Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kopri PB PMII Nilai Indeks Pembangunan Gender di Indonesia Buruk

Media Indonesia
28/1/2025 22:38
Kopri PB PMII Nilai Indeks Pembangunan Gender di Indonesia Buruk
Kopri PB PMII Nilai Indeks Pembangunan Gender di Indonesia Buruk(Istimewa)

KORPS Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (Kopri) Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia menyoroti Indeks Pembangunan Gender (IPG) di Indonesia yang dinilai buruk. Hal tersebut ditandai dengan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) yang hampir di banyak wilayah masih di bawah indikator nasional. 

Pernyataan itu disampaikan Imelda Islamiyati Bendahara Kopri PB PMII Bidang Kajian Ekonomi dan Perindustrian pada acara Sekolah Kader Kopri (SKK) yang diselenggarakan oleh Kopri PC PMII Kota Bandung, Selasa (28/1) di Kantor Kementerian Agama Wilayah Jawa Barat.

“Menganalisis indeks ketimpangan gender di Indonesia bisa kita analisis melalui studi kemiskinan dalam disiplin ilmu ekonomi, sosial dan politik. Bahwa ketimpangan terhadap pembangunan gender itu seperti terpotret dalam teori lingkaran setan kemiskinan,” jelas Imelda Islamiyati. 

Menurut Imelda, dalam studi ekonomi, negara miskin itu ditandai dengan tingkat tabungan rendah, pendapatan rendah, dan produktivitas rendah. Hal ini terus berputar seperti siklus lingkaran setan kemiskinan. 

Ditambah lagi, kata Imelda, jika ditelaah lebih lanjut, maka tergambar secara jelas seperti pendapatan rendah, kualitas gizi penduduk rendah, kualitas kesehatan rendah, tingkat produktivitas rendah, dan pendapatan rendah.

“Siklus di atas merupakan pintu masuk Kopri dalam memahami ketimpangan gender dalam cara pandang ekonomi. Perlu dicatat, gagalnya negara mengatasi pertumbuhan ekonomi atau stabilitas pertumbuhan secara ekonomi, maka disaat bersamaan negara telah menormalisasi kekerasan terhadap perempuan. Mengapa? salah satu indikator kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi, karena dihimpit oleh situasi ekonomi yang tidak stabil dalam persoalan ekonomi mikro yakni rumah tangga atau keluarga,” jelas Imelda.

Lebih lanjut, kata Imelda, diskursus gender dalam sektor sosial, tengah diperhadapkan dengan harapan dan realitas. Berdasarkan pemetaan masalah yang dipetakan oleh Kopri PB PMII, setidaknya tercatat beberapa persoalan gender dalam diskursus politik seperti budaya patriarki yang masih terjadi, stereotip, budaya, pranata sosial, cara pandangan agama, dan institusi sosial yang belum ramah terhadap perempuan dan anak.

“Beberapa tahun terakhir isu gender dalam ruang sosial diperhadapkan dengan sejumlah kompleksitas masalah baik aspek budaya, institusi sosial, cara pandang agama dan bahkan sejumlah regulasi yang dinilai sumber masalah gender itu sendiri,” beber Imelda.

Secara politik, jelas Imelda, isu gender juga diperhadapkan dengan realitas politik yang pragmatis. Di mana, ekosistem politik yang dinilai masih terjebak dalam stereotip gender, diskriminasi gender, perempuan hanya pelengkap politik, kebijakan tidak ramah gender, institusi tidak ramah gender, pelecehan terhadap perempuan di ruang politik, dan keterbatasan akses dan kesetaraan kesempatan terhadap perempuan di ruang politik dan publik.

“Sektor politik di Indonesia belum ramah terhadap gender. Perempuan ditarik dalam politik hanya sekedar menggugurkan kewajiban partai agar lolos dalam verifikasi penyelenggara pada musim pemilu. Memang, ada regulasi yang membahas pengarusutamaan gender (PUG) yakni 30%, tapi itu hanya gimmick. Sebab, realitanya banyak perempuan yang dipenggal dalam ruang politik,” ujar Imelda.

Berangkat dari tiga masalah besar tersebut, maka formulasi gerakan yang perlu dilakukan Kopri PMII pada setiap level struktural yakni agar melakukan 2 hal penting, pertama, Kopri PMII perlu merefleksikan ulang desain gerakan dan arah gerak ke depannya. Kedua, Kopri perlu merumuskan terkait peta jalan penguasaan sektor-sektor publik.

Secara praktis, Kopri PMII, lanjut Imelda, memiliki peluang dalam kerja-kerja advokasi dan pemberdayaan perempuan. Hal tersebut, paling tidak lewat beberapa pemetaan. 

Pertama, kata dia,  Kopri PMII perlu memastikan implementasi dari Pengarusutamaan Gender (PUG) pada sektor sosial, politik, dan ekonomi.

Kedua, Kopri perlu membaca ulang Instruksi Presiden Nomor 9/2000 tentang PUG dalam kerangka Pembangunan Nasional. Ketiga, Kopri perlu melakukan evaluasi terhadap UU 6/2014 tentang Desa Ramah Perempuan.

Keempat, Kopri harus turut serta dalam mengadvokasi Peraturan Presiden Nomor 59/2017 sebagai penerjemahan dari 17 rekomendasi SDGs. Kelima, Kopri mengawasi secara ketat terkait Implementasi Peraturan Kementerian PPPA 2/2020 tentang Partisipasi Perempuan Dalam Ekonomi, Sosial dan Politik.

Terakhir, dalam konteks Kopri PMII Kota Bandung bahkan Kopri PMII Jawa Barat perlu mendorong agar secepatnya diberlakukan regulasi turunan yang mengarusutamakan perempuan dalam pembangunan daerah.(RO/P-5)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal
Berita Lainnya