Khawatir Virus Korona, Orang Rimba Memilih Masuk Hutan lagi

Solmi
03/4/2020 18:30
Khawatir Virus Korona, Orang Rimba Memilih Masuk Hutan lagi
Ilustrasi Suku Anak Dalam atau Orang Rimba(MI/Solmi)

ORANG Rimba atau Suku Anak Dalam di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, Sarolangun, Jambi, memilih kembali memasuki hutan karena kekhawatiran atas pandemi virus korona (covid-19).

Antropolog Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Robert Aritonang mengungkapkan ketakutan Suku Anak Dalam itu kepada Media Indonesia, Jumat (3/4).

Kekhawatiran itu, lanjut Robert, antara lain diungkapkan oleh Tungganai (Penasihat) Suku Anak Dalam di belantara Kedudung Muda dekat Taman Nasional Bukit Duabelas, Basemen.

Robert menjelaskan, Basemen mengetahui mengenai pandemi covid-19 dari pemberitaan yang didapat dari telepon seluler (ponsel).

Robert memaklumi ketakutan besar seperti yang disampaikan Basemen. Pasalnya, Suku Anak Dalam memang sangat khawatir bila mendengar kata penyakit.

Orang Rimba, jelas dia, menyebut virus korona sebagai gelaba godong atau wabah besar. Dalam situasi demikian, sesuai dengan kebiasaan turun-temurun mereka, sudah dipatutkan untuk tidak hidup berkelompok atau melakukan social distancing (menjaga jarak).

Adapun bagi warga yang dianggap sebagai pembawa wabah atau, diwajibkan diisolasi atau menjalani karantina mandiri. Dalam istilah Orang Rimba, disebut bersesandingon supaya tidak ada penularan kepada anggota kelompok yang lain.

Sehingga, lanjut dia, Orang Rimba yang sedang belajar hidup menetap di Kawasan Terpadu Permukiman Orang Rimba di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, memilih memasuki hutan untuk mencegah interaksi dengan tiga anak Orang Rimba yang baru kembali dari Yogyakarta.

Ketiga anak itu mudik ke Jambi karena aktivitas belajar dan mengajar di sekolah di Yogyakarta ditiadakan selama pandemi korona.

"Ketakutan Tungganai Basemen tidaklah berlebihan. Sebagian anggota kelompoknya tinggal di luar hutan termasuk di perumahan sosial. Takut bawa wabah, ketiga anak tersebut dikarantina mandiri oleh kelompoknya di perumahan sosial. Sedangkan Orang Rimba yang tinggal di perumahan sosial masuk kembali ke dalam rimba," kata Robert.

"Orang Rimba sangat takut wabah. Meski sudah bertahun-tahun tidak ketemu anak, mereka akan dengan sadar melakukan pemisahan dan memilih untuk tidak bertemu dulu dengan anak mereka yang baru datang," jelas Robert.

Aktivitis KKI Warsi Sukmareni menambahkan, soal karantina (bersesandingon) atau kebijakan menjaga jarak (social distanying), sudah menjadi kebiasan turun-temurun oleh Orang Rimba. Perlakuan tersebut terutama kepada orang luar komunitas mereka.

"Orang Rimba sudah beranggapan penyakit datangnya dari luar. Kalau ada yang datang yang datang dari luar harus dikarantina dulu. Biasanya cukup tiga hari. Namun dengan wabah saat ini, sesuai dengan protokol kesehatan yang kta sosialisasikan, bersesandingon akan dilakukan dalam waktu 14 hari," beber Sukmareni.

Di saat pandemi virus korona, lanjut dia, Orang Rimba yang kembali masuk ke dalam hutan tidak tinggal secara berkelompok seperti biasanya. Mereka menyebar di dalam hutan dengan jarak antar-sudung (pondok tempat tinggal) sekitar 500 meter-1 km. Pemisahan jarak ini diyakini akan membentengi mereka dari wabah penyakit.

"Orang Rimba memang punya cara unik untuk menghentikan wabah. Mereka sudah terbiasa untuk melakukan karantina ketika ada penyakit yang dianggap menular, dengan bersesandingon, memisahkan diri antara yang sakit dan sehat. Orang yang sakit disebut berceneggo," kata Sukmareni.

Untuk menghindari dampak lebih buruk pandemi korona bagi kehidupan Orang Rimba, selain gencar melakukan sosialisasi dan edukasi soal korona, KKI Warsi sudah berkoodinasi dengan jajaran dinas kesehatan setempat, terutama untuk memeriksa kesehatan ketiga anak rimba yang kini dikarantina kelompoknya.(X-15)
 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Henri Siagian
Berita Lainnya