Headline
Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan
Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan
Di Indonesia, cukai rokok sulit sekali naik, apalagi pada tahun politik.
KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) terus mendorong percepatan pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD-PPA) di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota sebagai amanat Undang-Undang nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Hingga saat ini, dari total sekitar 500 kabupaten/kota yang menjadi target pembentukan UPTD-PPA, baru 355 yang telah terbentuk. Artinya, capaian ini baru sekitar 70 persen dari total target nasional.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Desy Andriani menyampaikan bahwa kondisi ini masih menjadi tantangan tersendiri, terutama karena amanat UU TPKS jelas mewajibkan adanya layanan penanganan kekerasan berbasis daerah.
"Ini yang menjadi concern kita, karena ini bicara tentang proses hukum. Tentunya ini sudah masuk di ranah penanganan, di mana Kementerian PPPA dengan UPTD PPA yang berada di seluruh provinsi, kabupaten, kota memiliki peran penting. Sampai saat ini, sudah terbentuk 355 dari target sekitar 500 kabupaten/kota," kata Desy dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (23/7).
Ia menambahkan bahwa pembentukan UPTD-PPA merupakan turunan langsung dari peraturan pelaksana setelah terbitnya UU TPKS dan menjadi bagian penting dalam memberikan layanan perlindungan dan penanganan bagi korban kekerasan, terutama perempuan dan anak.
Meski demikian, masih terdapat tantangan dalam mengimplementasi hal itu, salah satunya terkait alokasi anggaran. Menurut Desy, masih terdapat keterbatasan dalam Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berdampak pada optimalisasi layanan di tingkat daerah.
"Bicara tentang kuantitas, tentunya kita tidak bisa menafikan dengan segala kondisi yang ada terhadap UPTD-PPA saat ini. Ini menjadi tantangan tersendiri, apalagi dengan keterbatasan dana alokasi khusus," ujarnya.
Tak hanya itu, kondisi geografis juga menjadi hambatan tersendiri. Banyak korban kekerasan yang tinggal jauh dari jangkauan UPTD-PPA di tingkat kabupaten/kota. Akibatnya, aparat penegak hukum (APH) juga kerap menghadapi kendala dalam merespons laporan secara cepat karena keterbatasan waktu dan jarak.
"Sementara korban berada di lokasi yang cukup jauh, dengan segala kondisi geografis. Para APH juga terkendala dalam merespon langsung, dengan interval waktu yang sudah melewati batas. Ini juga menjadi tantangan tersendiri," tuturnya.
Oleh karena itu, KemenPPPA menargetkan seluruh daerah dapat memiliki UPTD-PPA dalam waktu dekat, seiring berjalannya tahun ketiga pascapengesahan UU TPKS.
Desy meyakini, keberadaan UPTD-PPA bisa menjadi garda terdepan dalam upaya penanganan, pemulihan, dan perlindungan terhadap korban kekerasan. "Keberadaan UPTD-PPA pastinya bisa menjadi garda terdepan dalam memberikan penanganan terhadap korban kekerasan," ucapnya. (M-1)
Menurut Ya'qud, hukuman seumur hidup tidaklah berlebihan, mengingat imbas dampak sosial yang ada di masyarakat.
Elva mengatakan bahwa revisi tersebut diperlukan karena UU 12/2022 mengenai TPKS mengatur berbagai hal, seperti pelecehan nonfisik, pemaksaan perkawinan.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah masalah serius yang harus ditangani dengan sistem perlindungan yang kuat dan terintegrasi.
Aplikasi SAMAR, jelas dia, dirancang untuk mempercepat penyampaian salinan putusan secara otomatis, sementara Vitamin-A bertujuan mempermudah validasi akta cerai.
Aktivis isu perempuan dan anak dari seluruh Indonesia melanjutkan komitmen dalam mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan bagi perempuan dan anak.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak serta perdagangan orang masih menjadi tantangan besar di masyarakat.
Wamen PPPA) Veronica Tan menitikberatkan pentingnya dukungan pasca-penanganan untuk korban kekerasan. Ia menyebut saat ini Kementerian Sosial (Kemensos) memiliki rumah aman
Kekerasan di lingkungan pendidikan masih menjadi sorotan utama. Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) sepanjang tahun 2024, tercatat 573 kasus
Mayoritas korban enggan melaporkan kasusnya karena rasa takut dan malu, terutama karena pelaku berasal dari lingkungan terdekat.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan media belum berpihak pada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved