Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
PRANCIS dan Inggris, bersama sejumlah negara lainnya, mulai menunjukkan niat serius untuk mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.
Perkembangan ini dinilai sebagai langkah penting dalam dinamika diplomasi global, terutama di tengah tekanan internasional atas krisis kemanusiaan di wilayah Palestina.
Pengamat hubungan internasional sekaligus Dosen senior Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Suzie Sudarman menilai kebijakan pengakuan negara Palestina oleh kedua kekuatan Eropa tersebut merupakan langkah yang sudah semestinya dilakukan.
"Sudah saatnya Prancis dan Inggris melakukan kebijakan untuk mengakui Palestina," katanya dihubungi Media Indonesia, Selasa (29/7).
Menurut Suzie, ada beberapa kemungkinan alasan di balik langkah ini, mulai dari pertimbangan kemanusiaan hingga kalkulasi politik menjelang pembicaraan antara pemimpin Eropa seperti Keir Starmer dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dia menyinggung kemungkinan bahwa pengakuan Palestina menjadi bagian dari bargaining dalam pertemuan tersebut.
Suzie menambahkan, pengakuan terhadap Palestina juga dapat dilihat sebagai respon terhadap tindakan Israel yang telah menimbulkan korban jiwa dan penderitaan, terutama akibat blokade dan kesulitan distribusi bantuan kemanusiaan.
"Itu hal yang wajar untuk dilakukan dalam proses genosida yang secara nyata dilakukan Israel yang menyangkut membinasakan korban saat menanti bahan makanan dan kesulitan bantuan makanan masuk ke para korban," ucapnya.
Suzie juga melihat bahwa dukungan negara besar seperti Prancis terhadap status kenegaraan Palestina bisa menjadi tekanan internasional terhadap Israel.
"Untuk saat ini membantu menyadarkan dunia bahwa perilaku Israel sudah sangat melanggar hukum internasional," ujarnya.
Mengenai posisi Amerika Serikat yang masih ragu mengakui Palestina, Suzie menilai bahwa penderitaan rakyat Palestina perlahan mengubah persepsi, bahkan dari tokoh-tokoh seperti Trump.
"Bersama Starmer ditunjukkan korban peniadaan bantuan makanan hingga Trump berkata anak-anak itu terlihat lapar," tegasnya.
Dia juga mengaitkan dinamika ini dengan agenda ekonomi antara Inggris dan AS.
"Tapi Starmer sedang punya agenda bicara dengan Trump soal tarif. Apakah ada keterkaitan? Menurut saya ada," imbuhnya.
Terkait tantangan dalam menentukan batas wilayah negara Palestina yang diakui, Suzie menjelaskan bahwa persoalan ini sangat bergantung pada kondisi lapangan dan respons dunia internasional.
"Yang akan menentukan soal perbatasan ada di situasi pengusiran rakyat Palestina ke sebelah Selatan Gaza. Dan penolakan dari Arab Saudi dan negara-negara yang akan hadir di Pertemuan Majelis Umum atau Dewan Keamanan PBB," jelasnya.
Suzie menegaskan bahwa dukungan dari negara-negara pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB sangat krusial.
"Kalau kedua veto powers Prancis, Britania Raya yang baru menyatakan dukungan bersama Rusia dan Tiongkok tetap membela status Palestina sebagai negara," pungkasnya. (Fer/I-1)
PBB menyebut Gaza menghadapi krisis kelaparan terburuk dengan lebih dari 20 ribu anak alami gizi buruk.
Sebanyak tiga relawan berpengalaman yakni Ir. Edi Wahyudi sebagai ketua tim dan dua anggota Abdurrahman Parmo dan Fikri Rofi’ulhaq telah berangkat ke Kairo.
Inggris siap mengakui Palestina sebagai negara merdeka pada Sidang Umum PBB September mendatang, jika Israel tidak setuju gencatan senjata di Gaza.
NIAT Prancis dan sejumlah negara lain untuk mengakui Palestina sebagai negara berdaulat dinilai sebagai langkah penting dalam peta diplomasi internasional.
PAUS Leo XIV menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di Jalur Gaza.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved