Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Harapan Besar di Balik Perubahan Kedua UU Otsus Papua

Marselinus Kellen
14/7/2021 13:05
Harapan Besar di Balik Perubahan Kedua UU Otsus Papua
Wakil Ketua Pansus RUU Perubahan Kedua UU Otsus Papua, Yan P Mandenas menandatangani berkas di depan sejumlah menteri, di ruang sidang DPR(Dok/Pribadi)

PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 21 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua telah masuk pada tahap pengambilan keputusan. berbagai dinamika telah dilalui, baik
pro maupun kontra terkait Perubahan Kedua terhadap UU ini.

Anggota DPR RI asal Papua Yan P Mandenas, mengakui kondisi itu merupakan hal yang biasa dalam konteks bernegara. Yan juga mendapat kepercayaan untuk menjadi Wakil Ketua Pansus RUU Perubahan Kedua UU No 21 Tahun 2001.

"Perubahan yang dilakukan sudah melalui mekanisme yang konstitusional.
Sejak Pansus dibentuk telah dilakukan berbagai agenda konsultasi dan komunikasi publik, khususnya dengan pihak-pihak yang berkepentingan," tambahnya.

Selain melibatkan pemerintah daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat, mereka juga menampung aspirasi dengan mengundang elemen mahasiswa, pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat Papua. Berbagai konsultasi tersebut dimaksudkan untuk meminta pendapat dan masukan terkait agenda perubahan atas UU ini.

Selain elemen masyarakat, menurut Yan Mandenas, Pansus juga telah
mengundang beberapa kementerian terkait pada rapat dengar pendapat umum
guna mendengar pikiran dan pendapat mereka. Harapannya, ke depan akan ada sinkronisasi program lintas kementerian dengan pelaksanaan UU Otonomi Khusus di Papua.

"Publik juga pasti tahu bahwa kami selama ini sangat terbuka kepada semua komponen elemen masyarakat Papua untuk memberikan masukan terkait agenda perubahan ini," kata dia.

Bagi Yan P Mandenas, pada prinsipnya, agenda perubahan UU Otsus Papua ini adalah bagian dari kolaborasi bersama, baik pemerintah maupun DPR-RI dalam perumusannya. Pemerintah, melalui Kementerian Dalam Negeri, awalnya hanya akan merevisi tiga pasal yakni, pasal 1, pasal 34 dan pasal 76.

Namun, berdasarkan masukan dan pendapat dari Pansus serta melihat dinamika di masyarakat, pemerintah akhirnya membuka diri dan menetapkan perubahan terhadap 19 Pasal, yakni tiga pasal usulan pemerintah dan 16 pasal di luar usulan pemerintah.

Terkait penambahan jumlah pasal yang diubah, dia mengakui bahwa baik Pemerintah dan DPR-RI telah terbuka dan mendengar aspirasi dari masyarakat. Meskipun, ia juga mengakui bahwa tidak semua aspirasi yang muncul itu bisa diakomodir, tetapi paling tidak ada beberapa
aspirasi yang bisa diterima.

"Itu menunjukkan bahwa ada komitmen serta usaha bersama yang kuat dari
negara untuk berpihak pada kepentingan dan persoalan substansial orang asli Papua," urainya.

Yan memberikan contoh dalam hal afirmasi di bidang politik. Bahwa melalui perubahan kedua ini, ked epan partisipasi politik orang asli
Papua, melalui jalur pengangkatan akan berlaku hingga level kabupaten. Jika dahulu anggota legislatif melalui mekanisme pengangkatan hanya ada di provinsi, maka pasca perubahan ini, sistem itu akan berlaku juga di kabupaten.

Baginya, selain memberikan perlindungan bagi hak politik orang asli Papua, kebijakan ini juga akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada orang asli Papua untuk berpartisipasi dalam bidang legislatif. Karena itu, akan ada perubahan nama/nomenklatur dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK). Ini berlaku di semua provinsi di Papua.

Selain di bidang politik, lanjut Yan P. Mandenas, ada kebijakan baru di
bidang pendidikan dan kesehatan yang berhasil didorong oleh pihaknya.
Fraksi Partai Gerindra tempatnya bergabung berhasil memasukan ayat yang mengatur mengenai adanya alokasi anggaran dari dana otonomi khusus untuk membiayai hak pendidikan orang asli Papua hingga perguruan tinggi. Di dalamnya juga termasuk alokasi khusus bagi pembiayaan kesehatan orang asli Papua.

"Kita berharap pembiayaan khusus pada kedua sektor ini akan terus memacu pembangunan kualitas manusia orang asli Papua di masa depan," tambahnya.

Di bidang ekonomi pun, dikemukakan Yan, akan ada peningkatan
dana otonomi khusus, yang semula hanya 2% menjadi 2,25% dari Dana Alokasi Umum (DAU). Selain itu, ada perbaikan dalam tata kelola pemerintahan, yakni adanya penekanan pada aspek perbaikan koordinasi dan peningkatan pengawasan.

"Adapun pengawasan akan dilakukan DPR, DPD, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) RI, dan Perguruan Tinggi. Pansus juga mendorong agar ke depan
pembangunan ekonomi di Papua diprioritaskan pada pembangunan di level
kampung, mengingat orang asli Papua banyak berada di wilayah tersebut," jelasnya.

Yan juga menyebutkan, akan ada pembentukan suatu badan khusus yang
berada di bawah Presiden guna melaksanakan sinkronisasi, harmonisasi,
evaluasi dan koordinasi mengenai pelaksanaan otonomi khusus Papua. Dia
berharap melalui badan ini, pelaksanaan otonomi khusus dan pembangunan di Papua akan semakin terintegrasi dan terarah.

Selain beberapa poin penting tersebut, dia menambahkan Pansus
bersama pemerintah juga telah menyepakati beberapa hal lain, misalnya,
adanya syarat bagi anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) harus bukan dari
anggota partai politik. Begitu juga dengan syarat bagi anggota legislatif dari jalur pengangkatan.

Kedua jalur khusus bagi orang asli Papua ini diharapkan bebas dari kepentingan partai politik, sehingga keduanya bisa bekerja secara bebas dan mandiri.

"Berbagai upaya sudah kami maksimalkan dalam mengawal proses Perubahan
Kedua UU Otsus ini. Namun, kita juga mengakui dan sangat menyayangkan kalau selama proses pembahasan, hanya Pemerintah Provinsi Papua Barat, yang aktif melakukan komunikasi ke pimpinan partai politik di Jakarta. Sebaliknya, banyak elemen masyarakat Papua, yang lebih banyak berbicara dan berkoar di luar. Padahal, komunikasi yang intens oleh pemerintah daerah kepada pimpinan partai politik akan berperan penting dalam mendorong masuknya aspirasi masyarakat pada agenda perubahan," tandasnya.

Alumnus Universitas Cenderawasih ini menuturkan, kondisi itu
melahirkan kesan seakan upaya dan niat baik pemerintah melalui agenda
perubahan tidak mendapat respon yang baik dari pemerintah daerah dan
masyarakat. Padahal, substansi perubahan UU Otonomi Khusus Papua ini adalah harapan sekaligus masa depan orang asli Papua.

Sebab, selain pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi Papua pun terkesan mengabaikan tanggung jawabnya untuk mengawal agenda perubahan kedua UU No 21 Tahun 2001. Padahal, aspirasi rakyat Papua melalui suara pemerintah provinsi sangat dibutuhkan dalam rangka suksesnya proses perubahan.

Bahkan, lanjut dia, ironisnya ada lembaga yang lebih sibuk dengan agenda gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan menuduh pemerintah dan DPR-RI melanggar konstitusi. "Padahal, kami bekerja sesuai mekanisme dan aturan."

Yan menegaskan bahwa proses Perubahan Kedua UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, sudah hampir mencapai tahap akhir.

"Sebentar lagi akan disahkan menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna, karena itu kami di Pansus sangat berharap semua pihak untuk menyudahi polemik maupun pertentangan pendapat mengenai agenda perubahan ini. Mari kita kawal bersama, supaya setelah disahkan, pelaksanaannya oleh pemerintah berjalan sungguh-sungguh sesuai dengan harapan dan kepentingan kita orang asli Papua," tegasnya. (N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : NUSANTARA
Berita Lainnya