Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Cermati Lima Hal tentang Warta Hubungan Indonesia-Israel

Mediaindonesia.com
17/12/2020 20:41
Cermati Lima Hal tentang Warta Hubungan Indonesia-Israel
.(AFP/Mahmud Hams)

LIMA hal yang perlu dicermati agar masyarakat di Tanah Air memahami akar masalah kegaduhan hubungan Indonesia-Israel. Salah satunya, warta dari The Times of Israel bukanlah pernyataan resmi dari pemerintah Indonesia maupun Israel.

Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengungkapkan hal itu. "The Times of Israel hanya mengutip dari media televisi di Israel yang mengutip pejabat Israel tanpa disebutkan identitasnya," ujar Hikmahanto Juwana
dalam keterangan di Jakarta, Kamis (17/12).

Dalam sepekan ini, kegaduhan muncul terkait berita tanggal 11 Desember dari The Times of Israel yang mewartakan bahwa Indonesia berkeinginan untuk membangun hubungan dengan Israel. Ini muncul setelah sejumlah negara Arab melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.

Kedua, lanjut dia, The Times of Israel hanya menyebut kata hubungan publik atau dalam bahasa Inggris public ties tanpa menyebut hubungan tersebut berupa hubungan diplomatik atau diplomatic ties. Ketiga, sebagaimana telah disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri, Indonesia tidak akan mengakui Israel sebagai negara dan membuka hubungan diplomatik sebelum Israel mengakui kemerdekaan Palestina.

Kebijakan itu sesuai dengan preambul dari Undang-undang Dasar 1945. Presiden Jokowi pun dalam pembicaraan melalui sambungan telepon 16 Desember dengan Presiden Palestina Mahmoud, lanjut Hikmahanto, mendapat apresiasi. Ini karena Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina merdeka.

 

"Keempat, sudah lama para pelaku usaha dan profesional asal Israel mengunjungi Indonesia dan sebaliknya warga Indonesia melakukan kunjungan wisata religi ke Israel," ujar Hikmahanto yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani itu. Terkait kunjungan pelaku usaha dan profesional Israel ke Indonesia, mereka harus mendapatkan calling visa.

 

Calling visa merupakan izin masuk yang harus didapatkan oleh pelaku usaha dan profesional melalui undangan atau sponsor dari pihak Indonesia yang membutuhkan. Izin masuk tersebut berbeda dengan yang diwajibkan pada warga dari kebanyakan negara sahabat Indonesia yang dapat meminta visa untuk masuk ke Indonesia tanpa undangan atau sponsor dari pihak Indonesia.

"Kelima, selama ini bila warga Israel mendapat undangan untuk datang ke Indonesia, mereka harus mengajukan permohonan ke kedutaan-kedutaan Indonesia di berbagai negara mengingat Indonesia tidak memiliki kedutaan di Israel," ujar Hikmahanto. Mengingat birokrasi yang panjang bagi warga Israel yang diundang oleh pihak Indonesia, lanjut Hikmahanto, Kemenkum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Imigrasi hendak memotong birokrasi tersebut.

Calling visa tidak perlu lagi untuk dimohonkan ke kedutaan-kedutaan Indonesia di berbagai negara tetapi langsung ke Direktorat Jenderal Imigrasi. Di sinilah letak permasalahan karena mungkin pejabat Israel yang menyampaikan ke media Israel menganggap inisiatif Ditjen Imigrasi sebagai keinginan Indonesia untuk membangun hubungan publik. Dalam bahasa The Times of Israel, "Was eager to have public ties with Israel," kata Hikmahanto.

 

Terlepas dari kegaduhan yang sempat muncul, ujar dia, pejabat publik harus memahami sensitivitas publik Indonesia bila terkait dengan Israel. Ia mengatakan meski Indonesia dan Israel dalam kenyataannya sudah melakukan hubungan people to people (antarmasyarakat), tapi bila hendak dikonkretkan bisa menuai masalah.

Almarhum Gus Dur, lanjut Hikmahanto, saat menjadi Presiden RI banyak menuai protes saat menyampaikan kebijakan akan menormalisasi hubungan dagang Indonesia dengan Israel. Padahal hubungan dagang yang dimaksud sama sekali berbeda dengan hubungan diplomatik.

Indonesia dan Taiwan, lanjut dia, misalnya, meski tidak memiliki hubungan diplomatik tapi memiliki hubungan dagang. Pelajaran bagi para pejabat publik yaitu bila hendak membuat kebijakan yang sensitif di mata masyarakat, mereka harus pandai dalam menarasikan. (Ant/OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya