Headline
Istana minta Polri jaga situasi kondusif.
SEBUAH akhir pekan dengan kesenangan tanpa batas. Area peternakan di New York pun diubah sekelompok pemuda menjadi kota berukuran sedang. Sebuah perayaan musik rock dan impian utopis.
Woodstock mencakup banyak hal. Namun, satu yang pasti, perayaan itu dipuja banyak orang sebagai batu ujian budaya suatu generasi. Festival perdamaian, cinta, dan musik, yang dimulai pada 1969, mencapai usia 50 tahun pada akhir pekan ini.
Diperkirakan, sekitar 400 ribu-500 ribu orang mengikuti festival di area Max Yasgur, New York, pada 15-18 Agustus mendatang. Mereka akan memulai perjalanan nostalgia dengan menikmati suguhan karya ikonik dari Janis Joplin, Jimi Hendrix, dan Santana.
Awalnya, pihak panitia mengenakan biaya sebesar US$18 kepada pengunjung festival yang mulai menampilkan sejumlah kelompok musik rock legendaris seperti Creedence Clearwater Revival, The Who, Crosby, Stills, dan Nash and Young.
Ketika kabar konser rock perdesaan berkembang luas, banyak orang rela menelusuri jalan desa yang berliku ke lokasi festival di White Lake, sebuah dusun di kota kecil Betel, sekitar 100 kilometer (km) barat daya Kota Woodstock.
Sri Swami Satchidananda, seorang guru yoga dari India, membuka festival dengan pidato yang menggaungkan belas kasih. Woodstock diharapkan menjadi aktualisasi budaya tanpa kekerasan. "Saya sungguh bahagia melihat seluruh pemuda Amerika berkumpul di sini, atas nama seni musik yang sangat baik," ucap pria berjanggut yang duduk bersila di depan kerumunan massa.
Setelahnya, Country Joe McDonald dari kelompok musik rock psikedelik, Country Joe & the Fish, memainkan lagu protes antiperang I-Feel-Like-I'm-Fixin'-to-Die Rag. Ketika Hendrix mencabik lagu The Star-Spangled Banner dengan aliran listrik yang abstrak, penonton kembali terbawa ke dunia nyata.
Danny Goldberg, seorang pewarta industri musik Billboard yang sudah meliput festival sejak 19 tahun, mengingat momen akhir pekan dengan banyak senyuman di wajah penonton.
"Gagasan sangat indah dari sesama hippie dan persaudaraan yang terbilang langka pada saat itu," tuturnya.
Pepatah menyatakan, jika Anda tidak bisa mengingat Woodstock, berarti Anda tidak benar-benar ada di sana. Banyak cerita akhir pekan yang menyandera ingatan, terutama penonton yang kecanduan obat-obatan. Meski kabar angin tidak hilang, masih ada misteri kelahiran bayi di Woodstock.
Di lain sisi, Annie Birch, yang mengikuti festival bersama sekelompok teman pada usia 20-an, mengingat sebuah perayaan yang damai dan membawa pesan kemanusiaan.
"Festival itu sangat legendaris. Walau hujan deras, kami seperti mengalami kebakaran hebat yang sulit padam. Semua pertunjukan musik seperti mengajak berkumpul secara besar-besaran," kenangnya.(Bangkokpost/Tesa Oktiana Surbakti/I-1)
Like A Movie dari Kevlar.Alc adalah lagu tentang cinta terlarang yang terlalu kuat untuk diabaikan.
Ikang Fawzi menyoroti permasalahan pembagian royalti yang menurutnya belum bisa dikatakan adil karena terlalu banyak ke LMK.
Lyodra berharap dengan lagu Bodohnya Aku ada sesuatu yang beda yang bisa ia berikan ke para penggemarnya, baik itu dari segi musik, maupun videonya.
Musik video yang megah ini hadir dengan konsep Korean looks, memperlihatkan Ryans Rayel yang tampil memukau diiringi dengan 12 penari profesional.
Menyajikan perpaduan multigenre yang mencakup pop, R&B, dan alternatif khas Devin, EP Blue Skies dari Devin Kennedy hadir dengan focus track All Because I Love Someone.
Mengusung sound dengan bass drop khas dubstep, Ciko mengaku banyak terinspirasi dari genre yang ia geluti dahulu yakni post-hardcore dan death metal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved