Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
KECERDASAN buatan (Artificial Intelligence/AI) telah merevolusi produktivitas dengan mengubah cara kita melakukan tugas dan memecahkan masalah. Potensi yang ditawarkan oleh AI merangsek di berbagai bidang, mulai dari pendidikan, industri, hingga interaksi sosial.
Namun, AI juga datang dengan risiko dan tantangannya tersendiri, seperti ancaman terhadap lapangan pekerjaan manusia, bias algoritma dan diskriminasi, meningkatnya misinformasi, hingga pelemahan otonomi serta nilai-nilai kemanusiaan.
Risiko dan tantangan yang datang dengan AI ini semakin meresahkan jika melihat konteks Indonesia. Saat ini, posisi Indonesia masih sebagai pengguna atau user dari AI, bukan sebagai pengembang atau developer, maupun penghasil atau producer.
Sebagai pengguna, masyarakat Indonesia rentan terpapar dan bergantung kepada sistem AI yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang diamini oleh pihak lain. Padahal, nilai-nilai ini belum tentu selaras dengan konteks sosial dan budaya Indonesia.
Menurut tokoh pendidikan dan pakar teknologi informasi, Prof Eko Indrajit, kesiapan masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan AI masih beragam.
“Sebagian besar penduduk di perkotaan relatif lebih terpapar dan paham teknologi dibandingkan masyarakat di wilayah terpencil yang masih terbatas literasi digitalnya. Ketimpangan akses internet serta perbedaan tingkat pendidikan menimbulkan tantangan dalam memeratakan pemahaman dan adopsi teknologi AI,” terang Eko dalam keterangannya yang diterima pada Kamis (29/5).
Eko melihat setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat Indonesia. Pertama, adalah peningkatan skill digital masyarakat melalui penguatan literasi digital dan pendidikan STEM. Kedua, adalah penegakkan regulasi dan etika penggunaan data demi menjamin keamanan dan privasi pengguna.
Ketiga, adalah pemerataan infrastruktur internet untuk mengurangi kesenjangan digital. Keempat adalah mendorong upaya-upaya kolaboratif antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil demi menciptakan ekosistem AI yang inklusif dan berkelanjutan.
Selain itu, Eko juga menekankan pentingnya pendekatan teknologi yang berfokus kepada manusia (human-centered approach). Pendekatan ini penting guna memastikan teknologi AI dikembangkan dan dimanfaatkan dengan meletakkan manusia sebagai fondasi utama.
“Dengan menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai pusat perancangan, para pengembang AI akan lebih memperhatikan transparansi, tanggung jawab, dan perlindungan privasi sejak tahap perancangan hingga implementasi beragam produk AI. Hal ini dapat menumbuhkan rasa percaya dari pengguna dan masyarakat serta meminimalkan risiko bias atau diskriminasi yang mungkin muncul bila pengembangan AI hanya berfokus pada efisiensi atau profit semata,” jelas Eko.
Melihat potensi dan risiko yang datang dengan teknologi AI, terdapat urgensi untuk menavigasi perkembangan ekosistem AI di Indonesia dengan lebih serius. Pendekatan yang kolaboratif dan humanis perlu diterapkan dalam proses ini.
Prinsip etika, perlindungan data, inklusivitas, dan keadilan sosial pun harus menjadi landasan sehingga pemanfaatan AI tidak sekadar mengejar keuntungan ekonomi atau peningkatan produktivitas semata. Jangan sampai terjadi dehumanisasi karena penerapan AI yang keliru. (I-3)
Kepemimpinan masa kini bukan lagi soal kekuasaan, melainkan tentang keberanian untuk membangun koneksi dan membawa dampak nyata.
Lewat proyek Peta Virtual Wisata Kota Semarang, guru Ayu Kusumadiyastuti ubah pembelajaran teks deskriptif jadi teknologi petualangan.
Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI) Muhammad Hadianto menegaskan pentingnya penguasaan dan inovasi teknologi untuk memperkuat postur pertahanan nasional yang tangguh.
Alumni ITB memiliki peran penting dan strategis untuk terlibat langsung dalam pembangunan nasional melalui kontribusi riset, pengembangan teknologi, dan inovasi industri.
PT Hariff Dipa Persada, perusahaan teknologi pertahanan swasta nasional menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Naval Group,
Kawasan Asia Tenggara, yang menyimpan 15% hutan tropis dunia dan hampir 20% spesies tumbuhan dan hewan global, menghadapi potensi kehilangan hingga 50% spesies terestrial pada 2100.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved