Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Ginga

Abdul Kohar, Anggota Dewan Redaksi Media Group
22/6/2018 07:53
Ginga
Abdul Kohar, Anggota Dewan Redaksi Media Group(MI/Permana)

PADA 16 Juni 1950 sekitar 200 ribu pasang mata memadati Stadion Maracana, Rio de Janeiro. Hari itu, tuan rumah Brasil bertemu tetangga, Uruguay, di final Piala Dunia. Brasil yang mengejar trofi Jules Rimet (sebutan trofi Piala Dunia dulu) untuk pertama kalinya justru takluk di menit-menit akhir.

Rakyat Brasil menangis. Kese­dihan menjalar ke sekujur negeri hingga Desa Bauru, 600 kilometer dari Maracana.

Rakyat Bauru yang mendengarkan siaran langsung lewat radio mendadak lemas, senyap, tak bersemangat termasuk Dodinho. Putranya, Edson do Nascimento Arantes, yang dipanggil Dico, 9, (Pele kecil), mencoba menenangkan, “Aku akan memenangi Piala Dunia untuk Brasil. Janji.”

Suasana itu terekam dalam film Pele: Birth of Legend. Dari situlah lahir sihir sepak bola indah melalui ginga yang dikenalkan Pele. Sepak bola indah pun begitu disukai di Brasil, bahkan menjalar ke berbagai belahan dunia, hingga Kedoya, tempat saya biasa mengolah kata.

Saya selalu terpikat dengan timnas Brasil. Begitu juga dengan di perhelatan Piala Dunia 2018 Rusia kali ini. Itu karena saya kelewat jatuh cinta kepada akrobat sepak bola ala Ginga, atau kini kerap disebut jogo bonito. Di kaki para pemain Brasil, sepak bola tak cuma serupa tarian indah, tapi sudah menjelma menjadi sihir.

Kalau diamsalkan nyanyian, permainan Brasil kadang seperti Bohemian Rhapsody-nya Queen yang indah dengan not-not agak rumit dan tidak terduga, tapi bisa juga menyerupai Sweet Child O’mine milik Guns N’ Roses yang manis. Bahkan seperti dangdut (Terajana) milik Rhoma Irama yang sedap dibuat bergoyang.

Tadinya saya berharap tim ‘Samba’ kali ini bisa bermain komplet, tidak sekadar mempertontonkan keindahan seni sepak bola, tapi juga menunjukkan ketajaman melalui gol-gol akrobatiknya.

Sayangnya, harapan saya masih bertepuk sebelah tangan. Di laga perdana kontra Swiss, sihir ginga tak tampak.

Padahal, di babak kualifikasi dan laga uji coba, di bawah asuhan Adenor Leonardo Bacchi atau yang akrab dipanggil Tite, performa Brasil luar biasa. Mantan pelatih klub Corinthians tersebut sanggup membawa Brasil lolos ke Rusia dengan meyakinkan. Mereka cuma kalah 1 kali dalam 18 laga serta 12 kali menang dan 5 kali imbang. Mereka sanggup mencetak 41 gol dan cuma kebobolan 11 kali.

Tidak mengherankan bila entrenador Manchester United, Jose Mourinho, menilai Brasil kini tak cuma mengandalkan talenta besar, tapi juga didukung fisik dan taktik yang oke. “Mereka merupakan tim yang bisa bertahan dengan baik, bisa mencetak banyak gol dengan dasar dukungan yang bagus,” ucap Mou kepada ESPN, seusai Selecao lolos ke Rusia.

Akan tetapi, entah kenapa, saya masih kerap merindukan timnas Brasil seperti era Paulo Roberto Falcao dkk di Piala Dunia 1982. Menurut saya, tim Brasil saat itu mempertontonkan ginga secara nyaris sempurna. Falcao, Zico, juga sang dokter gigi Socrates membuat bola hampir selalu lengket di kaki mereka.

Di bawah besutan para pelatih pasca-Piala Dunia 1982, termasuk saat ditangani Carlos Dunga dan Luiz Felipe Scolari, ada yang hilang dari DNA tim ‘Samba’. Tite, pelatih berusia 56 tahun, itu hendak memulihkan kebanggaan negaranya. Ia membenahi kekuatan Brasil setelah kalah telak 1-7 dari Jerman pada semifinal Piala Dunia 2014 di bawah asuhan Dunga.

“Seorang pelatih harus tahu me­sinnya. Berapa banyak yang bisa dibutuhkan dan cara kerjanya. Tahu bagian mana yang bisa Anda pacu lebih keras,” kata Tite saat ditanya ihwal resepnya ‘menyulap’ Selecao.

Dalam rentang 18 bulan, Tite telah mengembalikan spirit yang kian lama menghilang di tim Brasil. “Yang paling memesona saya ialah Brasil pada 1982. Mereka bermain hampir seperti tanpa berpikir lagi (semuanya mengalir),” kata Tite.

Klop dengan selera saya. Akan tetapi, Tite juga tahu persis bahwa tim Brasil yang dari sudut kualitas permainan, keterampilan individu, dan daya pikat yang begitu hebat pada Piala Dunia 1982 bisa ter­singkir.

Hal itu juga barangkali yang membuat Tite masih berpikir bahwa mewujudkan tim Brasil seperti era Zico dan kawan-kawan 1982 bukan cara terbaik dalam sepak bola modern sekarang. Ia tetap terusik dengan pakem ‘harus ada keseimbangan antara menyerang dan bertahan, serta tahu kapan main cantik dan tampil efektif’.

Karena itu, saya juga mesti menyisakan ruang ‘kekecewaan’ jika toh pada akhirnya Tite memilih sepak bola efektif di Piala Dunia kali ini. Tanda-tanda ke arah itu mulai tampak saat laga perdana kontra Swiss.

Apa boleh buat, melulu bermain cantik belum pernah teruji membuahkan hasil juara Piala Dunia. Tidak buat timnas Brasil di 1982, juga Timnas Belanda di era Johan Cruyff.

Saya masih berharap Tite, melalui Neymar dkk, sanggup mencetak sejarah di pesta bola Rusia 2018 kali ini. Kalau pun tidak juara, ya minimal bisa sampai partai puncak, agar dahaga saya akan akrobat ciamik ginga dan indahnya jogo bonito terpenuhi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya