Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SEBUAH studi internasional terbaru mengungkap setengah dari uji klinis obat Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) gagal memastikan apakah peserta penelitian benar-benar mengidap ADHD. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap validitas hasil penelitian yang dijadikan dasar pedoman pengobatan di seluruh dunia.
Tim peneliti dari Universitas Kopenhagen dan Universitas São Paulo menganalisis 292 uji klinis acak terkontrol (randomized controlled trials) yang dianggap sebagai standar emas dalam penelitian medis. Hasilnya, sekitar 50% studi tidak melakukan evaluasi diagnostik menyeluruh untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan lain seperti depresi, skizofrenia, atau bipolar.
"Kami menemukan bahwa banyak studi tidak memastikan apakah peserta memiliki gangguan mental lain yang bisa menyebabkan gejala mirip ADHD," ujar Profesor Psikiatri Julie Nordgaard.
ADHD awalnya dikenal sebagai gangguan masa kanak-kanak, sehingga kriteria diagnosisnya pun berbasis perilaku anak-anak. Namun, kini semakin banyak orang dewasa yang mencari diagnosis ADHD, sering kali dipicu oleh konten di media sosial. Hal ini memicu pertanyaan soal keakuratan diagnosis, apalagi jika dilakukan tanpa pemeriksaan klinis menyeluruh.
"Diagnosis pada orang dewasa lebih subjektif karena bergantung pada pengalaman pribadi, seperti sulit fokus atau impulsif," jelas Dr. Igor Studart, salah satu peneliti.
Selain itu, ADHD berbagi banyak gejala dengan gangguan mental lain, sehingga pemeriksaan menyeluruh oleh psikolog atau psikiater berpengalaman menjadi sangat penting. Namun, studi menunjukkan bahwa dalam lebih dari 60% uji klinis, tidak dijelaskan siapa yang memberikan diagnosis. Hanya 35% yang menyebut diagnosis dilakukan oleh tenaga profesional.
Bahkan dalam beberapa kasus ekstrem, diagnosis dibuat berdasarkan penilaian mandiri peserta—atau dibantu oleh komputer.
Menurut peneliti, kelemahan metodologis ini membuat hasil dari banyak uji klinis menjadi meragukan. Jika diagnosis awal tidak akurat, maka efektivitas obat yang diuji pun menjadi sulit dinilai.
"Ini bisa berarti bahwa pengobatan yang diuji dalam studi tersebut mungkin tidak benar-benar efektif untuk ADHD, atau justru bekerja pada gejala dari gangguan lain," ungkap Mads Gram Henriksen, Associate Professor dan salah satu peneliti utama.
Mengingat hasil dari uji klinis acak kerap dijadikan dasar penyusunan pedoman pengobatan, kekeliruan ini bisa berdampak luas terhadap pasien di dunia nyata.
Tim peneliti menekankan pentingnya memastikan bahwa semua diagnosis dalam studi klinis dilakukan secara profesional dan konsisten.
"Dalam psikiatri, semua diagnosis, termasuk ADHD, harus berdasarkan kriteria yang seragam dan dilakukan oleh profesional terlatih. Kalau tidak, hasil riset tidak bisa diandalkan," tegas Nordgaard.
Ia juga memperingatkan tren meningkatnya diagnosis ADHD pada orang dewasa harus disikapi dengan kehati-hatian. Diagnosis yang salah tidak hanya membuat pasien kehilangan peluang mendapatkan pengobatan yang tepat, tetapi juga bisa menyebabkan mereka menerima terapi yang tidak perlu dan berisiko menimbulkan efek samping. (Science Daily/Z-2)
Kegiatan ini dihadiri oleh 40 guru dan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman serta kemampuan guru dalam mendeteksi dini gejala ADHD pada peserta didik.
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah gangguan perkembangan saraf yang umum terjadi pada anak-anak.
ANAK dengan kondisi ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) akan memiliki beberapa masalah dalam perilaku sehari-hari yang berisiko membuat mereka jadi korban perundungan.
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah gangguan perkembangan saraf pada manusia. Seseorang dengan ADHD akan mengalami beberapa masalah perilaku dan sulit konsentrasi.
Temuan tersebut mengungkapkan bahwa pria dengan ADHD mengalami penurunan harapan hidup 4,5 hingga 9 tahun, sementara wanita mengalami penurunan harapan hidup 6,5 hingga 11 tahun.
Para ahli mengatakan "kebiasaan tidak sehat" dan "perilaku mengambil risiko" mungkin menjadi salah satu penyebabnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved