Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Kaharingan Bergantung Alam

(Denny Susanto/N-2)
07/9/2020 01:10
Kaharingan Bergantung Alam
TRADISI PENGANUT KAHARINGAN: Warga berfoto seusai membersihkan Balai Adat Ajung suku Dayak Pitap di kaki Pegunungan Meratus, Kalsel(MI/DENNY SUSANTO)

HARUN melupakan usianya. Meski sudah berumur 75 tahun, pria itu masih giat menggerakkan perkakas kebersihan di tangannya.

Siang itu, bersama beberapa warga, ia membersihkan Balai Adat Desa Ajung, di Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Desa ini terletak di kaki Pegunungan Meratus. Sang balian atau tokoh agama desa itu memimpin persiapan menjelang aruh bawanang, upacara adat yang digelar setelah panen ladang.

Panen diperkirakan akan tiba pada akhir September ini. Harun juga kepala balai adat. “Aruh harus kami lakukan untuk mensyukuri hasil panen,” katanya sambil memeriksa perkakas ritual di ruang induk balai. Ajung berjarak 48 kilometer dari Paringin, ibu kota Kabupaten Balangan. Lewat jalur darat, desa wisata itu bisa dicapai kurang dari 2 jam. Tak terlalu sulit karena saat ini jalannya cukup mulus.

Desa ini dihuni sekitar 187 keluarga suku Dayak Pitap, salah satu bagian dari masyarakat Dayak Meratus atau Dayak Bukit. Mayoritas masih memegang teguh agama leluhur mereka, yakni Kaharingan. Namun, di dalam KTP, mereka merelakan tercatat sebagai penganut Hindu Kaharingan. Saat ini, populasi warga suku Dayak di Kalimatan Selatan ditaksir sekitar 60 ribu jiwa lebih.

Mereka tersebar di kaki Pegunungan Meratus hingga perbatasan dengan Kalimantan Tengah. Warga itu diam di delapan kabupaten, yakni Sungai Tengah, Balangan, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Kotabaru, Tanah Laut, Tapin, dan Banjar.

Masyarakat suku Dayak atau sering disebut komunitas masyarakat adat ini berhimpun di bawah naungan balai adat. Badan Pusat Statistik mencatat adanya 32 balai adat yang tersebar di wilayah Kalimantan Selatan. Ajung salah satunya.

Meski sebagian telah membaur dengan kehidupan urban, warga Dayak tetap menjunjung budaya nenek moyang mereka. Salah satunya Kaharingan sebagai kepercayaan mereka. “Sebenarnya, masyarakat Dayak yang masih mempertahankan agama Kaharingan murni tinggal sedikit. Itu pun tersisa kelompok tetua yang tinggal di pedalaman Pegunungan Meratus,” kata Wakil Bupati Hulu Sungai Tengah yang juga tokoh Dayak, Berry Nahdian Forqan.

Sebagian lainnya, lanjut dia, sudah masuk Islam, Kristen, atau Hindu. Beragam alasan dan kepentingan. Pindah agama, tutur dosen sejarah dari Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Mansyur, terjadi karena warga Dayak terjepit oleh perubahan sosial dan lingkungan. “Walaupun kepercayaan lama ditinggalkan, praktik upacaranya tetap digelar.” Maraknya eksploitasi sumber daya alam memaksa orang Dayak berubah.

Alam ialah basis kepercayaan Kaharingan. Kerusakan alam mengancam kepunahan Kaharingan. Pasalnya, kepercayaan itu dekat dengan perlakuan terhadap alam, mulai merambah hutan, berhuma, berburu, dan upacara adat. (Denny Susanto/N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik