Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Bertahan Hidup Dengan Air Kotor

Ignas Kunda
11/12/2019 06:42
Bertahan Hidup Dengan Air Kotor
Warga Desa Renduwawo, Kecamatan Aesesa Selatan bertahan hidup dengan air embung yang kotor.(MI/Ignas Kunda )

MESKI sebagian wilayah di Indonesia sudah turun hujan, sejumlah daerah di NTT masih mengalami kemarau panjang. Seperti di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores masih mengalami musim kemarau. Bahkan ratusan warga di Desa Renduwawo, Kecamatan Aesesa Selatan mengalami krisis air.

"Kalau air tidak ada dalam bulan ini pasti kami bisa mati kerena air kotor di embung tinggal sedikit hanya tahan paling dua minggu," keluh mantan Kepala Desa Renduwewo,  Marsianus Judha, Selasa (10/12/2019).

Embung yang berjarak kurang lebih 300 meter dari kantor desa itu tampak kecolaklatan. Sejumlah warga dari anak-anak hingga orag dewasa terlihat mengitari pinggiran embung dengan jeriken yang dicelupkan secara menyamping ke dalam air kotor dalam embung itu, karena debit semakin menipis.

Mersi Mama salah satu warga desa Renduwawo yang ditemui ketika sedang menimba air mengatakan mereka konsumsi air di embung sejak 2003 karena menjadi sumber air terdekat. Mereka mengaku untuk bertahan hidup warga harus minum air kotor dari embung dan menjernihkannya dengan menggunakan semen yang mudah didapat.

"Untuk kasih jernih agar bisa rebus untuk minum, kami taruh dengan semen lalu biarkan selama kurang lebih 3 jam sehingga lumpurnya mengendap. Kami tahu itu bahaya tapi tidak ada pilihan lain,"  ujar Mersi.

Warga lain, Maria Fatima Bene, mengaku air hujan di bak penampung telah habis sejak Agustus lalu sehingga kemarau panjang tahun ini membuat mereka harus ambil air kotor karena tidak ada sumber mata air lain. Ia memilih menjernihkan air dengan menggunakan kapur yang biasa digunakan para ibu untuk campuran ketika memamah sirih pinang.

"Kami juga pakai kapur sirih diendapkan 3 jam lalu kami ambil untuk minum," kata Fatima.

Kepala Desa Reduwawo Teodorus Aru mengatakan persediaan air di bak penampung air hujan milik warga telah kosong sejak Agustus lalu. Mereka juga tidak mampu membeli air karena satu tangki kapasaitas 5 ribu liter membutuhkan biaya sebesar Rp400 ribu. Warga hanya berharap pada air dari embung kotor yang telah dangkal.

"Selain kotor air di embung juga telah menipis dan dangkal hingga air bercampur lumpur yang diambil warga untuk minum, mau beli air mahal jadi terpaksa minum saja ini air embung biarpun kotor," kata Teodorus.

Menurutnya krisis air yang telah mendera desanya bertahun-tahun membuat banyak warganya terkena stunting. Selain itu akibat kosnsumsi air kotor anak-anak juga terserang penyakit.

"Anak saya umur satu tahun lebih kena diare gara-gara minum dari sumber air di embung ini. Saya terpaksa membeli air kemasan untuk anak," ungkapnya.

baca juga: Kapal Tol Laut Bermuatan Semen Tenggelam di Lembata

Hewan-hewan ternak juga membaur dengan warga mengambil sumber air yang sama. Teodorus dan beberapa warga desa sudah melaporkan masalah tersebut kepada pemerintah kabupaten namun hanya diberikan bantuan satu kali selama kemarau panjang ini. Dengan pendropingan dua tangki air minum dari dinas sosial dan BPBD. Warganya mengaku sudah bosan meminta bantuan dan berpasrah dengan keadaan hingga ajal menjemput.

"Yang jelas begitu menderitanya warga. Oktober kami kasih masuk proposal yang diminta oleh orang dinas sosial dan BPBD tetapi sampai saat ini tidak ada kabar. Kesannya seperti tidak ada perhatian sama sekali," tutup Teodorus. (OL-3)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya