalu ketika AS mundur secara sepihak dari Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran. Mundurnya AS itu diikuti tekanan maksimum terhadap Iran untuk memaksanya merundingkan kembali JCPOA yang dipandang cacat oleh pemerintahan Presiden Donald Trump karena tidak mencakup program rudal balistiknya dan perangai buruknya di kawasan.
Milisi Houthi di Yaman yang sedang berperang dengan koalisi Arab Saudi sejak 2015 mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu. Pada tahun-tahun terakhir itu, Houthi dukungan Iran memang melancarkan serangan rudal ke kota-kota Saudi. Namun, kurang mendapat perhatian internasional karena daya rusaknya tidak signifikan. AS dan Saudi lebih yakin serangan 14 September itu dilakukan oleh Iran. Karena pertama, Houthi tidak mempunyai kemampuan melakukan serangan yang demikian canggih, akurat, dan profesional. Selama ini serangan rudal Houthi bisa dicegat sistem rudal antirudal Patriot buatan AS milik Saudi.
Kedua, serangan datang dari utara. Ini cocok dengan klaim Kuwait bahwa pada hari kejadian itu pesawat nirawak (drone) terbang rendah di atas Kuwait menuju selatan. Bisa jadi serangan itu datang dari Irak, sahabat Iran, dan menjadi tuan rumah bagi Hashd al-Shaabi, milisi Syiah yang dilatih dan dipersenjatai Iran atau dari Iran sendiri. Ketiga, Iran sedang bermusuhan dengan AS maupun Saudi dan telah melakukan beberapa aksi serangan tanker pada beberapa bulan terakhir di dekat Selat Hormuz, gerbang lalu lintas puluhan tanker internasional setiap hari.
Pada 12 Mei, empat tanker--milik Saudi, UEA, dan Norwegia--diserang di perairan Uni Emirat saat AS mengerahkan aset militernya berupa kapal induk USS Lincoln, pengebom B-52, dan 1.500 pasukan tambahan ke Teluk untuk memaksimalkan tekanan terhadap Iran. Sebulan kemudian, lagi-lagi tanker Jepang dan Norwegia diserang di perairan Oman. AS dan Saudi menuduh Iran di balik otak serangan itu. Pada 20 Juni, Iran menembak jatuh pesawat nirawak (drone) canggih milik AS di dekat Selat Hormuz. Hampir saja terjadi perang besar ketika itu sekiranya Trump tidak membatalkan rencana serangan balasan pada menit-menit terakhir. Apa motif Iran?
Paling tidak ada tiga pesan yang disampaikan Iran kepada AS dan Saudi. Pertama, memaksa AS mempertimbangkan sanksinya atas Iran dan menaikkan bargaining position Iran vis a vis AS. Beberapa hari mendatang, Presiden Iran Hassan Rouhani akan menghadiri sidang Majelis Umum PBB di New York. Dikabarkan Rouhani akan bertemu Trump di sela-sela sidang umum PBB itu. Maka insiden 14 September diharapkan menjadi political leverage Iran.
Kedua, Teheran ingin Washington dan Riyadh tahu bahwa Iran memiliki teknologi drone dan rudal canggih yang mampu menghancurkan kepentingan Saudi dan AS di mana pun di Timur Tengah bahwa pertahanan Saudi yang dibeli mahal tidak mampu menjaga teritorinya dari serangan Iran. Dalam hal ini, bertujuan memaksa Saudi menerima tawaran Iran untuk menghentikan permusuhan dan kerja sama maritim antarnegara-negara Teluk dengan mengusir kekuatan militer asing, terutama AS, dari kawasan itu. Gagasan ini juga akan disampaikan Rouhani dalam pidatonya di PBB.
Ketiga, Iran ingin AS sadar bahwa perang melawannya akan membakar Timur Tengah, mengingat ia memiliki proksi militer di utara (Irak, Suriah, dan Lebanon), selatan (Yaman), barat (Jalur Gaza), dan timur (Iran). Realitas ini dengan jelas menunjukkan bahwa Saudi dan AS terkepung Iran dari semua sisi. Ini penting untuk memperingatkan AS dan Saudi agar jangan coba-coba menyerangnya.
Nampaknya ketiga pesan itu telah sampai ke Saudi dan AS secara efektif. Itu sebabnya, kendati telah menumpukkan kekuatan militer AS di Teluk, AS dan Saudi masih saja tidak berani menyerang Iran. Maka ada kemungkinan AS pada akhirnya akan memberikan konsesi berupa pengurangan sanksi terhadap Iran sebagai syarat kesediaan Iran merundingkan apa-apa yang menjadi keprihatinan AS.
Sanksi AS telah melumpuhkan perekonomian Iran. Ekspor minyak Iran berkurang hingga 80%, padahal tidak kurang dari 65% pendapatan luar negerinya berasal dari ekspor minyaknya. Mata uang Iran (riyal) terjun bebas dan harga bahan-bahan pokok melejit berkali-kali lipat. Penandatangan JCPOA lain, khususnya Inggris, Prancis, dan Jerman, kendati tetap bertahan pada perjanjian itu, tidak dapat membantu Iran. Instex, mekanisme barter yang dibentuk Uni Eropa, untuk membantu Iran tanpa melanggar sanksi AS, ternyata juga tidak dapat diimplementasikan. Sementara sanksi AS terus berdatangan.
Dalam konteks inilah dapat dimengerti kalau Iran mengambil jalan yang tidak biasa untuk memaksa AS mencabut sanksi sebagai syarat perundingan JCPOA kembali. Upaya-upaya Iran menaikkan bargaining power-nya juga dilakukan lewat jalur lain, yaitu mengurangi komitmennya pada JCPOA dengan mempertinggi pengayaan uranium melewati aras 3,67% dan menambah stok uranium yang telah diperkaya melebihi aras 300 kg seperti yang disyaratkan JCPOA.
Adapun serangan 14 September itu memberi pesan kepada AS untuk segera menyelesaikan isu nuklir Iran. Tidak masuk akal mengharapkan Iran berdiam diri saat ditekan AS. Kalau isu ini tidak segera diselesaikan, tidak usah kaget kalau serangan semacam itu akan terjadi lagi di masa mendatang. Melihat teknologi militer Iran yang cukup maju dan proksinya yang tersebar luas di kawasan, opsi militer bukanlah pilihan untuk menyelesaikan konflik Iran-AS.
Para konsultan ini sebenarnya memiliki opini-opini, terlebih saat diskusi. Namun, untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan tetap perlu diasah.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hasan mengemukakan pemerintah tak pernah mempermasalahkan tulisan opini selama ini. Hasan menyebut pemerintah tak pernah mengkomplain tulisan opini.
Perlu dibuktikan apakah teror tersebut benar terjadi sehingga menghindari saling tuduh dan saling curiga.
Dugaan intimidasi terjadi usai tayangnya opini yang mengkritik pengangkatan jenderal TNI pada jabatan sipil, termasuk sebagai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Yogi Firmansyah, merupakan aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan dan sedang Kuliah S2 di Magister Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved