Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
MALARIA telah menjadi tantangan kesehatan di Indonesia, terutama di wilayah endemis. Penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina ini dapat berkembang dari gejala ringan menjadi kondisi yang sangat serius bila tidak segera ditangani. Dokter Spesialis Penyakit Dalam RSPI Sulianti Saroso, dr. Rizka Zainuddin, menegaskan bahwa malaria bukanlah penyakit sederhana seperti batuk atau pilek.
"Manifestasi klinisnya sangat luas, dari gejala ringan seperti demam dan menggigil, hingga kondisi berat seperti kuning, gagal ginjal, gagal liver, bahkan penurunan kesadaran," ungkapnya dalam talkshow Keluarga Sehat Kementerian Kesehatan.
Lebih lanjut, beberapa alasan mengapa malaria masih menjadi tantangan besar dalam sistem kesehatan Indonesia di antaranya diagnosisnya tidak mudah. Pada tahap awal, gejala malaria bisa menyerupai penyakit lain, sehingga berisiko salah diagnosis.
Selain itu, malaria tidak tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah endemis tertentu—terutama wilayah timur Indonesia, seperti Papua, yang menjadi daerah dengan tingkat endemis tertinggi.
Hal ini berkaitan erat dengan habitat nyamuk Anopheles betina, vektor utama malaria, yang cenderung berkembang biak di daerah dengan sanitasi buruk dan banyak genangan air. Oleh karena itu, faktor lingkungan, kondisi geografis, hingga akses terhadap layanan kesehatan menjadi kunci dalam penyebaran dan penanganan malaria.
Disamakan dengan Dengue
Di Indonesia, malaria kerap disamakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD), karena sama-sama ditularkan lewat gigitan nyamuk. Namun, jenis nyamuk dan penyebaran keduanya sangat berbeda.
DBD disebabkan oleh virus Dengue yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti, yang habitatnya lebih luas, bahkan bisa ditemukan di kota besar seperti Jakarta. Sementara malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang dibawa oleh nyamuk Anopheles betina, yang lebih banyak hidup di wilayah tertentu seperti Papua dan Nusa Tenggara.
Gejala utama DBD adalah demam mendadak disertai nyeri otot, mual, dan pendarahan. Pengobatannya fokus pada hidrasi dan pemantauan kondisi pasien agar tidak terjadi syok. Sedangkan pada malaria, gejala utama adalah demam yang disertai menggigil hebat, berkeringat, hingga demam tinggi mencapai 40°C, dan bisa berkembang menjadi anemia berat dan gagal organ.
Gejala awal malaria kerap tidak spesifik. Pasien biasanya mengalami demam tinggi, menggigil hebat, berkeringat banyak, sakit kepala, nyeri otot, dan lemas.
Namun, pada kasus berat, malaria bisa menimbulkan gejala lanjutan seperti kulit dan mata menguning (ikterus), anemia akibat pecahnya sel darah merah, gangguan kesadaran, gagal ginjal atau gagal liver.
"Parasit Plasmodium menyerang sel darah merah dan menyebabkannya pecah. Ini yang menyebabkan pasien malaria sering mengalami anemia hingga gangguan organ," ujar dr. Rizka.
Jenis Plasmodium di Indonesia pun beragam, di antaranya Plasmodium vivax, ovale, malariae, dan falciparum, masing-masing dengan pengobatan yang berbeda.
Salah satu isu besar dalam penanganan malaria saat ini adalah resistensi terhadap obat. Tidak semua pasien merespons pengobatan standar, terutama di daerah endemis tinggi. Hal ini membuat pengobatan menjadi lebih kompleks dan memerlukan pemantauan ketat dari tenaga medis.
"Pada kasus tertentu, kita sudah tidak bisa lagi menggunakan obat standar, karena tidak efektif. Ini membuat kondisi pasien bisa lebih berat," jelas dr. Rizka.
Mengingat malaria ditularkan oleh gigitan nyamuk, upaya pencegahan menjadi sangat penting. Beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan antara lain menggunakan kelambu saat tidur, memakai obat antinyamuk, menjaga kebersihan lingkungan, menghindari genangan air yang bisa menjadi tempat berkembang biak nyamuk, dan melakukan deteksi dini saat muncul gejala.
"Menjaga sanitasi lingkungan itu kunci penting. Kita perlu mencegah nyamuk berkembang biak dengan menjaga agar tidak ada air menggenang," pungkas dr. Rizka. (H-4)
KEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) melaporkan ada 5 provinsi dan 9 kabupaten/kota yang dinyatakan eliminasi malaria.
Kementerian Kesehatan mencatat, pada 2022, kasus malaria di wilayah tersebut hanya terjadi pada 21 orang.
Pemerintah diminta lebih serius dalam upaya menangani malaria untuk mencapai target eliminasi 2030. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan anggaran program.
Eliminasi malaria hingga Mei 2024 baru mencapai 396 kabupaten/kota dari target 405 wilayah di akhir tahun nanti.
Kemenkes juga sudah menyebar 10 ribu mikroskop di Puskesmas dan melatih semua orang Puskesmas di 10 ribu Puskesmas untuk pemeriksaan malaria.
PUSAT Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) mengeluarkan peringatan wabah malaria setelah sejumlah kasus lokal ditemukan di dua negara bagian.
AMERIKA Serikat (AS) telah mengidentifikasi setidaknya 10 kasus malaria yang ditularkan secara lokal, pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir.
Gerakan pencegahan penyakit malaria harus konsisten dilakukan dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang cara penanggulangan penyakit yang disebarkan nyamuk Anopheles itu.
Tiga kabupaten di Kalimantan Selatan masih memiliki penderita malaria tertinggi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved