Headline

Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.

Fokus

Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.

Jurnalis Diminta Berempati terhadap Penderita HIV dan Tidak Berkutat Soal Angka Positif

Arnoldus Dhae
28/7/2025 22:22
Jurnalis Diminta Berempati terhadap Penderita HIV dan Tidak Berkutat Soal Angka Positif
Ilustrasi(MI/ARNOLDUS DHAE)

PELIPUTAN dan pemberitaan isu HIV diharapkan mendorong pencapaiaan target penuntasan masalah dengan indicator Three Zero, yakni, tidak ada lagi penularan kasus baru, tidak ada kematian akibat HIV serta terhapusnya stigma dan diskriminasi. 

“Tantangan itu harus hadapi di tengah situasi media yang serba kontradiktif. Media lebih suka memberitakan soal angka positif. Padahal angka positif itu justeru lebih bagus karena sudah bisa terkontrol dengan baik dan mengurangi risiko kematian,” kata aktifis penanggulangan HIV Aids Bali Rofiqi Hasan dalam diskusi yang difasilitasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, Senin (28/7/2025).

Fakta yang terjadi adalah dalam pemberitaan, media atau kecenderungan jurnalis untuk mengedepankan angka kasus dan peningkatannya dari waktu ke waktu. Hal ini kurang memberikan edukasi kepada wartawan seolah-olah HIV adalah virus yang belum bisa diatasi. “Angka memang penting, tetapi itu tidak cukup. Yang mestinya dikembangkan adalah jurnalisme empati justru mampu mengangkat sisi manusia yang hidup dengan HIV, bagaimana mereka terinfeksi, bagaimana perjuangan mereka, dan bagaimana mereka tetap bersemangat menjalani hidup,” tegasnya.

Rofiqi juga menyoroti akar stigma, yang sering berangkat dari asumsi HIV adalah akibat rendahnya etika moral sehingga korbannya mengalamai diskriminasi.  Padahal HIV adalah masalah kesehatan dan ketika seseorang terinfeksi, yang dibutuhkan adalah dukungan serta pengobatan.

Menurutnya, harus ada normalisasi HIV sebagai masalah kesehatan sehingga mereka yang perilakunya berisiko mau untuk melakukan test. Kemudian, yang sudah positif bersedia menjalani pengobatan dengan mengkonsumsi Anti Retroviral (ARV) guna menekan virus.

Menurut Rofiqi, penghapusan stigma dan penguatan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan HIV berbasis fakta adalah kunci utama. Hal ini untuk mengimbangi informasi tentang seks yang sangat gampang diakses di era digital tanpa memasukkan unsur edukasi sama sekali. "Agar hoaks tentang HIV dan seksualitas terus menyebar, terutama di kalangan remaja yang rentan mengakses informasi tidak benar,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, AA Ngurah Patria Nugraha, memaparkan bahwa secara kumulatif sejak 1987 hingga Mei 2025, telah ditemukan sebanyak 32.733 kasus HIV di Bali. "Yang paling banyak ditemukan itu pada usia produktif sekitar umur 15-50 tahun. Ada juga yang usia lanjut. Usia produktif ini karena mereka banyak melakukan kegiatan, termasuk remaja,” jelasnya.

Ia menilai, peningkatan jumlah kasus sebenarnya juga mencerminkan keberhasilan layanan kesehatan, terutama dari sisi penemuan kasus dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri. "Sekarang kita sudah punya 120 puskesmas di Bali untuk pelayanan VCT dan testing. Masyarakat sudah mulai paham arti penting memeriksakan diri lebih awal untuk mendapatkan pengobatan,” ujarnya.

Namun demikian, faktor rasa malu dan diskriminasi masih menjadi kendala utama. Banyak ODHA memilih memeriksakan diri di tempat jauh agar tidak dikenali lingkungan sekitar. “Diskriminasi masih dirasakan. Dia tidak mau terbuka karena takut lingkungan tahu. Tapi kalau sudah mau periksa, meski ke tempat jauh, itu sudah nilai bagus,” tambahnya.

Patria menekankan pentingnya peningkatan literasi publik terkait cara penularan HIV agar stigma bisa ditekan.
“Penularan HIV tidak lewat pelukan, berjabat tangan, makan bersama, atau tidur sekamar. Itu tidak menular. Tapi masyarakat masih banyak yang ambigu soal ini. Edukasi perlu terus ditingkatkan,” jelasnya.

Berdasarkan pemetaan, Denpasar tercatat sebagai wilayah dengan jumlah penemuan kasus terbanyak, disusul Kabupaten Badung dan Buleleng. Meski demikian, tingginya kasus di Denpasar juga seiring dengan tingginya akses dan fasilitas kesehatan. "Denpasar itu pusat layanan, jadi terlihat lebih tinggi bukan berarti penyebarannya paling banyak. Tapi memang karena orang-orang lebih banyak datang ke sana untuk mengakses layanan,” katanya.

Ia berharap masyarakat memanfaatkan teknologi, terutama media sosial dan internet, untuk mengakses informasi yang benar. “Kita juga aktif membagikan konten edukatif di media sosial. Masyarakat saya harap lebih sering update informasi, agar lebih peduli terhadap kesehatannya sendiri,” tutupnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya