Headline

Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.

80 Persen Dana Aksi Iklim Masih Jadi PR, Indonesia Andalkan Pasar Karbon

Atalya Puspa    
22/8/2025 11:29
80 Persen Dana Aksi Iklim Masih Jadi PR, Indonesia Andalkan Pasar Karbon
Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon BPLH Ary Sudijanto.(Dok. MI)

DUNIA tengah menghadapi tiga krisis besar yang saling berkaitan, krisis iklim, pencemaran lingkungan, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Ketiga krisis tersebut dinilai sebagai ancaman yang belum pernah dialami generasi sebelumnya.

“Kalau kita tidak melakukan segala upaya untuk mengatasinya, keberadaan manusia di bumi bisa terancam. Planet ini adalah satu-satunya tempat tinggal kita, belum ada teknologi untuk bisa bermigrasi ke planet lain,” ujar Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon BPLH Ary Sudijanto dalam acara Workshop Sinergi Penguatan Ekosistem Perdagangan Karbon, Jumat (22/8).

Ia menjelaskan, Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri, atau hingga 43,2 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Namun untuk mencapai target tersebut, kebutuhan pendanaan sangat besar.

“Kalau berdasarkan pada general update report kita yang ketiga di tahun 2021, kita menghitung bahwa kebutuhan untuk kita melakukan penurunan emisi gas rumah kaca sesuai dengan NDC yang kita sampaikan, itu sekitar 280-an juta USD, jadi hampir 4.000 juta rupiah sampai tahun 2030,” ungkap Ary.

Keterbatasan APBN dan APBD membuat mayoritas kebutuhan dana harus ditutupi dari sumber lain. “Hitungan yang ada dari keuangan negara itu less than 20 persen gitu ya, kira-kira 18 persenan yang bisa dibiayai oleh APBN maupun APBD. Jadi kita masih harus menambal sekitar kebutuhan 80 persen dari angka yang tadi saya sebutkan," jelasnya.

Untuk menutup gap tersebut, pemerintah mengandalkan skema pendanaan berbasis karbon. Salah satunya melalui result-based payment (RBP). Indonesia telah menerima dukungan internasional, termasuk dari Norwegia sebesar US$156 juta atas pengurangan emisi di periode 2014–2016.

Selain itu, perdagangan karbon domestik juga mulai berkembang. “Kita di dalam sistem legislasi nasional sudah menerbitkan hampir lebih dari 6 juta sertifikat penurunan emisi, di mana sudah lebih dari 3 juta yang kemudian bisa tersedia di dalam usaha karbon. 1,6 juta sudah bisa dijual, di mana nilainya kira-kira mencapai hampir Rp78 miliar," beber Ary.

Indonesia juga menyiapkan voluntary carbon market dengan menggandeng mitra internasional melalui Mutual Recognition Agreement (MRA). Meski belum masuk dalam skema Paris Agreement, pasar karbon sukarela ini tetap potensial karena mendominasi perdagangan karbon global.

Ary menegaskan bahwa mekanisme pendanaan karbon bukan ditujukan untuk menambah keuntungan negara, melainkan agar proyek-proyek iklim bisa terlaksana. “Jadi yang ingin saya tekankan di sini bahwa pada saat kita melakukan carbon pricing atau perdanaan karbon ini tujuannya sama sekali bukan untuk misalnya membuat Indonesia kaya. Tujuannya adalah untuk bagaimana kita bisa mendanai aksi-aksi krim tadi," katanya.

Proyek-proyek iklim, seperti energi baru terbarukan atau pengolahan sampah, disebut sering kali tidak layak secara ekonomi. Karena itu, instrumen pendanaan tambahan mutlak diperlukan.

Menjelang tahun 2030, ketika seluruh negara wajib menunjukkan capaian NDC, Indonesia menargetkan sistem pasar karbon semakin matang. Pemerintah memperkuat tata kelola, termasuk melalui pengembangan Sistem Registri Nasional (SRN) yang akan diujicobakan pada akhir Agustus 2025.

Dengan kombinasi skema pendanaan karbon, kerja sama internasional, dan penguatan sistem domestik, Indonesia berharap dapat menutup kebutuhan pendanaan aksi iklim yang masih menjadi pekerjaan rumah besar. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya