Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
SETELAH Presiden Joko Widodo menyatakan akan menyetop ekspor crude palm oil (CPO), minyak goreng (migor) dan bahan baku minyak goreng, harga tandan buah segar (TBS) sawit petani yang dikirim ke pabrik kelapa sawit sontak anjlok. Penurunan harga itu bahkan terus melorot hingga 60% dari harga semula.
Penurunan harga itu terus berlanjut saat Presiden benar-benar resmi menyetop ekspor itu pada 28 April. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga merinci bahwa larangan ekspor itu berlaku untuk produk Crude Palm Oil (CPO), Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO), Refined, Bleached and Deodorized Palm (RBDP) Olein, dan Used Cooking Oil.
Menurut Asosiasi Petani Sawit Sawitku Masa Depanku (Samade), kebijakan
penghentian ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng membuka mata petani kelapa sawit swadaya, tentang permainan pada bisnis emas hijau kelapa sawit.
"Kebijakan larangan ekspor ini telah membuka mata kami para petani
sawit sawadaya tentang permainan yang terjadi selama ini," kata
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Samade Abdul Aziz, kepada Media Indonesia, Jumat (29/4).
Aziz menerangkan, di dalam negeri ada tiga level pengusaha
yang bersentuhan dengan CPO. Pertama adalah pengusaha yang punya PKS,
kebun dan refinery (pabrik pemurnian). Kedua, pengusaha yang punya
kebun dan punya PKS. Ketiga, pengusaha yang cuma punya PKS.
"Pengusaha level satu dan dua mayoritas punya petani mitra. Ada yang
berbentuk plasma maupun KKPA. Ada juga kelompok petani tertentu yang
setelah melalui proses panjang, kemudian dapat bermitra dengan
perusahaan level satu atau level dua tadi," beber Aziz.
Lalu pengusaha level ketiga, karena tidak punya kebun sendiri, bahan
baku pabriknya 100% bergantung pada pasokan dari tengkulak. Di
lapangan, tengkulak punya sejumlah pengepul yang berhubungan langsung
dengan petani swadaya.
Dari ketiga model pengusaha tadi, pengusaha level pertama lah yang
menjadi penentu. Sebab, mereka punya pabrik.
"Sebetulnya, mayoritas CPO dalam negeri sudah diolah di pabrik.
Kalaupun ada CPO yang diekspor, itu juga bisnis perusahaan yang punya
pabrik tadi. Bisa jadi CPO yang diekspor itu untuk pelanggannya yang
memang butuh CPO, atau ke perusahaan pengirim yang juga ada
di luar negeri," terang Aziz.
Aziz kemudian menyodorkan data bahwa pada 2021, ekspor CPO hanya
sekitar 2,5 juta ton.
"Ini sedikit ketimbang produksi CPO dan CPKO kita yang mencapai 52
juta ton. Kenapa hanya sedikit? Pertama, lantaran sudah lebih banyak
diolah menjadi turunan lain. Sebetulnya ada 26 turunan yang rutin
diekspor. Alasan kedua kenapa ekspor CPO sedikit, lantaran pengusaha
keberatan dengan pungutan ekspor (PE) yang sangat besar. Mencapai
lebih dari USD300 per ton," katanya.
Lalu apa kaitannya dengan kondisi sekarang? Kalau berdasarkan data
yang ada, setop ekspor mestinya malah membikin harga TBS semakin
tinggi. Sebab setop ekspor akan membuat kebutuhan minyak sawit dunia
meningkat.
"Selama ini penentu harga TBS petani adalah harga CPO dunia. Tapi
kenapa setop ekspor justru membuat harga TBS terjerembab?" ujar Aziz
dengan tanda tanya besar.
Sebenarnya, jelas Aziz, harga TBS yang terjerembab itu hanya milik
petani swadaya. Harga TBS petani mitra tetap normal. Kenapa ini bisa
terjadi? Pertama bisa jadi ada penghentian pasokan dari pengusaha
level tiga demi mengamankan pasokan CPO pengusaha level satu dan dua.
"Atau, bisa pula spekulasi pengusaha level tiga yang ingin
memanfaatkan situasi. Soalnya selama ini kan pabrikmenerima semua
produksi CPO yang ada. Sebab kapasitas terpasang pabrik mencapai 54
juta ton per tahun. Sementara produksi CPO dan CPKO hanya 52 juta ton
per tahun," kata Aziz mengurai.
Kalaupun terjadi penghentian ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng,
lebih dari 20 turunan lain masih bisa diekspor.
"Jadi, komoditi yang bisa diekspor masih banyak. Lagi pula kebutuhan
dalam negeri kita juga sudah tergolong bengkak. Mencapai 18 juta ton,
malah lebih. Sebab untuk kebutuhan pangan saja sudah 12 juta ton,
belum lagi untuk biodiesel dan oleo kimia," katanya.
Apakah benar terjadi permainan atas harga TBS ini, menurut Aziz, tentu
akan lebih baik aparat penegak hukum (APH) turun tangan. "Tidak sulit
kok bagi APH mencari tahu ini. KPPU juga sebaiknya turun untuk mencari
tahu sekental apa monopoli yang terjadi di industri sawit ini," pinta
Aziz. (N-2)
Bupati Kolaka Amri Djamaluddin mengungkapkan kehadiran Smelter Merah Putih yang dibangun putra bangsa, PT Ceria Corp, merupakan sebuah pencapaian besar di Kabupaten Kolaka.
Bank Mandiri dan Ceria Corp memperkuat sinergi hilirisasi lewat ekspor perdana Low-Carbon Ferronickel (FeNi) dari smelter Merah Putih di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Ilham Akbar Habibie mengingatkan Indonesia tengah menghadapi ancaman serius berupa tsunami barang impor.
Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, secara simbolis melepas ekspor bus perdana dari Karoseri Laksana, Kabupaten Semarang, ke Sri Lanka pada Rabu (2/7)
KEK Industropolis Batang menutup semester pertama 2025 dengan membukukan nilai investasi sebesar Rp1,1 triliun. Angka itu diperoleh dari masuknya dua tenant strategis.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total nilai ekspor Indonesia periode Januari hingga Mei 2025 mencapai US$111,98 miliar, naik 6,98% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved