Headline

Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.

Jawa Timur Masih Punya PR Soal Stunting

Mediaindonesia.com
11/8/2020 14:10
Jawa Timur Masih Punya PR Soal Stunting
Seorang bidan (kanan) menyuntikkan imunisasi pada bayi usia dua bulan di Pamekasan, Jawa Timur, untuk mencegah stunting.(ANTARA/SAIFUL BAHRI )

GENERASI milenial sebelumnya diyakini memiliki gaya pengasuhan anak yang berbeda ketimbang generasi sebelumnya.  Sesuai dengan karakteristik mereka yang melek teknologi dan aktif mencari informasi, para ibu milenial juga diprediksi dapat mengasuh lebih baik ketimbang generasi sebelumnya.

Sayangnya, kelebihan itu ternyata tidak lantas menyelesaikan permasalahan stunting di Indonesia yang masih berada pada angka 30,8%. Merujuk pada ambang batas yang ditetapkan WHO (20%), Indonesia masih tergolong sebagai negara dengan prevalensi stunting yang tinggi.

Baca juga: Angka Stunting di Indonesia Masih Lebih Tinggi dari Toleransi WHO

Salah satu penyebabnya adalah, pengaruh iklan, promosi, ataupun gaya hidup yang cenderung instan dan praktis. Tidak mengherankan jika para ibu milenial cenderung konsumtif, berpikir instan dan tanpa mempertimbangkan kebutuhan dasar anak. Bagaimana ibu milenial dapat berperan dalam pembangun Generasi Emas 2045 menjadi pokok bahasan dalam webinar nasional Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama PP Muslimat NU yang diselenggarakan melalui aplikasi zoom, Selasa (11/8).

Ketua Umum PP Muslimat NU Hj Khofifah Indar Parawansa yang hadir dalam kesempatan itu mengatakan ibu milenial sangat berperan dalam menentukan masa depan bangsa, terutama saat Indonesia memasuki satu abad kemerdekaan, pada  2045 mendatang. Pada masa itu, Indonesia diprediksi akan menjadi satu dari tujuh kekuatan dunia. Namun, untuk mewujudkan hal itu, diperlukan peran ibu milenial untuk menyiapkan anak-anak agar tumbuh kuat.

“Karakteristik ibu milenial itu melek teknologi dan memiliki pola asuh sesuai zamannya,” ujar Khofifah Indar Parawansa, yang juga Gubernur Jawa Timur. Namun, persoalannya adalah minat baca masih rendah, yang tentu saja akan berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.

“Dalam laporan PISA 2018 yang dirilis Organization for Economic Cooperation and Development, kemampuan siswa Indonesia usia 15 tahun dalam sains, matematika dan membaca termasuk rendah dan di bawah rata-rata OECD,” jelas Khofifah.  

Dalam kesempatan itu, Khofifah juga mengakui masih tingginya angka stunting di Jawa Timur. “Karena itu, selama masa pandemi ini, yang saya pesankan dalam bantuan sosial adalah telur.” Ia memastikan didalam bantuan sosial tidak ada produk-produk yang tidak mendukung kebutuhan gizi anak seperti kental manis.

Pada kesempatan yang sama, perwakilan ibu milenial,  dr. Ranti Astria Hannah, mengingatkan para ibu untuk tidak memberikan kental manis pada bayi dan juga sebagai MPASI. Ia menjelaskan, bayi memiliki preferensi rasa manis dan juga asin.  “Jadi jika sudah diberikan makanan dengan gula berlebihan sejak dini, semakin besar akan menyukai rasa yang lebih manis lagi sehingga seiring anak bertambah besar semakin tinggi gula yang dikonsumsi.”

Meski sejak 2018 silam BPOM telah melarang penggunaan kental manis untuk anak dan juga mengatur tentang label dan promosinya melalui PerBPOM NO 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, namun masih banyak masyarakat yang mengaku tidak terinformasi mengenai hal ini. Maka tidak heran masih ditemukan balita-balita dengan gizi buruk yang juga mengkonsumsi kental manis.

“Karena kurangnya pengetahuan dan tingkat ekonomi menjadi alasan anak-anak diberikan kental manis. Seperti kejadian yang kami temukan saat turun ke masyarakat, anak dari umur 2 bulan dikasih susu kental manis dan jadi ketergantungan. Kalau nggak dikasih marah dan ngamuk,” papar Ketua VII PP Muslimat NU, dr. Hj Erna Soefihara. Karena itu, PP Muslimat NU sebagai organisasi perempuan memiliki kewajiban untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat melalui edukasi gizi.

Lebih lanjut, Erna mengakui di masa pandemi ini, edukasi gizi untuk masyarakat jelas terganggu. Sebab sebagian besar edukasi dan sosialisasi harus dilaksanakan secara online atau virtual. Sementara tidak semua masyarakat memiliki kemudahan akses terhadap perangkat teknologi. Karena itu, ia berharap ada perhatian lebih dari pemerintah dan juga pihak-pihak terkait terutama produsen, untuk dapat berperan memberikan edukasi gizi dan informasi produk yang tepat kepada masyarakat luas. (Ant/A-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Maulana
Berita Lainnya