Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
RESISTENSI antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) merupakan salah satu ancaman kesehatan global terbesar saat ini. WHO telah menetapkan rekomendasi global yang komprehensif untuk menanggulangi AMR melalui strategi berbasis bukti, pendekatan multisektor, dan regulasi ketat.
Namun, Indonesia tampaknya masih mengandalkan solusi semu dan parsial seperti mewajibkan resep untuk antibiotik, tanpa menangani akar masalah yang lebih dalam. Berikut ulasan rekomendasi WHO dan pelajaran yang dapat diterapkan di Indonesia.
WHO merekomendasikan pendekatan menyeluruh dengan beberapa pilar utama.
WHO mendorong kolaborasi lintas sektor, termasuk kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Pendekatan ini diperlukan karena resistensi antimikroba tidak hanya berasal dari penggunaan antibiotik di sektor medis, tetapi juga akibat penyalahgunaan di sektor peternakan dan pencemaran lingkungan.
Pengumpulan data yang kuat diperlukan untuk memantau pola resistensi antimikroba dan penggunaan antibiotik secara global. Sistem seperti Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) WHO bertujuan meningkatkan kapasitas negara-negara dalam surveilans ini.
WHO merekomendasikan penggunaan antibiotik yang rasional. Ini untuk memastikan antibiotik hanya digunakan jika diperlukan dan berbasis uji kultur bakteri dan adanya peta antibiogram.
WHO menekankan pentingnya regulasi yang kuat dan komprehensif terhadap distribusi legal dan akses antibiotik di sarana kefarmasian untuk mencegah penyalahgunaan dan penggunaan berlebihan antibiotik pada manusia, hewan, dan pertanian
Kampanye global untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan tentang bahaya resistensi antibiotik menjadi prioritas WHO.
WHO merekomendasikan untuk menjadikan apoteker sebagai gatekeeper untuk penggunaan antimikroba yang bertanggung jawab.
Kelemahan kebijakan wajib resep Indonesia mewajibkan resep untuk antibiotik, tetapi kebijakan ini tidak efektif tanpa dukungan sistem yang kuat.
Antibiotik masih mudah diakses melalui toko obat, akses obat antibiotik melalui marketplace, dan di luar
sarana kefarmasian.
Tidak ada fasilitas kultur dan antibiogram yang memadai membuat terapi empiris menjadi norma, meningkatkan risiko resistensi.
Kurangnya pengawasan yang efektif terhadap distribusi antibiotik membuat kebijakan menjadi tidak relevan, karena akses perolehannya di luar tenaga profesional yang berkompeten tetap terbuka.
Indonesia belum mengimplementasikan pendekatan One Health secara penuh. Penyalahgunaan antibiotik di sektor peternakan dan dampak pencemaran lingkungan masih diabaikan.
Integrasi menyeluruh untuk mencegah resistensi yaitu kewajiban menulis resep antibiotik, kewajiban pasien menebus resep, dan kewajiban antibiotik menggunakan resep dalam akses terapi dengan obat antibiotik di sarana kefarmasian, sarana kesehatan, dan sarana peternakan.
Indonesia harus meningkatkan pengumpulan data tentang pola resistensi dan penggunaan antibiotik di semua sektor. Hal ini memerlukan investasi dalam infrastruktur kesehatan, tenaga kesehatan, teknologi Kesehatan, dan teknologi informasi.
Kolaborasi antara sektor kesehatan, peternakan, dan lingkungan sangat penting. Regulasi ketat harus diterapkan pada penggunaan antibiotik di peternakan untuk mencegah transfer resistensi ke manusia.
Apoteker harus diberdayakan sebagai penjaga utama distribusi antibiotik. Apoteker harus diberi kewenangan profesional memastikan ketepatan indikasi penggunaan antibiotik berbasis uji kultur dan peta antibiogram.
Apoteker juga mengedukasi dan memonitor pasien untuk penggunaan antibiotik yang rasional. Apotek yang tidak disertai dengan praktik apoteker dalam memberikan pelayanan obat antibiotik wajib dievaluasi keberadaan apoteknya.
Kampanye nasional tentang resistensi antibiotik harus dijalankan secara konsisten, menyeluruh, dan tidak menyudutkan salah satu profesi, serta mengistimewakan profesi lain. Edukasi masyarakat dan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan serta tenaga medis dan profesi kesehatan bidang peternakan akan membantu mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak perlu.
Pemerintah harus menindak tegas distribusi antibiotik di luar sarana kefarmasian dan tanpa evaluasi Apoteker yang praktik serta memperketat pengawasannya pada jalur-jalur ilegal.
Rekomendasi WHO memberikan cetak biru yang jelas untuk mengatasi resistensi antimikroba, tetapi implementasi di Indonesia belum ideal. Dengan hanya mengandalkan kebijakan wajib resep saja, Indonesia tidak menyentuh akar masalah, seperti lemahnya regulasi, kurangnya fasilitas pendukung, kebocoran jalur distribusi dan penyalahgunaan di sektor lain.
Jika Indonesia serius ingin mengatasi AMR, strategi yang lebih terintegrasi dan menyeluruh harus segera diterapkan. WHO telah memberikan panduan dan sekarang saatnya bagi Indonesia untuk bergerak dari sekadar membuat kebijakan ke tindakan nyata yang berdampak. (Z-2)
Gunakan antibiotik hanya ketika diresepkan oleh dokter. Ikuti petunjuk dokter mengenai dosis dan durasi pengobatan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved