Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Kasus Kelaparan di Filipina Bertambah Akibat Pandemi

Atikah Ishmah Winahyu
09/12/2020 23:45
Kasus Kelaparan di Filipina Bertambah Akibat Pandemi
Lockdown di Filipina(AFP)

PEMBATASAN sosial akibat pandemi covid-19 telah melumpuhkan perekonomian dan membuat banyak orang kehilangan pekerjaan. Seorang warga Filipina, Daniel Auminto, kehilangan pekerjaan dan rumahnya saat pandemi covid-19 membuat negara tersebut di-lockdown.

Badan amal berjuang untuk memenuhi permintaan makanan yang terus meningkat, karena jutaan keluarga di seluruh negeri mengalami kelaparan.

"Saya belum pernah melihat kelaparan pada tingkat ini sebelumnya," kata Direktur Eksekutif Rise Against Hunger di Filipina, Jomar Fleras, yang bekerja dengan lebih dari 40 mitra untuk memberi makan orang miskin.

"Jika Anda pergi keluar, semua orang akan memberi tahu Anda bahwa mereka lebih takut mati karena kelaparan daripada mati karena covid-19. Mereka tidak peduli tentang covid lagi,” imbuhnya.

Menurut lembaga survei Social Weather Stations, jumlah orang yang kelaparan telah mencapai rekor tertinggi selama pandemi. Survei yang dilakukan pada September menunjukkan bahwa hampir sepertiga keluarga atau 7,6 juta rumah tangga tidak memiliki cukup makanan untuk dimakan setidaknya sekali, dalam tiga bulan sebelumnya.

Di antara mereka ada 2,2 juta keluarga yang mengalami kelaparan parah, yang tertinggi dari yang pernah ada. Angka tersebut telah meningkat sejak Mei, dua bulan setelah negara itu mengalami lockdown yang parah, membalikkan tren penurunan sejak 2012.

Kebijakan pembatasan telah dilonggarkan dalam beberapa bulan terakhir untuk memungkinkan lebih banyak bisnis beroperasi, karena pemerintah berusaha untuk menghidupkan kembali ekonomi yang hancur, yang diperkirakan akan menyusut hingga 9,5 persen tahun ini.

Bagi warga miskin di negara itu, pandemi hanyalah tantangan lain dalam hidup mereka, dan bahkan bukan yang paling serius.

Auminto yang kini berusia 41 tahun, bertahun-tahun tidur di jalanan dan mencari nafkah dengan menjual sampah untuk didaur ulang. Peruntungannya berubah pada 2019 ketika dia menemukan pekerjaan yang stabil sebagai pelukis bangunan.

Pekerjaan itu memberinya cukup uang untuk menyewa kamar di Manila bersama istri dan putri mereka yang berusia dua tahun, membeli makanan dan menabung sedikit untuk mewujudkan impian mereka membuka toko kecil. Namun, covid-19 menyerang.

“Kami kehilangan rumah kami, pekerjaan saya. Kami bahkan kehilangan pakaian yang dicuri dari kami,” kata Auminto yang sedang duduk di taman tempat keluarganya tidur.

Kini pada malam hari Auminto beserta istri dan anaknya tidur beralaskan karton pipih dan beratapkan langit. Padahal sebelum pandemi, dia berencana untuk bekerja dan keluar dari kemiskinan.

"Ini untuk keluargaku, jadi aku bisa memberi mereka kehidupan yang lebih baik, menyekolahkan anakku,” ujarnya.

Setiap hari mereka turut mengatri bersama para tunawisma lainnya untuk menerima makanan gratis dari dapur luar ruangan. Pada hari-hari tertentu Auminto dan keluarganya mendapat dua makanan dari dapur yang berbeda, terkadang hanya satu, bahkan pernah tidak punya makanan sama sekali.

Lima hari dalam seminggu para sukarelawan di sebuah pusat di Manila yang dikelola oleh Ordo Katolik Roma, Serikat Sabda Tuhan, menyiapkan sekitar seribu masakan ayam, sayuran, dan nasi yang dikemas dalam kotak dan diberikan kepada warga yang kelaparan.

Pastor Flavie Villanueva yang menjalankan program tersebut mengatakan, permintaan terus meningkat setiap harinya.

"Kami mulai melakukan ini pada bulan April dan mulai dengan 250 (orang mengantre). Jumlah itu meningkat menjadi 400, lalu 600, lalu 800. Tiga minggu lalu jumlahnya 1.000," kata Villanueva.

"Mayoritas masih tunawisma, namun ada sejumlah besar yang memiliki rumah tetapi putus asa karena tidak ada pekerjaan,” ungkapnya.

Kelaparan sudah menjadi masalah utama di Filipina sebelum pandemi melanda. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB melaporkan, sekitar 59 juta orang sedang atau sangat rawan pangan selama 2017 dan 2019 dan merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.

Dampak virus pada kasus kelaparan pun diperburuk oleh serangkaian topan yang melanda negara itu dalam beberapa bulan terakhir dan menghancurkan puluhan ribu rumah.

Fleras mengatakan, sumbangan makanan telah meningkat selama pandemi, sebagian karena banyak pabrik yang terpaksa menghentikan operasi memberikan kelebihan stok mereka. Tapi itu tidak cukup untuk memenuhi permintaan.

"Kami mungkin mencapai 200 ribu keluarga tahun ini," katanya.

Auminto mengaku, menyakitkan kehilangan segalanya dan kembali ke jalan di mana dia merasa polisi memperlakukan mereka seperti binatang.

"Mereka harus memahami situasi kami, bukan memperlakukan kami seperti babi. Kami sudah hidup seperti babi,” tandasnya. (Aiw/OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya