HUJAN gerimis turun begitu menginjakkan kaki di kawasan Gua Kreo yang masuk wilayah Desa Wisata (Dewi) Kandri di Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang pada Kamis (2/3/2023) sore. Lokasi tepatnya ke arah selatan dari Bundaran Tugu Muda sejauh 13 kilometer (km) atau ditempuh sekitar 30-45 menit dengan mobil.
Rinai hujan ternyata malah semakin menambah syahdu suasana. Suhu udara bertambah sejuk karena berada di perbukitan Gunung Krincing dengan ketinggian sekitar 250 meter di atas permukaan laut (mdpl) atau di bagian atas Kota Semarang.
Begitu berjalan dari parkir kendaraan menuju Gua Kreo, banyak muncul monyet ekor panjang (macaca fascicularis). Layaknya menyapa para pengunjung yang datang, monyet berusaha beriteraksi dengan mereka yang datang.
Pengelola juga berusaha mengajak monyet ekor panjang untuk menghibur para wisatawan. Salah satunya dengan memanjat pohon pinang yang di atasnya telah diberi makanan.
Di dalam cerita legenda, monyet ekor panjang yang jinak itu bisa berkomunikasi dengan manusia seperti dinarasikan dalam kisah Sunan Kalijaga.
Ketika itu, Sunan Kalijaga sedang membawa kayu jati melewati sungai, bertemu dengan empat ekor monyet warna-warni ada merah, putih, kuning, dan hitam. Sebetulnya, empat ekor monyet itu menawarkan untuk membantu membawakan kayu.
Tetapi Sunan Kalijaga menolak. Niat baik monyet akhirnya dibalas kebaikan oleh Sunan Kalijaga. Salah satu dari Walisongo tersebut meminta supaya monyet tetap berada di situ sambil mengucap “Mangreho” yang artinya adalah perintah untuk menjaga atau memelihara.
“Mangreho berarti perintah supaya memelihara. Namun, lambat laun warga menyebutnya sebagai Gua Kreo. Di lokasi itulah, sampai sekarang ada ribuan ekor monyet. Dan tempat tersebut merupakan petilasan dari Sunan Kalijaga. Saat kekinian, upaya untuk menjaga kawasan setempat juga terus dilakukan ,”jelas Danu Kasno ketika menceritakan legenda Gua Kreo kepada para pengunjung.
Gua Kreo itu berlokasi di sebelah persis Waduk Jatibarang yang juga merupakan objek wisata. Waduk setempat dilengkapi dengan perahu wisata. Para pengunjung dapat berkeliling waduk dengan waktu sekitar 15 menit. Murah, satu hanya Rp100 ribu yang dapat dinaiki empat penumpang.
Di sepanjang perjalanan mengelilingi waduk, sopir perahu motor kerap beratraksi dengan membelokkan perahunya. Tak ayal, teriakan-teriakan terdengar nyaring terutama dari pengunjung perempuan.
“Biasa, kalau saya mencoba untuk membelokkan perahu, biasanya penumpang yang perempuan berteriak-teriak,” ungkap Ismanto, seorang sopir perahu motor yang telah bekerja selama 10 tahun.
Tak perlu takut, soal safety juga sudah diperhatikan oleh pengelola, karena telah disediakan pelampung. Tanpa pelampung, tidak akan berangkat. Bagi pengunjung harus siap membidik lokasi-lokasi yang menarik. Apalagi, terlihat juga jembatan yang menghubungkan ke Gua Kreo tempat ribuan monyet berada.
Rasanya belum lengkap jika hanya Gua Kreo dan Waduk Jatibarang. Silakan juga mencumbui Dewi Kandri dengan ikut merasakan sensasi wisata edukasi yang telah ditata cantik oleh Pokdarwis Pandanaran.
Ada Omah Pintar Petani di mana para pelaku wisata siap untuk mengajari para wisatawan untuk bertani. Agar lebih mengena, maka Pokdarwis juga menyediakan homestay dengan konsep live in. Artinya, wisatawan yang datang hidup bersama tuan rumah atau pemilik homestay.
“Ini adalah konsep yang unik. Ada interaksi antara tamu dengan tuan rumah. Jadi, saya sebagai pemilik homestay juga harus dapat berkomunikasi dengan tamu. Sudah banyak yang datang ke sini, baik siswa maupun mahasiswa. Mereka live in. Ada wisata edukasi serta hidup di homestay bersama tuan rumah,”kata Slamet, seorang pemilik homestay.
Bagi masyarakat di Kandri, sudah tidak merasa canggung lagi kalau ada tamu yang datang. Bahkan, mereka juga memperlakukan tamu seperti keluarga. Sehingga kadang minuman atau makanan apapun ditawarkan kepada tamu yang menginap. “Ya beginilah homestay di sini, melayani sepenuhnya kepada tanu dengan senang hati,”ujar Slamet.
Kampung Kandri cukup asri, apalagi di kelurahan setempat masih terdapat beberapa sendang. Setidaknya ada tujuh sendang di antaranya adalah Sendang Jambu, Gede, Gawe, Setanjung, Getas, Kali Kidul Wedok dan Kali Kidul Lanang. Konon, kalau mencuci muka di sendang-sedang setempat akan membuat awet muda.
Bukti keasrian lainnya ada di Omah Alas, di mana ada satu rumah dengan halaman luas di tengah pepohonan yang tinggi. Pohon yang ada di situ adalah durian dan rambutan. Sayang, sewaktu datang sudah selesai musim panen duriannya.
Malam di Kampung Jawi
Kecamatan Gunungpati tak hanya memiliki Dewi Kandri, tetapi juga Kampung Jawi yang tepatnya berada di Kalialang Lama, Kelurahan Sukorejo. Dari namanya, jelas tergambar mengenai suasana kampung. Benar saja, begitu sampai di Kampung Jawi ada nuansa pedesaan yang ditawarkan. Bentuknya adalah halaman yang cukup luas, dengan dikelilingi oleh para pedagang makanan.
Sebelum masuk ke kawasan kuliner Kampung Jawi, maka pengunjung diwajibkan menukarkan uang dengan kepeng. Satu kepeng senilai Rp3.500. Dengan alat tukar kepeng itu, bisa membeli berbagai macam menu khas yang disajikan.
Memasuki kawasan kuliner Kampung Jawi, seperti berada di kampung tempo dulu. Memang ada lampu dari listrik, tetapi dibuat temaram. Ada lampu-lampu senthir yang dipasang di meja-meja tempat makan. Lampu minyak tersebut menjadi bagian dari sensasi pedesaan yang ditawarkan Kampung Jawi.
Bagi pengunjung yang datang dan telah menukarkan dengan kepeng, dapat berkeliling memilih menu. Yang favorit salah satunya adalah minuman yang begitu beragam, mulai dari minuman dingin seperti berbagai jenis es serta minuman hangat, terutama rempah-rempah.
“Di sini ada sego pecel, sego megono, sego koyor dan lauk seperti beragam sate-satean serta gorengan,”kata Heri Susanto, salah seorang pengunjung.
Aliran air Sungai Kripik yang samar-samar terdengar mampu berdampingan dengan suara musik yang live ditampilkan oleh para musisi.
Sambil menikmati teh jahe hangat setelah makan sego koyor, Heri merasa bisa melepas penat setelah seharian bekerja. “Di sini memang berbeda. Tak sekadar makanannya yang beragam dan enak dengan harga terjangkau. Tetapi suasananya membuat rileks, apalagi ada live musik,”ungkap Heri.
Penggagas Kampung Jawi sekaligus Ketua Pokdarwis, Siswanto, menceritakan untuk merealisasikan Kampung Jawi tidaklah mudah. “Bahkan, saat awal-awal, hanya istri saya dibantu anak-anak yang berjualan,”katanya.
Siswanto menginisiasi Kampung Jawi untuk mengubah kampungnya melalui seni dan budaya. Sosialisasi terus dilakukan, tetapi banyak kendala. Sekitar tahun 2017, ketika Pemkot Semarang mencetuskan kampung tematik, menjadi motivasi untuk menguatkan dirinya membangun Kampung Jawi.
Kegigihannya menemukan jalan. Apalagi setelah Pemkot Semarang memberikan bantuan revitalisasi. Kini telah berubah menjadi pusat kuliner di Kota Semarang. Meski cukup jauh dengan melewati jalanan yang kurang mulus, namun tetap menjadi magnet bagi para pengunjung.
Siswanto tetap tidak lupa visi misi awal, yakni nguri-uri seni dan budaya. Maka, tidak saja Kampung Jawi sebagai pusat kuliner, melainkan juga sebagai tempat melestarikan budaya. Tak heran kalau di Kampung Jawi ada seperangkat gamelan. Warga boleh untuk belajar seni di sini baik gamelan maupun karawitan.
Gerakkan Ekonomi Warga
Kampung Jawi yang berada di Kelurahan Sukorejo, telah menjadi pusat ekonomi warga. Di lokasi setempat, ada 18 penyedia kuliner khas. Secara total ada lebih dari 50 orang yang bekerja menjadi pelaku usaha kuliner di Kampung Jawi.
Salah satunya adalah Rosidin yang menjajakan Minuman Jahe Rempah “Ben Jos”. Dia tampak begitu sibuk untuk meracik berbagai bahan untuk membuat minuman yang dipesan oleh pengunjung.
“Saya membuat dengan bahan-bahan yang fresh. Pembuatannya juga di sini, sehingga pengunjung dapat melihat proses pembuatannya. Harga minuman beragam. Mulai dari satu kepeng hingga lima kepeng, tergantung jenis minumannya,”ungkap Rosidin.
Dia mengatakan dalam semalam, omsetnya berkisar antara Rp500 ribu hingga Rp2,5 juta. “Omset tergantung pengunjung. Tentu saja, ada peningkatan cukup tinggi saat akhir pekan atau hari libur. Lumayan untuk tambahan pendapatan,”ujarnya.
Penggagas Kampung Jawi mengakui kalau saat sekarang orang yang terlibat di Kampung Jawi lebih dari 50 orang. Meski jumlah lapak hanya 18 lokasi. Tetapi dalam satu lapak bisa ada 2-4 orang yang bekerja. “Kalau dihitung-hitung, uang yang beredar cukup lumayan, bisa sampai Rp10 juta dalam semalam. Tentu saja, dengan keberadaan Kampung Jawi mampu meningkatkan perekonomian warga. Apalagi, seluruh pedagang adalah warga lokal,”tambahnya.
Di Gunung Pati, lokasi lainnya yang meningkat pendapatannya adalah warga di Desa Wisata Kandri atau biasa disebut Dewi Kandri. Masyarakat kecipratan manfaat secara ekonomi. Ada sekitar 100-an rumah di lokasi setempat yang menyediakan homestay untuk pengunjung.
"Di kampung ini ada seratusan lebih rumah warga yang dipakai untuk homestay. Termasuk di tempat saya. Tarif menginap tidak terlalu mahal, hanya Rp150 ribu per malam. Kamarnya sederhana, tetapi kami jamin bersih. Termasuk kamar mandinya,”kata Slamet salah seorang pemilik homestay di Kandri.
Dewi Kandri yang menjadi penggerak ekonomi warga bukanlah kaleng-kaleng. Sub Koordinator Informasi Budaya dan Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang Kariswanto mengkonfirmasi dengan adanya desa wisata, maka perekonomian warga meningkat.
“Di Kandri saja, setiap tahunnya pemasukan bisa mencapai sekitar Rp2 miliar. Sebab, setiap akhir pekan, banyak yang datang ke Kandri,”jelasnya.
Kelurahan Kandri merupakan salah satu bagian Kawasan Strategis Mijen Gunungpati dari pengembangan wilayah wisata di Kota Semarang. Lainnya di antaranya adalah kawasan Semarang Tengah untuk kategori heritage dan mice dan kawasan Semarang barat untuk pengembangkan konservasi dan keanekaragaman hayati.
Berada di wilayah pusat ibu kota provinsi Jawa Tengah, Semarang diciptakan ketika Tuhan sedang bahagia. Kebahagiaan menjelma pada wajah penuh suka para wisatawan yang datang.
Itulah mengapa, Semarang harus terus dipertahankan menjadi tempat yang nyaman. Bagi warga, pekerja yang datang maupun wisatawan serta semuanya. Dengan konsep sustainable tourism, semuanya mendapatkan keuntungan secara berkelanjutan. Semarang Sekarang, siapa ikut? (N-3)
Baca Juga: Pelabuhan Tobilota dan Wailebe di Pulau Adonara yang Kurang Perhatian Pemerintah