Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PERIHAL 4 pulau yang sebelumnya milik Aceh dan kini mulai dimasukkan dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara semakin hangat menjadi topik berita berbagai media nasional dan lokal. Apalagi dikhawatirkan mengusik perdamaian Aceh.
Itu akibat terpicu oleh surat keputusan Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin Tito Karnavian terkait pengakuan 4 pulau di Kabupaten Aceh Singkil itu milik Sumatera Utara.
Pihak Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, menanggapi pernyataan Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan “ Kemendagri siap menghadapi gugatan Pemprov Aceh soal 4 pulau yang dialihkan ke Sumut”. 4 pulau kecil itu yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Ketek.
Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Marwan kepada Media Indonesia, Jumat (13/6) mengatakan, persoalan kepemilikan wilayah, terutama yang menyangkut batas administrasi antarprovinsi, tidak hanya berdampak pada aspek legal-formal. Tetapi juga berimplikasi luas terhadap aspek politik, tata kelola pemerintahan, dan kehidupan sosial masyarakat.
Dilatakannya, dari segi politik, konflik semacam ini berpotensi menimbulkan ketegangan antara dua daerah, yaitu Aceh dan Sumatera Utara yang dapat membuka ruang bagi rivalitas politik regional. Lebih jauh lagi, situasi ini dapat berkembang menjadi isu identitas dan sejarah yang sensitif.
Sehingga memperbesar potensi disintegrasi sosial dan mengurangi legitimasi pemerintah pusat. Apalagi Aceh sebagai daerah yang memiliki status otonomi khusus.
Dari aspek pemerintahan, tumpang tindih klaim administratif atas keempat pulau tersebut dapat menimbulkan kebingungan dalam perencanaan tata ruang, pengelolaan sumber daya, serta pelayanan publik. Hal ini berpotensi menghambat pembangunan dan menciptakan ketidakpastian hukum di wilayah bersangkutan.
Secara sosiologis, situasi ini berisiko menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat yang berada di wilayah perbatasan. Kecurigaan, prasangka, hingga potensi segregasi sosial antara komunitas Aceh dan Sumatera Utara.
Sehingga dapat menciptakan keretakan hubungan sosial. Baik di wilayah sengketa maupun di daerah lain yang memiliki ikatan dengan wilayah tersebut.
Karena itu, penyelesaian permasalahan ini tidak dapat dilakukan secara sepihak atau semata-mata melalui pendekatan administratif. Tentu memerlukan mekanisme penyelesaian komprehensif, berbasis pada data historis, sosiologis, yuridis, dan administratif yang sah.
Proses ini juga harus memperhatikan lebih serius ketentuan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006.
Dikatakan Prof Marwan, pihak kampus USK, siap berkontribusi aktif melalui pemanfaatan keahlian yang dimiliki oleh sivitas akademika di bidang hukum, pemerintahan, politik, sosiologi, dan sejarah. USK juga berkomitmen mendukung proses mediasi serta penyusunan rekomendasi berbasis prinsip-prinsip keilmuan, objektivitas, dan integritas akademik.
“Kami meyakini solusi terbaik persoalan ini hanya dapat dicapai melalui pendekatan yang menjunjung tinggi keadilan, kedaulatan, serta keharmonisan antarwilayah. Dengan mengedepankan perlindungan hak-hak seluruh warga negara tanpa diskriminasi" tutur Marwan.
Ditegaskan, pentingnya penyelesaian secara adil, transparan, dan partisipatif, demi mencegah meluas dampak negatif di tengah masyarakat. Pendekatan damai serta bermartabat melalui dialog antar dua provinsi.
Pertemuan dialog ini perlu difasilitasi oleh pihak netral seperti kalangan akademisi, agar tercapai jalan terbaik. Guna membangun kepercayaan publik dan menciptakan solusi yang diterima oleh semua pihak.
“Harapan kami, pernyataan ini menjadi dorongan bagi para pemangku kepentingan, agar segera duduk bersama dan memulai dialog konstruktif. Tujuannya demi menyelesaikan persoalan ini secara damai dan bermartabat.
Upaya ini bukan hanya penting untuk menjaga keutuhan wilayah, tetapi juga sebagai fondasi dalam mewujudkan pembangunan inklusif dan berkeadilan bagi masyarakat setempat” jelas Prof Marwan.(H-2)
WAKIL Ketua DPR RI Dasco mengungkapkan DPR RI telah melakukan komunikasi dengan Presiden RI Prabowo Subianto terkait polemik empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara
EMPAT pulau yang sebelumnya berada dalam wilayah Provinsi Aceh dan kini masuk Provinsi Sumatera Utara (Sumut), disebut mempunyai kandungan minyak dan gas (migas)
Anggota Komisi III DPR RI, M. Nasir Djamil, menyatakan keyakinannya bahwa empat pulau yang dinyatakan sebagai bagian dari Sumatera Utara, sejatinya adalah milik Provinsi Aceh.
Kemendagri siap menerima keputusan apabila status kewilayahan empat pulau di wilayah Tapanuli Tengah diuji melalui proses pengadilan.
Kemendagri menjelaskan kronologi kepemilikan empat pulau yang menjadi polemik antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).
Penentuan batas wilayah empat pulau tersebut tak hanya didasarkan pada aspek geografis saja.
Keputusan administratif seperti Keputusan Menteri (Kepmen) tidak dapat membatalkan atau mengubah kedudukan hukum yang telah ditetapkan melalui undang-undang.
Pemerintah provinsi Aceh, Sumatra Utara, sampai tokoh masyarakat dari kedua daerah itu harus duduk bersama bersama pemerintah pusat untuk menyelesaikan polemik status empat pulau tersebut.
Pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan polemik ini secara damai dan berkeadilan.
KETUA Komisi II DPR RI mengajak Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh, dan Gubernur Sumatera Utara untuk duduk bersama mencari titik temu penyelesaian polemik 4 pulau Aceh ke Sumut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved